tag:blogger.com,1999:blog-45933756267030146012024-03-05T17:06:49.125-08:00SIROJUL LUTFI BLOGTidur masih baik ketimbang baca blog iniSIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.comBlogger94125tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-44946536013535929452023-11-11T05:48:00.000-08:002023-11-11T05:48:35.176-08:00Laron<p> “Kapan kau terakhir menyesal?” </p><p>Ia bertanya dengan wajah yang begitu tenang, seakan-akan kematian masih teramat jauh dari lehernya.</p><p>“Ada banyak berkah yang tak ku syukuri, banyak kesia-siaan yang kutelan. Mungkin, bisa jadi, salah satunya adalah kau. Tapi tak pernah kubiarkan rasa sesal menggagahiku. Penyesalan hanya membuat usia akan makin terasa pendek. Hidup terlalu pendek untuk dibebani sederet penyesalan!” Itu jawabku. </p><p>Dia menghela nafas. Kali ini lebih berat dari sebelum-sebelumnya. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya. Aku lebih memilih menatap wajahnya yang terasa makin tirus. Ada satu rahasia yang makin tak mampu ku raba. Jalanan makin gelap, juga sepi, mungkin seperti hidupnya.</p><p>“Kita ini seperti laron. Satu waktu kau yang menjadi api dan aku yang menjadi laron. Lain kali aku yang menjadi api dan kau yang menjadi laron.”</p><p>Aku tak memotongnya. Kubiarkan ia mengeluarkan semua yang ingin dikatakan. Ada satu perasaan yang muncul diam-diam: sebaiknya kubiarkan ia bicara apa saja, sekehendak hatinya.</p><p>“Kenapa kau selalu diam malam ini? Hanya menjawab pendek-pendek saja. Setahuku kau tak pernah kehabisan bahan cerita jika sedang menghabiskan malam. Ayolah, aku ingin kau bicara tentang laron-laron. Bicaralah tentang 'Lagu Siul' itu!”</p><p>Aku rapatkan jaket hitam yang sudah apak oleh keringat dan debu. Kusulut api dan kupindahkan bara itu menjadi gumpalan asap yang terhembus dari mulut, tentu saja setelah kuhisap lebih dulu kretek dengan lingkar kuning di sepertiga ujungnya.</p><p>“Aku bukan Ahasveros lagi. Lupakanlah. 'Lagu Siul' itu amat bagus bicara ihwal kematian dan etos untuk terus berjalan menuju titik terang, kendati laron tahu makin dekat titik terang itu sayap-sayapanya akan terbakar, dan ia akan tewas. Tidak begitu aku ingin mampus.”</p><p>Aku menolak permintaanya dan mencoba berkelit demi membiarkan ia bisa terus berbicara dan mengoceh saja.</p><p>“Kau bajingan tengik. Tapi itu pun bahkan tak sanggup membuatku menganggapmu sebagai sampah. Karena sejak awal aku tahu resikonya!”</p><p>Aku tertawa agak getir kali ini. Itu sarkasme paling telengas yang pernah ia sembur di depan mukaku. Tapi aku menganggapnya justru sebagai pujian. Tak mudah bisa memunggungi orang ini berkali-kali tanpa sekali pun dianggap sampah.</p><p>Belakangan, aku tahu, itu percakapan terakhir yang ku gelar dengannya. Tapi ia tahu, sangat amat tahu, seperti apa resiko pernah menyentuh rambutku dan menyelipkan ujungnya di balik daun telingaku…. di ujung peron Stasiun Tugu, saat aku hendak pergi untuk sebuah perjalanan tanpa tiket kepulangan.</p><p><br /></p><p>Selamat jalan, Mevrouw. "Introitus: Requiem"-nya Mozart lantas mengalun pelan.</p>SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-83477845788919910072023-10-28T09:54:00.001-07:002023-10-28T09:54:32.028-07:0028 Oktober 2023<p></p><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pada akhirnya saya tahu letak kelemahan yang
saya miliki. Ternyata saya masih hidup dalam dunia di mana putih adalah putih
dan hitam adalah hitam. Saya masih saja menafikkan bahwa ada abu-abu di antara
kedua warna tersebut. Akibatnya saya selalu saja menjadi korban atau tumbal orang
lain. Atau dengan kata lain, saya masih terjebak dalam ruang idealisme –jika
polos atau bodoh tidak mau saya akui. Kehidupan dunia proyek tidak semudah apa
yang saya pelajari dalam ruang kuliah. Ternyata dunia proyek bukan soal
perencanaan dan pengestimasian resiko semata, tapi penuh dengan intrik, saling sikut,
cari aman dan cari muka. Selain itu apa yang dulu saya yakini bahwa pengalaman
bukanlah tonggak utama membentuk diri ternyata keliru besar. Walaupun pada satu
titik saya masih tetap saja menyakini bahwa pengalaman bukanlah guru terbaik.
Rasionalisme adalah segalanya. Ya, lagi-lagi saya masih apologi.<o:p></o:p></span></p><br /><p></p>SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-43843413965149438752023-10-26T10:07:00.002-07:002023-10-28T01:16:52.532-07:00Saru Paragaraf: Warna<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
<div style="text-align: left;">
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hujan.
Jalanan basah. Langit menampakkan wajah muram tanpa sebuah salam hangat.
Gerombolan manusia yang berjalan membawa kesedihan dan kebahagiannya
masing-masing. Perasaan yang kadang hanya bisa diterka dari raut wajah,
ekspresi atau tingkah laku. Bagaimanapun hujan membuat hari ini dingin dan
melelahkan. Satu kesibukan datang dengan begitu kejam dan menyedot habis
seluruh perhatianku hingga tidak lagi memiliki kesempatan untuk mendatangkan
pikiran tidak penting seperti biasanya. Arah jarum jam seolah bergerak
tergesa-gesa. Seperti tidak ingin bersahabat denganku dengan sedikit saja memberikan
jeda untuk bermalas-malasan barang sejenak. Eh, aku salah. Mengejar sesuatu membuat
satu detik menuju 60 menit menjadi begitu lambat. Seperti hari ini, di mana aku terjebak dalam
pusaran waktu yang memaksaku mencintai kenyataan. Tentang hari jum’at dan
hujannya yang deras, dan tentang hari jum’at yang tidak menghadirkan ruang
untukku memperhatikan banyak hal, termasuk warna. Hingga malam menjelang tak
ada keinginan apa-apa selain lelap. Tidur nyaris lima jam lebih cepat dari
biasanya adalah hal yang sangat jarang. Mau bagaimana lagi. Hari ini
kesadaranku memang harus betul-betul terjerat dalam kamar yang gelap. Dan di
sana, di kamar, aku merasa seperti orang buta yang berada di antara cahaya dan
bermacam-macam spektrum warna, tapi tidak terlihat ada apa-apa selain gelap.
Sepertinya aku telah tersekap oleh jala hitam yang mengepung dan tak membiarkan
aku lolos dalam kerangkengnya. Akhirnya pekat. Definisi warnaku hari ini sisa
satu. Seperti ilham, tiba-tiba aku bertanya kepada diriku: kira-kira bagaimana
rasanya menjadi orang yang tak lagi mampu menangkap warna atau pun gambar?
Entahlah. Yang kutahu sepelik apapun keadaannya selalu ada hal yang sangat
layak untuk kita syukuri. Salah satunya adalah sepasang mata yang memiliki
kemampuan melihat ragam kehidupan; segala rupa dari warna. Hmm… penglihatan
memang tampak seperti sesuatu yang terlihat sederhana, jarang diperhatikan,
namun merupakan hal yang justru memiliki nilai tinggi. Akhhh... sudahlah, tidak
perlu diperpanjang lagi. Sekarang kau tentu sudah tahu warna hariku, bukan?
Hitam. Warna yang lebih mengisyaratkan duka. Kesedihan. Seperti keterlambatanku
yang hanya mampu menuliskan tumpukan kata yang berantakan ini. Atau seperti
warna masa depanku yang masih belum bisa kuraba: sebagaimana hujan datang
dengan wajah muram tanpa sebuah salam hangat.</span><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p></o:p></span></p></div></div>
</div>
</div>
SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-63793241142636020362021-12-11T07:18:00.009-08:002023-10-28T10:01:45.556-07:00Temanku L<div style="text-align: left;"><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Temanku L. Dalam kamar dia menghadap cermin dan
memandang diri sendiri. Memperhatikan dan memastikan bahwa dia masih sama.
Seperti pada usia ke 23 tahun ketika membuat keputusan besar: berkomitmen tidak
menikah. Bertahun-tahun kemudian, pada usia menjajaki angka 30 tahun, saat kami
dipertemukan dalam satu janji, tepat setelah beranjak dari hadapan cermin,
senyum sumringah begitu tegas tersimpul. Rona merah terpancar. L bahagia.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: Cambria, "serif"; font-size: 12pt;">Alih-alih bertanya aku memilih diam, termenung,
meresapi dan coba memahami pilihan hidupnya itu. Sampai saat ini. Sebab aku
tahu pilihan itu berbuntut problematis dan menuntut konsekuensi logis daripada
psikologis semata. Kita mahfum betul itu. Tuduhan traumatis selalu dilekatkan
kepadanya. Alih-alih memahami dan mencerna berbagai argumen yang dia dasarkan
sebagai dalil tidak menikah.</span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: Cambria, "serif"; font-size: 12pt;">Kubilang ini problematis. Tricky. Alias pelik.
Dalam sosio-kebudayaan kita menikah telah menjadi bagian fase hidup. Menikah
setara dengan kelahiran dan kematian. Mau tidak mau harus ditempuh. Ada
dorongan bahkan paksaan dalam tempuhan itu. Konsekuensinya berbanding lurus
memunculkan stigma “bujang lapuk” dan “perawan tua”. Tanpa mau tahu dan
memahami bahwa manusia adalah makhluk yang bergerak dengan pertimbangan
rasionalitas dan digeluti oleh sisi emosional menuju entitas yang dianggap
benar.</span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: Cambria, "serif"; font-size: 12pt;">Padahal menikah adalah persoalan hak bukan
kewajiban. Hak itu dipakai atau tidak, itu terserah. Islam sendiri
mengklasifikasikan menikah bisa wajib jika memenuhi tiga kriteria: fisik, mental
dan financial. Jadi ketentuan menikah dalam Islam itu kontekstual. Ia bisa
wajib, sunnah, makruh, mubah atau terjebak dalam jurang berkategori haram. Jika
kita mau memahami ini saja, betapa Islam mensakralkan pernikahan dan menuntut
umatnya menjadi pribadi yang tidak boleh sembrono atau sembarang memasuki pintu
pernikahan.</span><span style="font-family: Cambria, "serif"; font-size: 12pt;"> </span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kalau pernikahan hanya dikembalikan kepada
ketakutan masuk neraka dan hanya semata-mata untuk melindungi diri dan
bersembunyi pada simbolik agama agar hubungan sex mendapat legitimasi suci,
betapa sia-sianya firman dalam Al-Qur’an bahwa pernikahan merupakan pintu
menuju ketenangan dimanis melalui konsep integral “Sakinah, Mawaddah, wa
Rahmah”-Nya.</span><span style="font-family: Cambria, "serif"; font-size: 12pt;"> </span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Toh, kalau mau dikembalikan dalam nuansa islami.
