Aku Masih di Sana: Masih Seperti Dulu


Laki-laki dari masa lalunya itu adalah sebuah puisi nostalgia, cinta, tekad, harapan, nada, kebiasaan, dan sabda mimpi-mimpi yang kini telah mulai tertimbun oleh serakan waktu bersamaan dengan mengaratnya besi-besi tua dan kaleng-kaleng bekas. Tapi perempuan itu masih di sana. Masih seperti dulu. Seperti ketika ia mulai menjatuhkan hatinya pada laki-laki itu. Tak ada yang berubah. Masih sama.
Ya, puisi itu memang terbilang aneh bila kita katakan sebagai sebuah harapan dan tekad, karena semuanya hanya akan menyisakan romansa melankolis yang begitu dingin dan sepi bila kembali dikenang. Tapi, dia sangat tahu itu. Dan perempuan itu pun terkadang begitu ragu terhadap keyakinannya, melalui puisi tersebut, laki-laki masa lalunya akan menoleh kembali padanya, dan serta menatap kembali kenangan tentang bagaimana cerita cinta mereka dahulu mampu mengilustrasikan mimpi harapan dan tekad dari sebuah puisi.
Lihat, Sayang, malam ini langit telah menampakkan bulan begitu sempurna di pertengahan bulan Juni. Sama seperti dulu”, ucap perem-puan itu lirih. “Tetapi, tidak seperti bulan itu, kenapa kita harus dingin hati dan begitu lupa rasa? Bukankah kau bilang padaku bahwa ceritaku adalah ceritamu, sebagaimana ceritamu adalah milikku? Lantas, kenapa pula kita harus memperdebatkan perbedaan yang hanya berakhir sia-sia itu? Kenapa kita tidak merabai kata yang terlukis di bulan malam itu saja, tentang sebuah puisi yang menceritakan betapa pengapnya rindu kita.”

Perempuan itu masih tenggelam-hanyut dalam nuansa sesak hati dari sebuah puisi nostalgia. Dia masih menopangkan dagu dengan telapak tangan kirinya, dan tatapan matanya masih tertahan begitu bisu memandang bulan. Bulan itu seolah menyimpan banyak cerita tangis. Ada rasa yang tertahan tidak pasti dan tidak menentu dari balik cerita bulan malam itu, seperti ada tenggelamnya irama hati dari masa lalu. Dan sebuah puisi nostalgia, cinta, tekad, harapan, nada dan kebiasaan, tiba-tiba membuat kepiluan hatinya merinaikan rasa sakit bersamaan rinai cahaya bulan. Seketika itulah kenangan perempuan itu pecah.
“Kenapa kau masih hanyut-tenggelam dalam ceritamu, terjebak dalam nostalgiamu?” sebuah suara tanya dari laki-laki yang duduk tepat di sampingnya menegur.
“Aku butuh waktu. Sama seperti bulan itu membutuhkan waktu untuk merinaikan cahayanya sebagai purnama, aku juga butuh waktu untuk melenyapkan nostalgiaku,” jawab perempuan itu tanpa sedikit pun menolah ke arah suara yang menegur.
“Aku bisa memahami perasaanmu, tapi aku lebih nyata daripada nostagia yang kau simpan itu.”
“Jangan sok mampu memahami rasaku. Kalimat ‘aku bisa memahami perasaanmu’ adalah kalimat terbullshit yang pernah kudengar,” jawabnya perempuan itu dengan nada kesal.

Perempuan itu masih menggerutu kesal dalam hatinya. Ditatap-nya laki-laki di sampingnya yang hendak mencoba menjadi kekasihnya. Akh, betapa bullshitnya tatanan kalimat ‘aku memahami perasaanmu’ itu: memang mampukah dari kita merasakan tentang kepedihan cinta dalam hati orang lain? Bahkan, jika orang-orang yang kaya dan paling berkuasa di dunia ini pun ditempat-posisikan pada diri kita, benar-benar mampukah mereka memahami segenap persoalan kesedihan yang kita rasakan secara utuh?
“Bahkan,” lanjut perempuan itu meneruskan jawabannya pada laki-laki yang duduk tepat di sampingnya itu. “Sekalipun seorang penulis cerita terkemuka di dunia ini melongok dan bahkan sampai menyusup ke tiap-tiap sudut terpencil kehidupanku untuk memahami penderitaan yang aku pendam, sangat mustahil baginya untuk menerjemahkan rasa ketersesatanku dan kepedihan yang kusimpan dalam cerita ini.”    

