Posts

Showing posts from September, 2020

Korespondesi: Untuk Zi, Arti Sebuah Desa Bagi Perantau

Bagaimana mestinya aku mulai, Zi? Haruskah aku memperagakan seperti Engku Zainuddin ketika menyurati Rangkayo Hayati untuk pertama kalinya: “Gemetar, Encik!   tanganku ketika mula-mula menulis surat ini.” Hahahahaha Sebagai permulaan dalam korespondensi ini, aku tertarik dengan balasan teman korespondesiku yang lain dengan mengatakan supaya melihat Indonesia bukan lagi dari cerminan kaca besar yang tidak dapat kita selesaikan secara sendirian, melainkan dari sudut kecil dan tampak dan dekat dengan kita : desa. Kamu sepertinya akan setuju, saat kita melihat Indonesia dari kaca mata besar, betapa miris negara ini menjadi sebuah bangsa: Drama pertikaian beda pandangan yang dibalut kepentingan politik praktis dari kalangan elit telah memecah belah rakyat dan akhirnya intoleransi berhasil mengkusutkan tenunan bingkai kebhinekaan kita. Jadi aku tak mau berbicara mengenai Indonesia. Bukan karena sudah muak, tapi rasa simpatiku sudah mulai terkikis bersamaan dengan makin kuat dan subur

Untuk, Lis: Perihal Sebuah Permintaan

Seriusan Lis, aku bingung harus memulai surat ini lewat kalimat apa. Terlintas di benak ingin kumulai lewat permintaan maaf karena takut mengganggu dan dianggap lancang, tapi selain karena klise aku takut kalimat itu dikira hanyalah bumbuan basa-basi untuk mendapat sejumput pengertianmu agar menerima dan membaca surat ini. Jadi mohon dimaklumi. Toh, maaf bukan cari pembenaran, secara psikologis bukankah ini merupakan masalah laten sisi kemanusiaan bagi mereka yang sangat mengharapkan sesuatu tapi takut salah langkah saat memulai? Akhirnya bingung dan merasa serba salah. Agar tidak salah paham dan dianggap menuntut lebih, terlebih dulu kuletakkan petuah bijak “dunia ini dipenuhi dengan orang yang kita inginkan, tapi tak menginginkan kita, dan sebaliknya” ini sebagai realitas kehidupan yang harus diterima. Jadi kau tidak usah risau dengan perasaanmu. Kuterima realitas petuah bijak ini selayaknya apa yang biasa kita temui: seperti kenapa pada akhirnya daun menggugurkan diri dari rant

Korespondensi: Untuk Sahabat Bualku, RIke Fisabilillah

Boii!! Seberapa sibuk kau bergulat dengan waktu? Padahal sudah kunanti-nanti kau memulai korespondensi seperti permintaanmu tapi tidak kunjung juga hadir. Apa kau tidak bisa sedikit saja menyisihkan jeda waktu dan berfikir bahwa di dalamnya ada ruang kosong untuk paling tidak bernostalgia dengan kawan lama sepertiku? Kesibukan apa yang menggerogotimu di sana, boi, di tempatmu? Seolah keenggananmu memulai menandakan, selain budaya senioritas atau kanda-dinda, waktumu akan terbuang sia-sia, dan berkata:   “Maaf Boi, aku harus fokus menata hidupku karena waktu tak bisa lagi kukompromikan secara negatif sebagaimana dahulu. Itu hanya akan menambah penyesalan masa lalu yang terus saja hadir dan menerorku seperti mimpi buruk dan membangunkanku tengah malam sekaligus membuatku berkeringat dingin. Hari ini aku harus mensiasati dan berkawan dengan waktu. Tak ada lagi main-main. Tak ada lagi bual-membual.”   Oke, fix. Jika itu yang kau pikirkan, tidak apa. Tapi jangan salahkan aku bil