Jihad yang sesungguhnya itu bukan berperang tapi berjuang. Misal, kita suka
sama perempuan tapi tidak kesampaian karena tersandung syarat atau kriteria
yang berlaku. Mau zina tidak berani. Takut dosa. Takut neraka. Ditahan tidak
sanggup, terus bergejolak, tapi tetap berjuang melawan nafsu. Nah, dalam
kondisi ini, dawuh Gus Baha’; jika kita mati, meskipun belum/tidak menikah atau
itu jomblo sekalipun, kita matinya mati syahid.</span><span style="font-family: Cambria, "serif"; font-size: 12pt;"> </span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kembali ke L. Temanku itu. Aku merasakan degup
rasionalitas terhadap keputusan itu –tentu tanpa menutup mata terhadap faktor
psikologis. Dia satu dari teman perempuanku yang berdaya pikir kritis: menuntut
konsistensi dan konsekuensi logis pada setiap pilihan.</span><span style="font-family: Cambria, "serif"; font-size: 12pt;"> </span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dalil pertama L tidak menikah adalah tempatkan
orang sesuai keahliannya. Konsistensi yang digunakan adalah bahwa ia sadar diri
tidak ahli soal itu, menikah. Baginya pernikahan adalah perumusan dua orang
menjadi satu tanpa mengingkari secara ontologis bahwa dua tetap dua. Pada titik
ini menjadi tumpu persoalan laten bagi L. Terutama pada masyarakat yang tidak mau
terbuka dan masih patriarkal.</span><span style="font-family: Cambria, "serif"; font-size: 12pt;"> </span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">L tidak mau keberadaannya secara ontologis
diregus dalam relasi perumusan tersebut. Dia punya dimensi sendiri, juga
eksistensi dan esensi yang mesti berdiri dan diakui bahwa dia ada dan bahwa dia
juga manusia sebagaimana lelaki pada umumnya. Punya mimpi, punya ambisi. Tentu,
juga punya diri. Konsekuensinya, tegas L, jika ia dipaksa menikah, niscaya
bakal berbuntut kekacauan. Bukan menjadi pintu membuka kebahagiaan, malah jadi
ajang perdebatan bahkan keributan. Apalagi L tidak bisa berkompromi terhadap
peleburan ontologis itu. Terlebih, kata L, terhadap lelaki yang berpandangan
misoginis.</span><span style="font-family: Cambria, "serif"; font-size: 12pt;"> </span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Kenapa harus menikah?” Dalil kedua L. Untuk
kebahagian? Pada dasarnya kebahagiaan adalah saat kita berada pada kondisi
tentram dan senang. Pernikahan bukan satu-satunya pijakan mencapai itu.
Sebaliknya, tidak jarang pernikahan membuat sensara. Agar memiliki pendukung?
Kalau dalam perumusan ilmu Kalkulus, kata L, ini cuma masalah teknis mencapai
fungsi tujuan. Garis keturunan? L bukan anak semata wayang. Ia punya saudara. Tidak
sedikit lagi. Sudah menikah dan punya anak. Jadi perjalanan genetika ayah
maupun ibu L masih dapat melintasi sejarah umat manusia.</span><span style="font-family: Cambria, "serif"; font-size: 12pt;"> </span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Amat peduli” itu dalil ketiga L. Karena
pernikahan itu sakral bukan hanya sebatas janji-janji suci dan bahagia yg masih
sebatas fiksi itu, L menghormati pernikahan dengan tidak menikah. Sebab ia amat
peduli. Tahu bahwa tingkat kepercayaan ia sukses berbanding terbalik dengan
margin errornya. Jadi L amat peduli dengan kesakralan pernikahan, dan ia tidak
mau mencemari. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p> </o:p></span><span style="font-family: Cambria, "serif"; font-size: 12pt;">“Lalu kenapa kau belum menikah? Eh, atau tidak?
Ada al.....” Tanya L seketika, di belakang cermin, di atas kasur.</span><span style="font-family: Cambria, "serif"; font-size: 12pt;"> </span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sebelum tanya itu tuntas, langsung kucumbu dia.
Berguling dalam gesa dan berpacu bersama nafsu. Untuk kesekian kalinya
pertemuan itu berakhir dengan bercinta. Jangan tanya dosa. Dosa hanya berlaku
pada orang beragama dan tidak bagi yang bertuhan. Dan dengan lirih kujawab:
“Sebab ada kamu.”<o:p></o:p></span></p><br /></div>SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-85256203846585636772021-11-16T23:22:00.003-08:002023-10-28T09:56:43.688-07:00Satu Paragraf: Adolf Eichmann<p></p><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Satu waktu aku pernah memilih sebuah buku
tentang pengadilan Adolf Eichmann. Aku memiliki gambaran yang agak samar
tentang dia sebagai penjahat perang Nazi, tapi tidak ada minat khusus terhadap
orang ini. Kebetulan saja buku ini terlihat olehku saat ke perpustakaan. Aku
mulai membaca dan belajar bagaimana letnan kolonel yang sangat praktis di SS
ini, dengan kacamatanya yang berbingkai logam serta rambut yang menipis, tidak
lama setelah perang dimulai, ditugaskan oleh markas besar Nazi merancang sebuah
”penyelesaian akhir” bagi bangsa Yahudi —yaitu pemusnahan— dan bagaimana dia
meneliti cara-cara yang paling baik dalam melaksanakan pemusnahan itu.
Kelihatannya hampir tidak pernah terlintas dalam benaknya mempertanyakan
moralitas atas tindakannya. Yang dia pikirkan hanyalah bagaimana cara terbaik
membinasakan bangsa Yahudi dalam waktu yang sangat singkat serta biaya serendah
mungkin mengenai sebelas juta orang Yahudi yang menurut dia harus dimusnahkan
di Eropa. Eichmann mempelajari berapa banyak orang Yahudi yang dapat dimasukkan
ke dalam setiap gerbong kereta api, berapa persen yang akan meninggal lantaran
sebab-sebab ’alamiah’ selama dalam perjalanan, jumlah minimal orang yang
diperlukan guna menjalankan operasi ini. Cara termurah memusnahkan mayat
—bakar, atau kubur, atau menghancurkan mereka. Sambil duduk di kursinya,
Eichmann mempelajari semua angka-angka itu. Begitu dia memasukkannya ke dalam
operasinya, segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Setelah perang berakhir,
sekitar enam juta bangsa Yahudi telah dimusnahkan. Anehnya, orang ini sama
sekali tidak pernah menyesal. Dalam pengadilan di Tel Aviv, duduk di belakang
kaca antipeluru, Eichmann kelihatannya sama sekali tidak mengerti mengapa dia
diadili, atau mengapa mata dunia tertuju padanya. Dia hanya seorang teknisi,
tegasnya, yang menemukan jalan keluar paling mudah mengatasi masalah yang
ditugaskan padanya. Bukankah dia hanya melakukan apa yang juga akan dilakukan
oleh birokrat baik lainnya? Jadi mengapa hanya dia yang dituduh? Mencoba
memahami ini, aku jadi teringat apa yang pernah dikatakan oleh seorang tokoh
yang entah lupa siapa namanya bahwa semua adalah masalah imajinasi. Tanggung
jawab kita dimulai olehnya, kekuatan imajinasi. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Yeats bahwa tanggung jawab dimulai dengan mimpi. Atau seperti, selain Adolf
Eichmann yang terperangkap —entah suka atau tidak— dalam impian sinting seorang
bernama Hitler, kita bisa lihat dalam drama tragedi karya William Shakespeare
saat Romeo dan Juliet meminum racun lewat persoalan imajinasi bahwa cinta
adalah segalanya.<o:p></o:p></span></p><br /><p></p>SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-85264763400756552372021-11-16T23:20:00.003-08:002023-10-28T09:58:38.411-07:00Satu Paragraf: The God Delution<p></p><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">The God Delution. Adalah sebuah keberanian
menerbitkan buku penuh kontroversi ini dalam bahasa Indonesia. Meski buku ini
bukan buku baru, terbit 2006, tp polemik yang ditimbulkan masih bergaung hingga
saat ini. Buku ini bahkan dianggap sebagai kitab sucinya orang atheis. Dalam
pengantarnya saja, Dawkins secara gamblang mengatakan dg penuh harap yang telah
membaca bukunya ini dapat mengantarkan pembacanya pada satu pemahaman yang
sama: menjadi ateis. Tentu saja kalimat penuh agitasi ini menyebabkan para
pemuka agama di Amerika maupun Eropa yang mayoritas beragama Kristen marah dan
membuat buku tersebut mendapat cercaan di mana-mana. Sisi lain, sebenarnya,
keinginan membaca buku ini sudah terbesit berapa tahun silam, 2014, saat begitu
asik mencerna The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World karya
Paul Davies. Tapi, entah kenapa tenggelam begitu saja oleh kesibukan tak begitu
produktif. Kemudian, beberapa waktu lalu, dalam satu perbincangan pada satu
malam yang tidak begitu hangat keinginan yang telah tenggelam dalam alam bawah
sadar tersebut terpantik oleh satu kalimat provokatif: betapa superioritas
agama dalam sejarah kebudayaan kita telah menjembatani jutaan manusia menjadi
mayat untuk saling menghunus pedang. Dawkins juga mempersoalkan hal ini.