Memang ada rasa ketersesatan tidak pasti dan menentu tampak merinai begitu tegas dari balik raut muka perempuan itu. Perempuan itu seperti menjelmakan bak sebuah labirin, tempat di mana kita biasa tersesat dengan segala kerumitan kata yang amat sukar kita bahasakan.
Satu waktu, laki-laki itu pernah mencoba hendak mendekat pada labirin itu, mencoba merabai berbagai kata yang dihadirkan perempuan itu untuk didefinisikan sebagai kebahagiaan sederhananya, tetapi laki-laki itu selalu saja gagal dan merasa tidak mampu menerobos masuk pintu pembatas antara dirinya dan perempuan itu. Pintu pembatas itu seolah menandakan bahwa ada perbedaan yang tegas antara dirinya, hingga seolah dia merasa benar-benar tidak akan mampu menjemput seonggok hati berbentuk cinta dari perempuan tersebut.
 “Kenangan adalah sesuatu yang aneh, karena hanya hadir ketika kesemuanya telah berlalu, mengiyang-ngiyang, dan serta membuat kita rindu ingin mengulangnya kembali. Tapi, begitulah takdir kenangan. Tidak bisa dilawan dan tidak bisa diubah. Hanya bisa diobati,” kata laki-laki itu mencoba memecahkan keheningan malam, yang ternyata masih berada duduk tepat di samping perempuan itu.
“Tapi kenangan itu adil. Kenangan tidak melihat dan memandang siapapun. Baik yang kaya maupun yang miskin, yang baik maupun yang jahat, yang pintar maupun yang bodoh, bahkan yang rupawan maupun yang buruk rupa, dan kesemuanya, oleh kenangan, akan dikenangi kenangan yang setimpal terhadap pengalamanya masing-masing,” kata perempuan itu menjawab tanpa lagi-lagi menoleh ke lawan bicaranya.


Bulan purnama di langit masih menggantung, dan rinai cahayanya menguningi semua benda-benda langit yang berada dalam jangkauan edarnya, tapi dengan serta-merta, tanpa salam dan seperti tidak tahu adab, rinai cahaya bulan menjemput kenangan perempuan itu pada ingatan beberapa tahun lalu. Itu terjadi pada sebuah kenangan di mana perempuan itu masih bisa menyandarkan kepalanya begitu mesra pada laki-laki masa lalunya. Laki-laki yang menjadi puisi nostalgianya.
“Ketika cinta adalah sesuatu yang hakiki untuk membuat manusia merasai kebahagiaan di dunia ini, kenapa harus ada kata ‘keterpisahan’ dan ‘keterberaian’? Aku rasa hidup manusia akan lebih menyenangkan jika kedua kata tersebut tidak lagi punya eksistensi,” kata perempuan itu memulai pembicaraannya sambil masih menyandarkan kepalanya pada bahu laki-laki dari masa lalunya.
“Manusia biasa tidak akan mampu memahami alasan ‘kenapa’ dari kedua kata tersebut harus ada. Itu terlalu berat untuk kita pikirkan. Tapi yang pasti, hubungan yang berlandaskan cinta akan berlangsung bahagia selamanya,” jawabnya laki-laki dari masa lalunya.

Perempuan itu tersenyum bahagia mendengar jawaban si laki-laki masa lalunya. Warna pipinya terlihat seolah telah berwarna rona merah karena didekap rasa bahagia bercampur malu yang hadir bersamaan dan tidak bisa dia tampung dalam hatinya, dan kemudian perempuan itu berkata kembali.
“Harusnya kebudayaan umat manusia ini membuat satu kata baru yang dapat mengarti-jelaskan rasaku tentang hubungan kita ini, Sayang. Satu kata baru yang benar-benar dapat menjelaskan apa yang kurasakan kepadamu. Satu kata di atas kata ‘sayang’, dan satu kata di atas kata ‘cinta’. Karena, kata ‘sayang’ dan ‘cinta’ tidak mampu menampung arti rasa yang kurasakan padamu.”