Seperti, betapa agama monotheisme (Yahudi, Kristen dan Islam) telah menjadi
kejahatan paling kejam dalam sejarah manusia. Kita bisa buka buku sejarah jika
tak percaya akan hal ini. Dalam pada itu, hal yang hendak digugat oleh Dawkins
melalui buku ini adalah agama supernatural. Agama supernatural adalah agama
yang menganggap bahwa Tuhan adalah sosok yang superhuman, sosok manusia yang
maha sempurna, maha melihat, maha mengontrol, maha menetapkan kemana masuknya
manusia. Seolah-olah manusia adalah mahluk yang tidak berdaya, tidak dapat
mengontrol dirinya yang segala sesuatunya sudah dikontrol sepenuhnya dan
ditetapkan oleh Tuhan. Dawkins sendiri adalah seorang ahli biologi evolusi yang
mempelajari teori evolusi biologis. Bagi Dawkins sainslah yang berusaha susah
payah menjawab segala bentuk ketidak-tahuan manusia. Hal ini berbeda dengan
orang-orang bergama yang hanya menerima jadi seperti apa yang telah ditetapkan
dalam agama. Dawkins menyebutnya sebagai Tuhan yang khayal atau mistis dan
tidak ada (God Delusion). Tapi ingat! Teruntuk kita, orang Indonesia,
percayalah menjadi athesis adalah perkara yang amat riskan. Bagaimanapun kita
tetap harus mengisi kolom agama di KTP meski kita ngotot tak beragama. Jika
ngotot mengosongkannya, kita bakal kesulitan melamar kerja, mengakses layanan
publik, dan menjadi PNS. Bahkan sampai perkara menikah. Ayo, pilih atheis atau
slibat (tidak menikah)?<o:p></o:p></span></p><br /><p></p>SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-78289520397846247692021-11-16T23:09:00.004-08:002021-11-16T23:15:54.333-08:00Satu Paragraf: Nyai Ontosoroh<div style="text-align: left;"><span>Saya selalu tertarik dengan perempuan yg punya kesadaran bahwa ia, sebagaimana manusia seperti halnya laki-laki, juga memiliki dimensi privat yg tak boleh diredupkan, dipatahkan dan dihilangkan oleh kejumudan kolektifitas budaya kita. Seperti Nyai Ontosoroh. Meskipun karakter ini fiktif dlm karya Tetrologi Buru Pramoedya Ananta Toer, ia selalu menjadi prototipe saya dlm melihat bagaimana seorang perempuan harus berfikir dan bertindak. Salah satu perkataan Nyai Ontosoroh yg sangat terekam dlm kesadaran saya adalah: “Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki. Tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai.” Kesadaran yg sangat bertenaga dilontarkan Nyai Onyotosoh ini membuat sya dulu, saat pertama kali membaca Tetrologi Buru, krn saya hidup dlm kebudayaan di mana laki-laki punya otoritas dan power tak bisa dibantah, membuat saya tidak bisa membayangkan bagaimana tekstur hidup seorang perempuan yg tak mau berkalang lelaki. Anggapku, perempuan seperti Nyai Ontosoroh ini adalah tanda kemurtadan iman seorang istri pada suaminya. Itu dulu. Dalam pada itu, kesadaran feministik yg telah menjiwai sosok Nyai Ontosoroh ini seperti ingin menteriakkan kembali suara Kartini yg telah parau digerus waktu; bahwa perempuan haruslah sejajar dengan lelaki; bahwa perempuan bukan sekadar kanca wingking (istri tidak memiliki peran penting setara dg suami dlm rumah tangga); bahwa perempuan bukan hanya hidup untuk urusan dapur, sumur, dan kasur, plus nganggur. Kemudian kesadaran feministik tsb. dinetralisir dengan premis kedua: “Tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai.” Poin ini menyemaikan arti bahwa meski ia bukanlah perempuan berkalang lelaki, ia masih butuh cinta darinya. Tapi di sinilah, pada premis kedua ini, kita butuh perenungan filosofis memaknai cinta bagi seorang perempuan seperti Nyai Ontosoroh. Bahwa cinta yg kemudian, biasanya ya, dilegalkan dlm pernikahan itu bukanlah sebuah jembatan untuk saling mengeksploitasi pasangan. Cinta berada pada dua kutub yg setaraf. Dua kutub yg sama-sama sadar akan nilai pihaknya dan nilai pihak pasangannya. Bukan dua kutub yang saling ingin memiliki. Sebab kepemilikan dalam cinta sejatinya bakal mengantarkan kita pada penguasaan, ekspolitasi, dan mengatarkan hubungan pasangan pada relasi subjek-objek. Akibatnya, dalam hubungan relasi tsb., kita tidak lagi menemukan sisi lain manusia, baik perempuan atau laki-laki, bahwa mereka memiliki dimensi privat yg harus dihormati. Tapi sial, alih-alih mengidolakan, ketertarikan saya pada karakter fiktif Nyai Ontosoroh seringkali kelewatan batas. Ya, saya jatuh hati pada Nyai Ontosoroh. Perempuan yang memiliki kesadaran tinggi, pintar, berkarakter, tidak gampang leleh pada pria, dan tidak menghamba pada kecantikan fisik semata itu. Bahkan delusi romantika ini membuat gerak kecil dari isi kepalaku mulai asik berimajinasi, berkenala dan mencoba mencuri seonggok hati berbentuk cinta walau selalu kalah terhadap paradoksal, serta berusaha sebisa mungkin memproyeksikan diri sebagai Jean Marais: seorang pelukis yg kelak akan menjadi suami Nyai Ontosoroh. Walaupun sisi lain, sampai saat ini, saya masih berpegang teguh dg kesadaran Sigmund Freud; bahwa cinta, seromantis dan sehalus apapun susunan kata yang diucapkan, tidak punya arti kecuali di atas ranjang!</span></div>SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-39942341236277838792021-06-17T18:50:00.006-07:002021-08-05T09:55:01.201-07:00Satu Paragraf: Selamat Jalan, Mbak<div style="text-align: left;"><span style="font-family: georgia;">Sebelumnya, kematian bagiku adalah entitas berbeda dari kehidupan. Mereka mandiri dengan wujudnya masing-masing. Jika kehidupan ada di sebelah kanan, kematian ada di sebelah kiri. Mereka terpisah oleh benteng kokoh tak berwujud sebagai pembatas. Benteng itu begitu halus. Seperti gelembung udara yang mengisi tubuh kita tanpa kita sadari. Mungkin karena anggapan itu aku hampir tidak pernah menangis jika salah satu keluargaku meninggal dunia. Apa aku begitu kaku dan tak perasa? Entahlah. Seperti saat kakekku meninggal dunia. Alih-alih menangis dan ikut meramaikan kesedihan, aku malah melakukan hal praktis. Persis seperti mekanik pada sebuah mesin otamatis. Ikut menyiapkan kain dan air dan memandikannya. Juga menyiapkan keperluan apa saja untuk para nelayat. DLL. Itu juga terjadi saat nenekku meninggal dunia. Sepertinya pada sebuah tempat yang tersembunyi dalam otakku sudah diberi perintah “jangan menangis” dan “jangan bersedih”. Tentu aku pernah menangis. Tapi, itu bukan berkaitan kematian. Kemarin lalu, awalnya, juga demikian. Ketika dalam perjalanan di Suramadu dan telpon dari Rumah Sakit mengabarkan saudaraku meninggal dunia dan teriakan tangis mengisi ruangan mobil, sesaat aku terdiam dan menarik nafas dalam dan panjang. Tanpa tangis. Kemudian menenangkan dua saudaraku yang lain untuk tetap tegar dan tabah. Sesampainya di Rumah Sakit kuminta kedua saudaraku, suami (almarhumah) dan anak sulungnya tetap di lantai bawah. “Biar aku saja yang mengurus segala tetek bengek administrasi Rumah Sakit,” terangku. Kupencet lift ke lantai 5 dan menuju ruang administrasi. Kuberitahu bahwa aku adalah adiknya ketika salah satu staff bertanya. Sepertinya mereka tak percaya karena melihat air mukaku yang tenang dan tidak mengisyaratkan sebercak kesedihan. Saking tak percayanya mereka sampai lupa mengucapkan bela sungkawa, sepertinya. Aku mengikuti intruksi adminstrasi Rumah Sakit. Membayar biaya selama dirawat, menyelesaikan surat-surat kematian dan menyewa ambulan. Naik-turun. Kembali ke lantai 5 dan mengonfirmasi bahwa semuanya sudah selesai. Menghilangkan lelah dan penat, aku pergi ke halaman luar Rumah Sakit: merokok. Sejenak lalu, aku memalingkan wajah dan melihat keluargaku yang jaraknya sudah mengelabuhi kedua mata minusku. Aku masih bisa mengontrol. Namun, bersamaan dengan hembusan asap rokok yang berkelindang, sejumput kenangan (saya bersama almarmuhah) menjemput dan memantik kenangan kami yang lain dengan sendirinya. Semacam rumput liar yang tak pernah diinginkan. Tangisku pun pecah: bersamaan dengan ingatan bagaimana mbakku mengajariku membaca dan memahami pola pembagian dan perkalian matematika saat masih SD. Kenangan saat kami tertawa. Juga saat kami pernah bertengkar hal sepele. Serta ingatan bagaimana dia menasehati untuk melanjutkan pendidikan, masih terasa seperti kemarin kudengar. DLL. Kenangan tsb. berhasil memporak-porandakan perasaanku, tidak lagi mengetuk. Kini, simpulku, tak seperti sebelumnya, kematian bagiku bukan lawan dan terpisah dari kehidupan. Kehidupan adalah kematian itu sendiri, dalam setiap kejut, kabar buruk, kenangan, makna kata pergi dan ketiadaan. Selamat jalan Mbak. Kembalilah dalam ketidaanmu dengan tenang. Sejatinya kita memang hanya menunggu sebuah ketiadaan (cepat atau lambat). Hanya untuk kembali belajar agar tetap terlihat baik-baik saja. Bahwa yang seharusnya kami lakukan adalah menerima dengan sungguh-sungguh. Sejenis belajar ikhlas, karena memang sudah waktunya kau kembali ke siklus sebelumnya: dari tiada, ada dan menjadi tiada. Mbak, kau memang tiada, tapi kau akan abadi dalam kenangan kami. Doaku, surga adalah tempatmu.</span></div>SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-57448532070458968602021-03-14T04:30:00.002-07:002021-03-14T04:30:42.737-07:00Pengader, Al-Qur’an dan Via Vallen<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Salah
satu isu yang mencuat dalam majelis pengader beberapa waktu silam adalah
perihal bacaan al-Qur’an para pengader. Kita tidak bisa menyembunyikan bahwa di
balik tampilan kharismatik para pengader dengan segudang “bualan” teorinya di
atas panggung pelatihan ternyata ada satu sisi yang tersoroti oleh para
peserta. Bacaan al-Qur’an yang kerap dilantunkan setelah ritual shalat maghrib
dan shubuh paling tidak mendapatkan perhatian tersendiri dari para peserta
pelatihan. Memang tidak semua pengader mampu membaca al-Qur’an dengan lancar
dan baik. Keberagaman ini masuk pula pada impuls-impuls tafsir mereka hingga
melahirkan interpretasi yang berbagai macam rasanya.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Bukan
tidak pernah wacana ini mengemuka di atas gelas–gelas kopi benak para pengader
saat bersua. Perbincangan menuju pada arah bertema bagaimana meningkatkan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">self quality</i> para pengader dalam membaca
al-Qur’an. Setiap kali masuk pada bahasan ini akan jatuh pada muara-muara
apologi dan desas-desus yang kian kencang. Ada yang berkalam biarkan mereka
para pengader yang belum lancar membaca al-Qur’an itu mencari sendiri di luar pembenahannya.
Ada pula yang bilang bahwa pembenahan bacaan al-Qur’an pada para pengader akan
memunculkan rasa sungkan yang dapat menghanyutkan eksistensinya ke pinggir
garis penarikan diri dari forum-forum kepengaderan. Setelah buntu pemikiran
itu, maka para mutakalim akan menyeruput kopinya dan bahkan beberapa dibarengi
hisapan tadkhin hingga akhirnya luput juga perkalaman ini seiring terseruputnya
kopi dan tertadkhinnya apa yang kerap mereka sebut asap revolusi.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Gagasan
berikutnya muncul untuk diimplementasikan ketika pendaftaran pelatihan-pelatihan
atau kursus, tapi pro-kontra kembali bertiup kencang. Fraksi pertama dengan
langkap cukup berani mengajukan bahwa mereka yang tidak bisa menghafal
ayat-ayat Tuhan yang selama ini disyaratkan lebih baik mundur dari arena pendaftaran.
Sedangkan fraksi yang kedua dengan nada yang terkesan moderat mengadu pikir
terhadap fraksi pertama, bahwa di antara sekian pendaftar yang belum bisa
membaca al-Quran itu barangkali ada kader-kader yang loyal dan bahkan loyalitasnya
melebihi yang bisa mem-baca al-Qur’an dengan fashih yang menyerupai Syaikh
Mishari Rasyid dan Allamah Yaser Arafat. Dan selama ini kita cenderung mengikuti
langkah yang terakhir ini.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Menyoalkan
perihal ini, tiba-tiba ingatan saya terlempar pada bincangan hangat beberapa
malam silam, ketika seorang pengader senior dari tanah Angling Dharma dan
bercuap-cuap tentang organisasi yang didirikan Lafran Pane ini. Ia berujar
bahwa salah seorang pengader yang menjadi pemandu di pelatihan LK I penulis tempo
hari lalu (ketika penulis masih di LK 1)mulai aktif berinteraksi dengan
al-Qur’an setelah selesai memandu pelatihan itu. Sang pemandu merasa bahwa
dirinya sebagai pemandu masih kurang apik tilawahnya di depan para peserta.
Pemandu yang notabene bukan berasal dari kaum santriyun ini mulai membuka diri
untuk belajar menetra kalimat-kalimat wahyu bersama para pengader madzhab Karangkajen.
Sampai terakhir penulis berinteraksi dengan sang termaksud, kalam hangatnya
masih terasa tidak berubah seperti dulu saya duduk di arena pelatihan di bawah
bimbingan pengetahuannya.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Entah
ini adalah suatu romantisme atau bukan, entah ini adalah suatu keterperangkapan
penulis dalam jaring-jaring reduksionitas yang terkesan partikular atau bukan,
tapi ini adalah masalah realitas yang harus sama-sama menjadi perhatian para
pengader yang tidak boleh luput. Bukankah tujuan paling sederhana dari seorang Lafran
Pane mendirikan HMI agar para mahasiswa tidak tenggelam dan lenyap dari segala
dimensi reigiusitasnya. Jika kita begitu bersemangat mengobarkan semangat
diktum-diktum keIslaman dan keIndone-siaan di setiap forum, maka membaca
al-Qur’an di sela-sela rutinitas merupakan bukti terkecil dari komitmen itu.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Jika
kita berlindung pada suatu apologi bahwa di sini letak ketidak setujuan bahwa
pengader bukanlah seorang nabi sehingga selalu saja ada kurangnya, maka ini
bukan suatu alasan untuk jatuh lebih dalam pada jurang-jurang kaum fatalis.
Memang kita harus merumuskan kembali, bagaimana formula yang tepat untuk
samasama berikhtiar keluar dari kejumudan yang selama ini seolah menjadi laten
dan mendapat legitimasi pembiaran ini. Meski ini bukanlah suatu hal yang mudah
di tengah suasana HMI yang kerap direduksi menjadi simbol arena pergulatan
kekuasaan layaknya partai-partai politik. Tahdzir, organisasi HMI ini bukan
hanya ‘hitam’ tapi juga ada ‘hijau’ dan ‘putih’nya.</span></p><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: Cambria, serif; font-size: 10pt; text-indent: 36pt;">Apa
dengan berkalam-kalam seperti ini saya menjadi seorang normatif-konservatif? <i>Wa
kafa billahi syahida</i>. Kepada Allah saya mohon ampun atas segala suara refleksi
yang tidak semerdu suara syaikhah Via Vallen atau sayyidah Nella Kharisma yang
tidak jadi saya bahas lebih lanjut di tulisan kali ini. </span><i style="font-family: Cambria, serif; font-size: 10pt; text-indent: 36pt;">Wallahu a’lam bi al-Shawab</i><span style="font-family: Cambria, serif; font-size: 10pt; text-indent: 36pt;">.</span></p>SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-22784478060102645972021-03-12T05:21:00.003-08:002021-03-12T05:21:29.335-08:00Satu Paragraf: Don Quixote de la Mancha<p style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Buku bukan
saja dapat mengubah dunia. Ia juga dapat membuat pembacanya menjadi gila.
Itulah novel Don Quixote. Kisah lelaki paruh baya yang mengimajinasikan dirinya
menjadi ksatria demi keinginan absurdnya menumpas kejahatan, karena terobsesi
oleh kumpulan hikayat kepahlawanan yang dibaca. Bagaimana kekuatan sebuah buku
mampu menghipnotis pembaca: Aku teringat kisah teman saat kami sedang liburan pada
suatu sore menepi di pantai dan memandangi dunia yang terdiri dari waktu itu, tiba-tiba
punya keinginan gila memotong senja dan mengeratnya menjadi empat sisi demi
pacarnya, setelah membaca Sepotong Senja Untuk Pacarku. Atau kisah seorang anak
muda yang merupakan novelis pemula pindah ke Paris setelah membaca <i>A Moveable Feast</i>. Ia begitu tergila-gila
dengan Paris dan kehidupan kesusastraannya, sebagaimana yang dibayangkannya
setelah membaca karya Hemingway itu. Tapi, Don Quixote melampaui dua kisah yang
kucontohkan. Don Quixote adalah karakter yang memaksa realitas harus sama
dengan imajinasinya. Tak peduli bagaimana tanggapan orang lain. Seperti dalam
satu adegan bagaimana Don Quixote menganggap bahwa kincir angin adalah raksasa
jahat yang harus ia bunuh. Atau pada satu adegan lain, ketika Don Quixote
memaksa para pedagang pasar untuk percaya bahwa kekasih khayalannya, Dulcinia
de Toboso, adalah wanita maha cantik luar biasa meski para pedagang itu belum
pernah dan tidak akan pernah bertemu dengan wanita itu. Lalu apa yang membuat Don
Quixote de la Mancha didapuk menjadi salah satu dari 100 buku yang berpengaruh
di dunia? Apa pesan moral yang hendak disampaikan buku ini? Jawabannya, mungkin
adalah kegilaan itu sendiri. Toh, sama seperti kemanusiaan, kegilaan juga adalah
batas yang dibuat oleh manusia. Tapi, dalam pada itu, menurutku, Don Quixote
adalah kisah manusia yang “bertanggung jawab” atas keyakinan atau imajinasinya
sendiri. Cervantes, sang pengarang, hendak menunjukkan kepada kita bahwa
manusia bebas adalah saat manusia itu berani menjalankan idenya sendiri
meskipun ide tersebut konyol, gila maupun absurd.</span><span style="font-family: Cambria, serif; font-size: 10pt;"> </span></p>SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-29935554557611759672021-03-11T22:55:00.014-08:002021-03-12T05:36:21.220-08:00Satu Paragraf: Absurditas Sartre, Nietzsche dan Camus<p style="text-align: justify;"></p><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Saat
kulari ke hutan dan berteriakku seperti tarsan, hutan dan penghuninya hanya
asik dengan dirinya sendiri. Saat kulari kepantai dan berteriak “Aku
mencintaimu”, hanya deru ombak sebagai jawaban. Manusia menciptakan dirinya
sendiri, dunialah yang absurd, bukan kita; dan Jean-Paul Sartre berkata: “Aku
tahu ini adalah dunia, Jul. Dunia telanjang ini tiba-tiba saja memunculkan
dirinya sendiri. Aku menjadi gusar dengan kehidupan kotor dan absurd ini.”