Laki-laki dari masa lalunya itu hanya terdiam kaku kala mendengar perkataan perempuan itu. Laki-laki masa lalunya itu merasa seperti ada satu rasa dari suatu harapan yang menggumpal begitu kuat, kukuh, dan sangat besar dari dalam diri perempuan itu.  
Rasa itu memang masih menjadi sesuatu yang begitu samar dan sangat kasat mata untuk diterka dengan pasti tentang ‘rasa apa itu’ oleh laki-laki dari masa lalunya tersebut. Sepertinya, seperti sebuah rasa dimana ketika harapan yang diinginkan tidak berhasil dia jemput, maka terjatuhlah dia dalam sebuah permainan labirin yang akan menyesat-kannya dalam memahami mana yang nyata dan mana yang seharusnya hanya fana. Atau, setidaknya yang mana adalah masa lalu.
“Kamu harus membuka mata untuk kenyataan ini. Antara harapan dan kenyataan begitu tegas berbeda walau tidak kontradiktif. Tetapi, apa yang tampak tak seperti yang ditampakkan, dan apa yang kita lihat tak seperti yang dilihat. Begitu pun antara aku, kamu, dan cinta kita.”
“Kenapa kau berkata seperti itu? Apa kau tidak percaya dengan cinta? Apa kau sudah tidak lagi mencintaiku? Ataukah, kau sudah tidak percaya bahwa kita akan bahagia selamanya?” tanya perempuan itu membalas perkataan laki-laki dari masa lalunya itu seperti sebuah hujan deras yang tidak bisa lagi kita bendung.
 “Aku mencintaimu. Benar-benar mencintaimu. Sebentar lagi kita akan menikah dan bahagia. Hanya tinggal melihat bulan di atas kita ini berputar dan berganti 3 kali purnama kita akan langsung menikah dan akan bahagia. Tolong jangan ragukan cintaku,” jawab laki-laki dari masa lalunya itu untuk mencoba menenangkan perempuan itu dari pertanya-an debat yang mulai meragukan bahwa dia benar-benar mencintainya, sembari laki-laki dari masa lalunya itu tetap mengelus halus kembali rambut hitam pekat perempuan itu.
Tapi, kenapa rambut hitam ini seolah lebih pekat dari biasanya?” pikirnya laki-laki dari masa lalu itu yang baru saja menyadari perbedaan warna pekat tersebut. Yang seolah, dalam pikiran laki-laki masa lalu itu, warna rambut lebih pekat dari biasanya itu adalah seolah sebuah firasat tertentu tentang masa depan milik perempuan yang dia cintainya. “apa itu?” laki-laki dari masa lalu itu mencoba menerka dalam pikirannya.  

Ya, tiga bulan dari percakapan itu harusnya mereka telah menikah. Sebuah puncak dari ikatan kisah cinta untuk membina suatu keluarga, menjadi sepasang suami-istri. Harusnya, pernikahan itu terbilang lancar dan akan berakhir bahagia, sebelum kemudian, satu bulan menjelang pernikahan mereka tersebut, sebuah truk bergandeng dengan tanpa gerutu dan tanpa siasat melindas remuk-habis sebuah sepeda motor yang dikendarai laki-laki dari masa lalu itu, dan membuatnya meninggal seketika di tempat, di pertigaan jalan Pahlawan Tanpa Belas Kasih di Kota Surabaya, tanpa pamit dan tanpa firasat.
Mendengar kabar bahwa laki-laki dari masa lalunya itu meninggal kecelakaan, tanpa pamit dan tanpa adanya firasat, membuat dia shok dan lantas jatuh pinsan tanpa sadarkan diri. Itulah saat-saat di mana laki laki dari masa lalunya menjadi sebuah puisi nostalgia baginya, dan serta seketika membuat bahasa kebahagiaannya tertelan bersamaan dengan jalan aspal yang mengelupas dan penuh luka di tempat laki-laki dari masa lalunya meninggal kecelakaan. Ia telah masuk dalam dunia labirin.