Melalui modus kesadaran ini, Sartre mencoba memberikan pandangan bahwa manusia
memiliki makna dalam dirinya sebagai makhluk berpredikat bebas yang menyatu
dengan pilihan. Kebebasan adalah pilihan. Manusia sejati adalah ketika pilihan
kebebasannya dapat ditentukan tekanan dan intimidasi, dan Friedrich Nietzsche sepakat:
“God is dead.” Dari Nietzsche, dimulailah babak baru kehidupan manusia di
dunia ini. Sebut saja babak alienasi, yaitu saat manusia mengalami keterasingan
dari luar dirinya saat menentukan pilihan. Setiap pilihan, kata Nietzsche,
menjadi sesuatu yang tidak menentu. Artinya, manusia tidak bisa mengharapkan
balasan apapun dari dunia yang absurd ini terhadap di luar dirinya. Kita,
manusia, hanya bisa berharap pada diri kita sendiri, tapi Albert Camus membantah: “Aku sedih. Kamu juga sedih, Jul. Kita semua sama sama sedih atas
kenyataan ini. Ternyata, di balik kenyataan bukan hanya dunia yang absurd, kita
sebagai manusia juga absurd. Tujuan satu-satunya manusia eksis di dunia ini
adalah kematian.” Camus menyebutkan bukan hanya dunia saja yang absurd, kita
sebagai manusia juga absurd. Maka, hanya ada satu jalan yang bisa dilakukan
oleh manusia untuk mengakhiri absurditas ini, yakni bunuh diri filosofis: sebuah
prosesi pembunuhan dengan cara membunuh akal, imaji atau pikiran. Sebab dunia
memang tidak dapat kita pikirkan. Sadar akan hal itu, kemudian aku lari lagi ke
hutan dan berbelok ke pantai tapi tak lagi berteriak </span><span style="font-family: Cambria, serif; font-size: 13.3333px;">“Aku mencintaimu”,</span><span style="font-family: Cambria, serif; font-size: 10pt; text-indent: 0cm;"> melainkan pasrah betapa sia-sia hidup ini, dan bergumam bahwa </span><span style="font-family: Cambria, serif; font-size: 13.3333px;">“A</span><span style="font-family: Cambria, serif; font-size: 10pt; text-indent: 0cm;">ku
hanyalah sepotong momen pendek dalam dunia absurd ini akibat Roh Mutlak yang
haus akan kreatifitas</span><span style="font-family: Cambria, serif; font-size: 13.3333px;">”</span><span style="font-family: Cambria, serif; font-size: 10pt; text-indent: 0cm;">.</span></p><p></p>SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-2173523092184019102021-03-11T21:58:00.007-08:002021-03-11T22:04:06.972-08:00Puisi: Langit Jogja<p> </p><p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Di Kota Pahlawan, kau bersarang<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Sedangkan aku, di Kaliurang<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Berapa panjang jarak kita? Aku tak tahu<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Yang kutahu<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Kaulah yang paling dekat dengan do’aku<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;"><o:p> </o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Puisi ini, </span></p><p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Boleh kau katakan sekedar celotehan intuisi<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Atau sekedar gerak kecil dari kepalaku yang mulai asik berimajinasi<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Tapi tanpamu, kau pun tahu<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Aku takkan mampu berpuisi<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;"><o:p> </o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Maka, <o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Lihatlah ke sini! Ke langitku!<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Langit Jogja yang sedang menggerutu<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">“Tentangmu” ia terus saja berucap<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Tentang rindunya yang sudah lama pengap<o:p></o:p></span></p>SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-69067993809612329022021-03-09T13:48:00.011-08:002021-03-09T17:35:55.858-08:00Satu Paragraf: Setelah Nonton Drakor<div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Dua
hari ini, karena tenggat paket data tersisa beberapa hari lagi dan sisa kouta
masih banyak, aku meghabiskan waktu dengan nonton beberapa film. Baik itu
Jepang, China dan Drakor. Sama seperti pengarang sastra lama yang punya
kebiasaan menjadi malaikat maut bagi tokoh utamanya; seperti dalam novel Siti
Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang hingga Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk;
aku juga menemukan hal yang sama pada film-film yang kutonton. Seperti ada sebuah
kesan kesengajaan dari penulis skenario untuk mencabut nyawa tokoh utama
mereka. Bisa diawali dengan penyakit kronis mematikan yang tidak bisa
disembuhkan atau tiba-tiba langsung mati aja gitu. Aku tidak tahu pasti apa yang
mendasari atau melatari unsur kesengajaan ini. Tapi, kalo aku diperbolehkan membuat sebuah kemungkinan, atau spekulusi, seperti kebiasaaan pengarang sastra lama yang punya hobi bener membunuh tokoh utama
mereka dan mengkontekstualkan pada film-film yang kutonton, sepertinya mereka
juga ingin membawa pesan “semangat baru” yang tidak ada bedanya dengan “semangat
romantik” yang timbul di Eropa pada penutup abad 18 dan terus berpengaruh dan
berkembang hingga abad 19. Satu ciri khas dari semangat ini adalah, sebagaimana
ungkapan Armijn Pane, hendak membesarkan pengaruh perasaan pada zaman
sebelumnya, yaitu zaman pikiran atau rasionalisme, untuk menghidupkan kesadaran
hati (pembaca novel atau penonton film) bahwa cinta di atas segalanya. Mungkin
memang seperti itu. Tapi, pada satu sisi, dalam akalku, bual aja nih Film.
hehehe</span></div>SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-25488149704333746362021-03-08T13:30:00.000-08:002021-03-09T20:06:10.408-08:00Puisi: Tinggalkan di Plato Tibet<p></p><p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">“Aku bintang apa binatang?<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Aku bulan apa bukan?”<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;"><o:p> </o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Syair-syairku telah melupakanmu<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Bersama cacing-cacing itu yang mati kelaparan<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Bersama kuda-kuda itu yang mati kehausan<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Puisi-puisiku pun tak lagi menggilaimu<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;"><o:p> </o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Sudah kubilang bukan<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Jika ingin meninggalkanku<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Tinggalkan saat kita berdua di Everest<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Kau memilih tidak sampai di Plato Tibet<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Atau, mati berdua saja<o:p></o:p></span></p><br /><p></p>SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-41764117281899399222021-03-07T12:47:00.000-08:002021-03-09T20:07:59.709-08:00Puisi: Mutiaraku Pecah di Jogja<p align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Bermula di Tuju<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Kubungkus harapku dengan do’a<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Pikirku akan nyata dibalik
getirnya usaha<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Kesandung batu, rupanya berhasil
pecahkan mutiara<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;"> </span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Kemudian pindah ke Lereng Merapi<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Sejuk pilu makin menjadi<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Beralas harap setitik api<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Sekali berkobar, jiwa ini bak mati<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;"> </span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Rimbun pepohonan di Kaliurang<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Bertahun-tahun aku menjadi
bintang<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Berharap manusia tak mudah
menafsirkan<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Rupanya, mutiaraku mereka
pecahkan<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;"> </span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Bertahun-tahun aku jaga<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Agar mutiaraku tak satupun pecah<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Sekali-dua mereka berulah<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Ampun, mutiaraku pecah belah<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;"> </span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Jakal KM 13.5 menjadi saksi
hilangnya mutiaraku<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Berapa lama lagi akan bertahan? Entah<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Atau menyerah saja pada keadaan?<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: center; text-indent: 0cm;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Mungkin tiada lagi setelah itu mereka
pecahkan<o:p></o:p></span></p>
<p><span style="font-family: Cambria, serif; text-align: center; text-indent: 0cm;"> </span> </p>SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-34793113133632909832021-03-06T13:19:00.001-08:002021-03-11T05:55:19.731-08:00Puisi: Kukenang Kau Sembari Pergi<p></p><p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Ada yang lain ikut berguman tadi pagi<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Katanya, jangan bangun lama-lama<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Hari ini hujan bakal deras<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Tapi, aku bangun juga<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;"><o:p> </o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Ada yang lain berbisik tadi siang<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Katanya, jangan main dengan banyak teman<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Hari ini panas, tak jadi hujan<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Tapi, aku main juga<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;"><o:p> </o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Hari ini,<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Ada yang lain meski hujan dan panas silih
berganti<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Aku bangun atau tidur kembali <o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Disela terjaga pada tiap hembusan nafas dan
denyut nadi<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Namamu, masih saja menyelinap di dinding hati<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;"><o:p> </o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Sekali lagi,<o:p></o:p></span></p>
<p align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Kukenang kau sembari pergi<o:p></o:p></span></p><br /><p></p>SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-30825180400358908562021-02-22T21:33:00.003-08:002021-03-08T11:29:30.988-08:00Nikita Mirzani, Perempuan Gila yang Kita Butuhkan!<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Berbeda
dengan Dian Sastro yang dianggap prototipe perempuan ideal oleh Puthut EA,
punya karir bagus, selalu tampil menawan dan dapat suami tajir pula; dalam
pandangan bualku, Nikita Mirzani tampil beda untuk mensimbolkan diri sebagai
perempuan.</span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Pada segi fisik,
bagi para pengkhayal Nikita memang tidak bisa disandingkan dengan keaduhaian <i>subhanallah</i>-nya Chelsea Islan dalam
mengarungi kehidupan tak berperi ini. Atau dengan Anya Geraldine, <i>the best of woman</i>-nya para jomblo; sejak
mereka muntap, merintih dan murtad dari jomblo syari’ahnya saat ditinggal nikah
Isyana Sarasvati.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Tapi
percayalah, meski bagi banyak kalangan Nikita diasosiakan dalam bentuk negatif
serta selalu dijadikan objektifikasi bahan keliaran fantasi jari-jemari di
kamar mandi, sebenarnya, tanpa mengurai hormatku bahwa dia emang sexy dan
ciamik, melampaui prasangka tersebut.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Lewat gaya
bicara ceplos-ceplos, penuh satire, dan tentu saja bakal terasa pedas dan
terasa panas seperti <i>‘Sambalado’</i>nya
Ayu Ting Ting, serta tak kenal takut berceloteh, sudah mengisyaratkan
kesimpulan begitu kuat pada kita bahwa Nikita Mirzani, sebagaimana julukannya,
adalah sebaik-baiknya simbol wanita amazon sebenarnya: kuat, tanguh dan
berbahaya.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Kalian boleh
tak sejutu dan tetap bersikukuh bahwa apa yang dilakukan Nikita hanya untuk
membuat sensasi agar popularitasnya melejit. Tak lebih dari itu. <i>“Agar bisa nerima banyak endors,”</i> kalau
kata seorang teman saat aku nyeletuk betapa berani dan kerennya Nikita
mengomentari penjemputan sang maestro FPI dan menyebut ‘habib’ sebagai tukang
obat.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Sebab Kawan,
menjadikan Habib Rizieq sebagai bahan hanya untuk membuat sensasi, tokoh
karismatik sejuta umat yang sudah tiga kali puasa dan tiga lebaran tidak bisa
pulang seperti bang Toyib itu adalah tindakan bodoh. Resikonya terlalu besar
daripada mendomplang popularitasnya.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Ingat Habib
Rizieq bukan tokoh kaleng-kaleng. Dia penggerak ulung. Ribuan atau mungkin
jutaan masa saat memadati Monas meminta keadilan menyoal Ahok adalah contoh
betapa bahaya berurusan dengan sang maesto ini. Jadi tidak heran, hanya
berselang berapa saat komentar Nikita diunggah, sudah dipersoalkan.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Pertama
adalah Habib Alwi, dengan keras berkata jika Nikita tak meminta maaf maka akan
dilaporkan. Lain, tak kalah sadis, murka terhadap Nikita muncul dari entah
siapa yang menyebutnya ustad, yang haduh tak terukur banget <i>na’udzubillahimindzalik</i> pemilihan kosa
katanya. Bahkan ‘djancook’nya Surobayo masih kalah kasar Cok!<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Jadi apakah
ini semua hanya sensasi semata? Hanya untuk mendongkrak popularitas? Ayolah!
Ini Habib Rizieq. Bukan Lesti dan Rizky Billar. Atau Dinda Hauw dan Rey
Mbayang. Marilah kita berfikir dengan sedikit saja melepaskan sisi kontroversi
Nikita dan berusaha berpendapat seobjektif mungkin dalam kasus ini, tanpa
prasangka.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Toh selain
keberanian Nikita menyoal penjemputan Habib Rizieq ketika pemerintah mulai bisu
menyikapi keacuhan protokol kesehatan saat itu, bangsa ini juga butuh sosok
perempuan seperti Nikita di tengah makin pasifnya perempuan terhadap opini
publik. Juga kesibukkan mereka dengan produk kecantikan <i>glowing skin</i>. Tapi anehnya, saat kita puji cantik seperti Dewi
Chang’e dalam serial Kera Sakti, mereka, dengan pakai senyum sipu malu segala,
membantah: “Biasa aja kok. Cantik itu relatif.” (Kan bangsat?!)<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Apalagi
bulan lalu. Saat aktris lain berkiblat dan menjadi corong pemerintah mendukung
pengesahan <i>Omnibus Law</i>, Nikita tampil
beda. Dia ikut menyindir orang nomor satu di parlemen, Puan Maharani. Selain
menyinggung kejahilan tangan Puan mematikan microfon saat anggota dewan lain
sedang berbicara, dia juga mengingatkan ketua DPR itu tentang Pancasila sebagai
dasar bernegara.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Sadis,
bukan? Orang yang berapa bulan sebelumnya meminta masyarakat Sumatera Barat
agar menjadi provensi yang mendukung negara Pancasila, malah diceramahi
pentingnya Pancasila dalam bernegara. Jadi, melihat kenyataan ini, melebihi
pendapat sebelumnya, pada Nikita kita bukan hanya butuh tapi sekaligus
memberitahu bahwa <i>habis gelap terbilah
terang</i> sejak ditinggal R,A Kartini berpuluh-puluh tahun itu, kini muncul
pada sosok Nikita.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Dalam pada
itu, dengan tingkat kesadaran yang tinggi sebagai perempuan, yang kuat,
tangguh, berbahaya, teguh terhadap prinsip, tidak meleleh terhadap ancaman,
kesadaran karakter Nikita ini hanya dapat kita temukan pada sosok Amba dalam
novel karya Laksmi Pamuntjak atau Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia. Atau lagi,
pada sosok Firdaus dalam novel Perempuan di Titik Nol.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Sebab itu,
mari kita kuatkan barisan! satukan tekad! dan tegakkan badan! Bahwa kita, teguh
mengawal Nikita. Bahwa kita, tetap bersama Nikita. Sebab untuk melawan kelompok
gila, kita butuh sosok yang lebih gila.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: Cambria, serif; font-size: 10pt; text-indent: 36pt;">Hidup,
Wanita Amazon!!</span><span style="text-align: left;"> </span></p>SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-19703408787474216062021-02-22T21:11:00.004-08:002021-03-08T11:29:49.376-08:00Bidadari itu Ada di Dunia, dan Aku Ingin Bucin dengannya II<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Seminggu telah usai sejak mimpi itu berlalu.
Tapi rasa penarasan masih saja mengusik mengapa dia tanpa sopan santun masuk
dalam mimpiku. Betapa dia sangat ceroboh dan tak beradab, keluhku. Masuk tanpa
permisi pada mimpi seseorang yang telah lama kering dalam persoalan cinta.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Dalam
lamunan juga kupersoalkan. Apa dia pikir hati lelaki sekuat bata karang seperti
dalam sebuah puisi dan tetap kokoh terhadap hembusan ombak? Apa dia juga tak
pernah berpikir bahwa sekuat dan sehebat apapun lelaki tetap akan rapuh dan
baper oleh lemparan senyuman itu?<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Seperti
kemarin, saat aku mengantar keponakanku sekolah. Betapa dia begitu tega saat
kami bertemu tanpa sengaja di simpang jalan yang memisahkan pasar dan sekolah
Taman Kanak-Kanak, menyapaku “kak” dan melemparkan senyuman terindah itu, tepat
saat angin jahil dari hempasan mobil melaju menderaikan rambut hitamnya seperti
dalam film-film romance.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Aku sudah
tidak tahan, keluhku. Cinta yang muncul dan bermuara dari mimpi telah berhasil
memporak-porandakan hatiku. Jika kubiarkan begini, tak ada gerakan melangkah,
hanya diam di tempat, melamun dan berkhayal saja, pelan namun pasti hidupku
bakal digerogoti kegalauan dan bakal berakumulasi menjadi penyesalan di hari
esok.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Bersama
seorang teman, pada suatu siang saat kami sedang asik ngobrol tanpa kenal waktu
karena sama sama menjadi beban bagi nusa dan bangsa, pengangguran, dan ia mulai
memahami kondisiku, mensatirekan perkatakan agung Sutan Sjahrir bahwa <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“cinta yang tak dipertaruhkan tak akan
pernah dimenangkan!”</i> <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Aku merinding
dengan perkataan penuh dengan degupan revolusi itu. Ghirohku tersulut dan
membakar bunga api dan meletup bersamaan dengan gelora muda menuju tangga
idealisme cinta paling atas. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Aku akan
berjuang,”</i> sambarku penuh bara. “<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Seperti
aku memperjuangkan hak-hak rakyat kecil yang dirampas dan ditindas penguasa.
Tak peduli aparat kepolisian menghadang, memukul, mengancam bakal dibui dan
menyemprotkan gas air mata.”</i><o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Sebelum melancarkan
aksi, serupa persiapan apa saja yang dibutuhkan pasukan tentara sebelum melakukan
penyerangan, dengan kongkalikong sana-sini, aku meluangkan waktu dengan
mengumpulkan informasi yang lebih dalam dan perinci mengenai dirinya. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Seperti apa
zodiaknya, film favoritnya, tokoh yang dikagumi, aktivitasnya saat kuliah,
dst.. Semua itu kukumpulkan agar dapat mengidentifikasi kecenderungan
psikologisnya, sebagaimana yang pernah dilakukan Anton saat mendekati Erika
dalam novel <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Cintaku di Kampus Biru”</i>.
Bersamaan dengan itu juga, agar gerakanku bisa lebih luwes lagi dalam
mendekatinya, aku kembali membaca buku Erich Fromm: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">The Art of Loving.</i><o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Jadi bisa
kalian anggap bahwa persiapanku dalam perjuangan ini bukan sekedar strategi dan
logistik tapi juga tentang taktik. Juga mencerna itu semua, agar aku tak salah
langkah dan cenderung ilmiah, bila aku hitung-hitung secara probabilitas, tingkat
kepercayaan aku bakal sukses dalam perjuangan merebut hatinya adalah 95% dengan
margin error hanya sebesar 5% saja. Apalagi belakangan hari aku juga
mendapatkan informasi bahwa dia telah putus dengan kekasih yang dahulu pernah
main ke rumahnya. Lengkap sudah, bukan?<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Maka, saat
pagi telah bermandikan warna tembaga matahari, aku berkunjung ke rumahnya dan
kusampaikan maksud kedatanganku tentang rencana mereformasi desa agar lebih
maju dengan peduli terhadap pendidikan dan peran pemudanya. Sekaligus
memintanya jadi ketua.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">“Kenapa
harus aku, kak? Juga, aku perempuan.”<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">“Karena aku
tidak hanya melihatmu cantik. Kamu juga punya kepedulian terhadap perubahan
desa ini. Kupikir Kartini juga telah lama menggaungkan emansipasi. Lalu kenapa
kau masih menyoalkan gender?” jawabku<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Sepintas rona
pipinya jadi kemerah-merahan saat kupuji dia cantik. Aku berani mengambil
gagasan reformasi desa agar punya celah mendekatinya, sebab dalam informasi
yang kukumpulkan saat ia kuliah selain aktif di lembaga kampus juga
berkecimpung di organisasi pergerakan berpayung Nahdliyin.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Dia juga
menempatkan Kartini sebagai tokoh yang dikagumi dan role model pandangan hidup.
Selain menguatkan gagasan pentingnya pendidikan, aku bisa dengan leluasa meng-<i style="mso-bidi-font-style: normal;">counter</i> penolakannya yang menyoalkan
gender. Sekaligus menanamkan sugesti pada bawah alam sadarnya bahwa aku juga
mempunyai pandangan menempatkan perempuan sebagai subjek.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">“Misi
pertama, sukses!” seruku membatin. Dia begitu antusias dengan gagasan reformasi
yang kucanangkan terhadap desa ini. Dan saat ini, senyuman itu, pandangan itu,
warna rona pipi itu dst.. begitu dekat mengusap hatiku dan membuat seisi
percikan warna-warni imajinasku berkelindang dan seketika memberiku sedikit
ruang masuk pintu khayalan.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Aku bayangkan
bagaimana kelak dia bukan hanya jadi kekasihku tapi juga sebagai istri. Bersama
kami membangun rumah di pinggiran kota. Jauh dari keluarga juga dari dengungan
gosip tetangga. Seperti yang kami idam-idamkan. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Pada pagi
hari, sebelum aku berangkat ke kantor dan ia belanja untuk mengisi bahan-bahan
dapur dari pasar, dia akan menyeduhkan secangkir kopi untukku. Sebuah aktifitas
yang kuimpikan sejak membaca novel Andrea Hirata “<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Cinta di Dalam Gela</i>s”, karena citarasa secangkir kopi bagiku bukan
hanya ditentukan jenis dan tingkat sangrai biji kopi juga suhu air saat
disenduh tapi juga siapa yang menyeduhnya.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Kami bakal
menjadi keluarga yang harmonis. Zodiak kami, sagitarius dan gemini, dalam
ramalan antrologi dikategorikan cocok berpasangan karena memiliki kecenderung
ekstrovert dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">easy going</i>. Kami juga
sama-sama suka belajar, spontan dan humoris. Semua itu tampak serasi dan bakal
membuat kami menjadi keluarga bahagia. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Lepas itu
semua, kami tentu mimiliki sisi perbedaan dan kecenderungan persoalan lebih
dalam, meskipun kami bisa menjembataninya dengan saling mengerti. Yang mana aku
cenderung liberal dan dia fundamental. Apalagi saat dia tahu jika latar
belakangku adalah "Himpunan", musuh bebuyutannya saat ia menjadi
aktivis berpayung Nahdliyin.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Jadi pada
malam hari, mungkin saat kami duduk bersama dan berbeda dalam menyikapi isu
berita yang disiarkan televisi, kami bakal berdebat panas; saling tuding
kekeliruan, saling bantah perspektif, dan kembali membangun argumentasi
memojokkan lawan. Nah, saat debat telah mencapai titik sengit, dan karena kami
telah menembatani perbedaan itu dengan saling mengerti, tentu saja perdebatan itu
bakal berakhir dengan bercinta. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Akhh...
sebuah kehidupan yang mengasikkan. Adapun pada akhir pekan bakal kami tutup
dengan nonton film di bioskop, sambil bergandengan tangan dan melempar senyum
kebahagian. Relung hari-hariku bakal terisi sempurna dengan semua itu.......
namun khayalanku terputus saat kudengar derum suaru mobil berwarna putih
mendekat. Kulihat seorang pria keluar dari mobil dan disambut <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>gadis pujaanku. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Pikurku, kenapa
kakaknya datang pada waktu yang tak tepat dan kenapa harus pulang kerja sepagi
ini? Sebelum kemudian, setelah tepat berhadapan, ia mengenalkan pria itu padaku.