“Harusnya memang ada obatnya. Seperti sebuah penyakit kronis ada obatnya, kenangan pun harus ada obatnya untuk sembuh,” kata laki-laki yang masih berada di samping perempuan itu berkata kembali, dan membuat perempuan itu tiba-tiba saja meninggalkan dunia masa lalunya dan beralih menuju ke ruang kehidupan lebih nyata –mungkin.
“Ya, harusnya ada. Tapi, aku masih di sana, masih bersama sebuah puisi nostalgia, cinta, tekad, harapan, nada, kebiasaan, dan serta sabda mimpi-mimpi yang telah tertimbun oleh serakan tumpukan waktu. Aku masih seperti dulu. Tidak berubah. Seperti ketika aku mulai menjatuh-kan hati padanya. Maaf, aku belum bisa membuka pintu pembatas itu padamu,” jawab perempuan itu, sembari kemudian berdiri dan melang-kah pelan meninggalkan laki-laki yang sejak sedari tadi menemani tepat di sampingnya.

Laki-laki yang berada tepat sedari tadi disamping perempuan itu hanya bisa melihat perempuan itu melangkah pergi meninggalkannya. Ingin rasanya dia mencegah, tapi ia ingat ada sebuah pembatas antara dirinya dan perempuan itu. “Memang butuh waktu,” pikirnya. Dilihat-nya kembali langkah kaki dari perempuan itu dari belakang, ternyata masih saja menjelmakan sebuah labirin. Laki-laki itu sebenarnya ingin sekali merabai kesukaran kata dan bahasa yang dijelmakan perempuan itu, tapi selalu saja gagal.
Bersamaan dengan kesukaran kata yang amat susah oleh laki-laki itu bahasakan, sebuah puisi baru datang menghampirinya. Puisi itu tiba-tiba saja datang menghampirinya entah dari mana. Puisi itu seperti memberinya sebuah nutrisi, kesegaran, vitalitas, dan serta kehidupan baru. Sebuah puisi yang hanya mampu dipahami bagi mereka yang sangat percaya bahwa hanya cintalah yang membuat kehidupan ini akan bahagia selamanya. Sebuah puisi yang menerangkan rasa satu kata di atas kata ‘sayang’ dan kata ‘cinta’.
“Sama,” kata laki-laki itu berkata dengan sedikit mengeraskan suaranya supaya terdengar si perempuan itu. “Aku juga masih di sana. Tepat berada di depan pintu pembatasmu. Aku masih menunggumu di sana. Tapi bukan bersama puisi nostalgia, melainkan bersama sebuah puisi optimisme, cinta, tekad, harapan, dan serta sabda mimpi-mimpi untuk masa depan.”

Perempuan itu menoleh pada arah suara, dan lantas ditatapnya mata laki-laki yang kini tidak lagi duduk tepat di sampingnya itu. Dan sepertinya biasanya dan kebiasaan perempuan itu, ketika meninggalkannya, tidak lupa memberikan sebuah usapan senyum begitu halus menyelinap masuk pada dinding hati laki-laki itu. Laki-laki itu pun juga tersenyum menerima usapan senyum itu. Tapi, itu bukan senyum cinta meskipun begitu halus mengusap hati. Dan memasuki pintu rumah, sosok perempuan itu pun hilang dalam pandangan mata laki-laki itu.
“Butuh waktu,” kata laki-laki itu berucap lirih. “Ya, memang butuh waktu agar ibumu dapat mencintaiku, Nak. Sama seperti bulan yang membutuhkan waktu supaya dapat merinaikan cahaya purnamanya, Ibumu juga membutuhkan waktu menerimaku sebagai suaminya, Nak. Butuh waktu, Nak” lanjutnya laki-laki seolah berkata pada anaknya yang kini mungkin telah tidur bersama perempuan itu.

Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

HMI, Alasan Mengapa Aku Menjadi Bagian darinya

Contoh Membuat TOR yang Baik dan Benar

Puisi: Langit Jogja

Satu Paragraf: Wanita dalam Dekapan Imajinasi