“<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kenalin, Kak. Ini Faiz,”</i> ujarnya,
kami bersalaman, dan melanjutkan, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Pacar
baruku, Kak. Semalam kami baru jadian.”</i><o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Aku patah
hati dengan kesederhanaan tuturannya. Dadaku seperti terasa ada sebuah sembilu
mengiris deras dari atas dengan kepolosannya berucap. Aku tidak bisa bayangkan
bagaimana kekalahanku telah terjadi sebelum perang mulai aku genderangkan.
Bahkan aku juga tidak membayangkan bahwa margin error 5% itu terjadi semalam:
saat aku sibuk menganalisis, memetakan peluang dan menghitung probabilitas,
seorang pria datang dan menyatakan cinta. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">“Bagaimana
agenda reformasi kita, Kak?”<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">“Apa kau tak
punya buku sejarah? Soeharto telah lama tumbang. Reformasi sudah 22 tahun berjalan!!”
jawabku sambil berlalu pergi. Sialan!!</span></p><p></p>SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-9901759158087820082020-10-25T20:22:00.011-07:002021-03-08T11:30:06.019-08:00Bidadari itu Ada di Dunia, dan Aku Ingin Bucin dengannya<p></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">Aku
bertemu gadis cantik kemarin. Saat aku sedang berada di belakang rumah, di
sebuah gardu baru tempat aku biasa menghibur diri dari beratnya mencari
pekerjaan. Tepat saat matahari tergelincir menjauh dari titik tengah dan nuansa
sore mulai menjemput. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><i><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">“Apakah surga sedang direnovasi sampai
bidadari ini harus turun ke bumi?”</span></i><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;"> Selorohku sambil tetap menatap
betapa cantiknya gadis ini.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">Kalau
kuingat-ingat, bila pertemuan itu kutulis secara rinci, apalagi saat mata kami
beradu dan dia menyapa “kak” dengan raut wajah cergas tapi tetap saja memberikan
kelembutan saat menatap, ditambah sebuah ulasan senyuman dengan garis bibir
yang ditarik kesamping begitu pas dan mampu mengusap sangat halus pada dinding
hati, amboiiii... gadis ini bukan hanya
cantik tapi juga manis: seperti keelokan nuansa panorama saat kita dapat
menikmati persekutuan ruang dan waktu menjelmakan senja dan mengantarkan kita
pada euforia.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">Ohh...
pikirku, <i>“Tuhan mungkin telah ceroboh
dengan lupa memberikan kekurangan pada makhluk satu ini.”</i> Karena aku yakin,
seyakin-yakinnya Felix Siaw dengan konsep khilafahnya dan PA 212 dengan
kepulangan Habib Rizieqnya, tidak bakal ada yang mampu menjelaskan keindahan
gadis ini jika hanya dalam usapan kata seperti yang kurangkai saat ini.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">Kepada
kawan, melihatku bengong seperti orang tak waras dan otaknya jelas dipenuhi
tanda tanya <i>“ada apa?”</i>, dengan cepat
kukatakan bahwa aku telah menemukan Sang Juliet dan siap mati meminum racun
asal bisa menjadi kekasih abadinya. Atau siap menjadi Raja Alengka dan mendeklarasikan
perang pada Raja Ayodhya untuk mempertaruhkan siapa yang lebih berhak memiliki
Dewi Shinta, demi dia, demi gadis ini.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">Sebab
cinta telah datang dalam bentuknya yang paling ajaib padaku. Tak peduli nasehat
bijak mengatakan bahwa cinta lebih ganas daripada malaria dan bakal membuatku
menderita. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">Sisi
lain, terjebak dalam buaian harap dan tidak ingin cepat berlalu, aku ingin
momen pertemuan ini berhenti. Inginkan waktu tak lagi bereksistensi. Tak peduli
lagi pendapat Fisikawan mengatakan bahwa waktu itu seragam dan rata dan tak
bisa dimanipulasi dan rekayasa.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">Paling
tidak, jika tak bisa berhenti, aku ingin momen ini berubah bentuk menjadi <i>slow motion</i> seperti dalam film-film FTV ketika
tokoh protagonis laki-laki bertemu dengan perempuan yang dicintainya (tentu
tanpa embelan adegan buku atau bolpoin jatuh dan tanpa sengaja tangan
bersentuhan dan pandangan mata saling bertatap kaku). <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">Sebab
aku ingin meresapi lebih dalam kerlingan mata manjanya yang hanya sepintas
kurasakan tapi tetap berhasil mendebarkan jantungku. Sekaligus ingin memastikan
penglihatanku tidak salah jika rona warna pipi itu berubah menjadi
kemerah-merahan yang mungkin saja disebabkan malu karena saat dia menyapa “kak”,
aku tidak sendirian tapi bersama seorang teman. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">Pada
ujung sore menuju malam, meski momen itu berlalu, tapi rasa itu belum hilang
dan bahkan sampai menggeliat hebat tak tahu malu. Imajinasiku pun meledak, karena
didukung suasana euforia, aku berkelana dalam khayalan dan menembus rasi
bintang paling romantis dan mencoba mencuri seonggok hati berbentuk cinta,
karena ulahnya.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">Takut
ketahuan orang-orang rumah kalau aku sudah termakan cinta, aku menarik diri
dari tatapan aneh mereka dan memasukkan diriku dalam kamar sekaligus
mencoretkan kata dan kalimat agar momen itu membentuk sebuah puisi <i>“Kau Berhasil Mengambil Duniaku”</i>; karena
ingin kusampaikan padanya bahwa pertahanan hatiku telah jebol; bahwa hati yang
belum sembuh total ini berhasil diketuk; dan itu sudah tentu pelakunya adalah
dia: pemilik senyum itu, pemilk keindahan itu. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">Aku
tahu siapa namanya. Jadi aku tak susah jika mencari. Aku juga tahu siapa yang
memberi nama padanya. Aku kenal. Sekenal namaku dan nama-nama panggilanku dan
ejekanku. Bahkan dari jarak aku menulis coretan ini, rumahnya dapat kutangkap
hanya dengan satu bola mata, tak perlu memakai dua secara utuh, bahkan tanpa
kacamata minus. Maka, pada pagi hari nanti, tak peduli embun masih belum
lenyap, ayam belum berkokok dan corong-corong masjid desa ini belum
mengumandangkan panggilan Tuhan, akan kuketuk pintu rumahnya dan kusampaikan
coretan puisi itu. <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">Sebab
itu, saat pagi telah menyapa dan membangunkanku, coretan puisi di meja kamar
secepat mungkin ingin kuraih dan segera bergegas. Tak ada waktu lagi, pikirku.
Aku harus segera bergegas. Tapi aku bingung! Lembaran puisi itu tidak
kutemukan. Ia raib begitu saja. Kalau kata orang, seperti ditelan bumi. Padahal
aku sudah tidak dapat berkompromi dan bersahabat lagi dengan waktu, ingin
segera cepat bertemu.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
</p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%;">“<i>Kemana perginya?”</i> Otakku sok berfikir
cepat mengikuti panduan logika kiat-kiat Sherlock Holmes memecahkan kasus. Dimulai
dengan menenangkan diri, mengambil nafas pelan agar berfikir secara jernih, dan
kembali mengingat secara runut dari saat terakhir aku meletakkan puisi itu di
meja tempat biasa aku berkhayal, dan saat kusadar: Ohh....ternyata semua ini
hanya mimpi. Sial!<o:p></o:p></span></p><p></p>SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-79510522666700780902020-09-25T09:00:00.005-07:002021-03-09T11:37:40.110-08:00Korespondesi: Untuk Zi, Arti Sebuah Desa Bagi Perantau<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"></p><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Bagaimana mestinya aku mulai, Zi? Haruskah aku
memperagakan seperti Engku Zainuddin ketika menyurati Rangkayo Hayati untuk
pertama kalinya: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Gemetar, Encik!<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>tanganku ketika mula-mula menulis surat ini.”</i>
Hahahahaha <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Sebagai permulaan dalam
korespondensi ini, aku tertarik dengan balasan teman korespondesiku yang lain dengan
mengatakan supaya melihat Indonesia bukan lagi dari cerminan kaca besar yang
tidak dapat kita selesaikan secara sendirian, melainkan dari sudut kecil dan
tampak dan dekat dengan kita</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">:</span><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;"> desa. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Kamu sepertinya akan setuju,
saat kita melihat Indonesia dari kaca mata besar, betapa miris negara ini
menjadi sebuah bangsa: Drama pertikaian beda pandangan yang dibalut kepentingan
politik praktis dari kalangan elit telah memecah belah rakyat dan akhirnya
intoleransi berhasil mengkusutkan tenunan bingkai kebhinekaan kita.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Jadi aku tak mau berbicara
mengenai Indonesia. Bukan karena sudah muak, tapi rasa simpatiku sudah mulai
terkikis bersamaan dengan makin kuat dan suburnya feodalisme dan oligarki di
negeri ini. Apalagi pada bulan ini, September, isu yang selalu jadi bahan
olahan publik hanya itu itu saja, isu Komunis. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Bayangkan Zi. Ini sudah tahun
2020, saat Muso, Stalin dan gembong-gembong Komunis lainnya telah lama wafat,
telah banyak referensi tentang kegagalan Komunis di berbagai negara, Uni Soviet
telah lama bubar, dan haluan politik dan ekonomi RRC telah bergeser, Komunis
akan bangkit? Apa mungkin kaca spion Indonesia terlalu besar sehingga
menghalangi pandangan kita kedepan? Atau apa mungkin beban sejarah masa lalu
ini terlalu berat dipikul sehingga kita hanya diam saja di tempat?<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Padahal dalam sejarah, sependek
pengetahuanku, kita harus memisahkan fakta dan interpretasi. Fakta adalah
sesuatu yang objektif dan melekat pada konteks. Adapun interpretasi merupakan
tafsiran seseorang terhadap konteks peristiiwa dan tentu saja subjektif. Sebab
ia merupakan rekontruksi pemikiran dari suatu konteks dan juga seseorang tidak
dapat melepaskan dirinya dari sisi afiliasi politik, ideologi, keyakinan agama
dan semangat zaman yang melingkupinya pada waktu itu. Apalagi bukan hanya
karena sejarah ditentukan oleh pemenang, tetapi sejarah yang tidak mengandung
kebohongan pasti sangat membosankan.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Maka izinkan aku berbicara
tentang desa, Zi. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Rentangan 14 tahun </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">merantau ternyata </span><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">tidak banyak mengubah potret
rekaman masa kecilku tentang sebuah desa. Ia masih saja asri. Rimbunan semak di
belakang rumah b</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">erselimutkan gontai
dan </span><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">kadang
melambai lebih hebat</span><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;"> </span><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">diterpa
</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">sahutan angin</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">
</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">jahil</span><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;"> dan </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">usil,</span><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;"> masih menghiasi pandangan mataku menangkap
keindahan panorama. Sebuah anugerah mata yang jarang kudapati di kota. </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">Hamparan t</span><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">anah</span><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;"> </span><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">juga </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">melentang </span><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">kosong dan </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">masih </span><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">difungsikan sebagai sawah yang digarap oleh
petani untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, masih</span><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;"> </span><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">juga belum termakan tumbal pembangunan. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Rindangan </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">pohon</span><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;"> juga</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;"> masih banyak bertaburan dan merambat sampai halaman
rumah-rumah. </span><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Keberadaan pepohonan itu bukan hanya memberikan udara segar
dan bersih tapi juga keeksotisan. </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">Itulah
</span><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">alasan
mengapa aku sering menganggap</span><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;"> </span><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">bila
hujan turun mengguyur menggantikan </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">musim
</span><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">kemarau
jahanam desaku bukan hanya tampak asri. Ia seperti anak perawan mandi basah:
segar, penuh gairah dan daya hidup.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Sebagaimana Orhan Pamuk dalam
memoarnya <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Istanbul: Memories and the
City”</i> mengenang arti Istanbul dalam bentuk melankoli, aku juga merasakan
hal yang sama meskipun aku mengenangnya dalam bentuk melankoli personal, tidak
kolektif seperti Pamuk. Itulah saat dimana kelebatan potret rekaman masa kecilku
berkelindang hebat dan mengisi memori kerinduan untuk kembali pada masa-masa
itu. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Seperti aku teringat pada waktu
kecil dahulu sering dimarahi Ibu jika terlalu sering mandi di sungai karena
kulit bakal menjadi legam dan bersisik, mata merah juga celana dan baju bakal
basah atau kotor karena tanah dan lumpur. Tapi semua itu sungguh mengasikkan.
Apalagi di sekitaran sungai ada pohon dengan buah yang bisa dimakan saat perut kami
mulai lapar karena keasikan dan lama berendam.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Bukit di utara rumah juga
membangkitkan kenangan masa laluku. Dulu Zi, waktu aku masih duduk di bangku
Sekolah Dasar, bukit itu hampir selalu kusebrangi tiap hari untuk berangkat
sekolah dan mengaji. Bila aku ingat semua itu, masa-masa itu, betapa waktu
telah bergerak maju dan meninggalkan gambaran indah dalam balutan kenangan.
Betapa warna-warni masa itu begitu indah dan begitu mesra dan berbaur dengan
kepolosan rasa optimisme dalam meraih asa masa depan. Berbeda dengan saat ini.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span><span style="mso-spacerun: yes;"> </span><o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Tapi Zi, teruntuk perantauan
seperti kita ini, apa arti sebuah desa?<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Mudah bagi setiap orang
berbicara tentang desa secara personal, baik itu dalam kenangan dan
keasriannya. Seperti mudah bagi orang perantauan seperti kita berbicara
mengenai kemacetan dan mengutuki kesemrautan kota. Tapi amat susah bila kita
keluar dalam lingkup itu, seperti Pamuk yang berbicara mengenai melankoli
kolektif tentang Istanbul. Jujur, bila tidak melepas dari lingkup itu, aku
belum punya makna tertentu tentang desa. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Aku setuju dengan Laila S.
Chudori dalam novelnya –Pulang: bahwa rumah adalah tempat dimana kita ingin
merasa pulang, bukan tempat dimana kita bisa menetap. Dan tentu saja rumahku ada di desa ini, tempat dimana keluarga dan segala kenangan masa kecilku tumbuh.
Sebab di rumah inilah aku ingin merasa pulang, bukan di tempat perantauan.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Aku pernah membuat kedua
orangtua sedih saat aku mengambil keputusan akan menetap di kota, bukan di
desa ini. Itu sekitar dua tahun lalu. Saat aku sudah merasa tidak lagi cocok dengan
budaya di desaku. Budaya yang keras (kamu tentu tahu maksudku ini kan karena
kamu pernah tinggal di Bangkalan kalau tidak salah ingat), merebaknya peredaran
angka narkoba dan dampaknya terhadap tatanan sosial, anak muda yang sudah kehilangan
tata krama dan tidak bisa memilih budaya kontemperar dari kota, dan beberapa
hal yang tidak bisa kusebut. Jogja telah banyak mengubah cara pandangku.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Seperti Zainuddin saja Zi, di
Jogja aku dianggap orang Madura dan di Madura aku dianggap orang Jogja. Aku seperti mengalami pemburuan identitas. Secara </span><span style="font-family: Cambria, serif; font-size: 10pt; text-align: left;">esensial aku sudah bukan lagi orang Madura, kata orang rumah, dengan segala watak
dan pandanganku yang sudah mulai kejawaan. Walaupun di Jawa, Jogja, aku dingggap orang Madura. </span><span style="font-family: Cambria, serif; font-size: 10pt; text-indent: 36pt;">Aku memutuskan menetap di rumah, di desa ini hanya karena orangtuaku,
terutama karena permintaan Ibu. Aku tak bisa atau belum bisa menentang
keinginannya karena aku tidak mau beliau sedih.</span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Aku pernah membayangkan, tapi
mudah-mudahan masih sangat lama dan kedua orang tuaku masih diberikan umur
panjang, saat kedua orangtuaku sudah tiada, apakah aku akan masih tinggal di
desaku. Untuk saat ini, meskipun aku adalah anak laki-laki tunggal, jujur
keinginanku meninggalkan desaku masih cukup tinggi. Dari sini, kamu bisa
menarik kesimpulkan Zi, bahwa makna desa bagiku hanya sebatas kenangan masa
kecil dan keberadaan orangtuaku. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Tapi bagaimana denganmu, sesama
perantauan, memaknai sebuah desa?</span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Salam Hangat,<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">dari tanah asin dan tak kenal semi, Madura<o:p></o:p></span></p><br /><p></p>SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-28134116721806955962020-09-25T01:08:00.003-07:002020-09-25T01:10:05.196-07:00Untuk, Lis: Perihal Sebuah Permintaan<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Seriusan Lis, aku bingung harus
memulai surat ini lewat kalimat apa. Terlintas di benak ingin kumulai lewat
permintaan maaf karena takut mengganggu dan dianggap lancang, tapi selain karena
klise aku takut kalimat itu dikira hanyalah bumbuan basa-basi untuk mendapat
sejumput pengertianmu agar menerima dan membaca surat ini. Jadi mohon
dimaklumi. Toh, maaf bukan cari pembenaran, secara psikologis bukankah ini merupakan
masalah laten sisi kemanusiaan bagi mereka yang sangat mengharapkan sesuatu tapi
takut salah langkah saat memulai?<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Akhirnya bingung dan merasa
serba salah.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Agar tidak salah paham dan
dianggap menuntut lebih, terlebih dulu kuletakkan petuah bijak <i>“dunia ini dipenuhi dengan orang yang kita
inginkan, tapi tak menginginkan kita, dan sebaliknya”</i> ini sebagai realitas
kehidupan yang harus diterima. Jadi kau tidak usah risau dengan perasaanmu.
Kuterima realitas petuah bijak ini selayaknya apa yang biasa kita temui: seperti
kenapa pada akhirnya daun menggugurkan diri dari ranting pohon, kenapa hujan
turun dan kenapa pada bulan tertentu ada musim kemarau, dst..<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">-------------------------------------------------------------------------------------</span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Aku akan bicara jujur. Tapi
tetap dalam koridor tertentu. </span><span style="font-family: Cambria, serif; font-size: 10pt; text-indent: 36pt;">Aku tidak tahu kenapa aku suka
kepadamu, Lis.</span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Seingatku waktu itu kelas 2/3
SMP. Aku bersama teman-teman SMP nongkrong di Warung Kopi. Kami ngobrol banyak
hal dalam batas pemahaman anak SMP. Obrolan terus mengalir sampai pertanyaan
menohok salah satu teman menuju kearahku. Menge-nai mengapa aku tidak mendekati
perempuan. Aku terus saja mengelak dan diam hingga akhirnya menjawab <i>“tidak tahu”</i> karena mereka terus saja menuntut
jawabanku sambil diselingi ledekan tak senonoh ala santri di Pondok.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Sebenarnya Lis, aku tahu dengan
pasti mengapa aku tidak mendekati perempuan. Aku hanya tak mengungkapkannya kalau
aku adalah orang yang tidak percaya diri. Aku minder. Entah terselip realistis
atau pemisis, aku termasuk golongan orang yang selalu merasa tidak punya nilai lebih
atau sesuatu yang dapat kubanggakan untuk mendekati perempuan. Aku selalu
berada dalam lingkup pemikiran itu. Akhirnya keragu-raguan mengusaiku untuk
melangkah maju.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Hingga akhirnya, entah itu apa
karena darah remaja mengalahkan kerealistisan atau pandangan pesimisku atau
juga karena kekonyolan tidak tahan ejekan teman, aku menghubungi teman lain
& meminta nomor HP perempuan satu SMP. Salah satu pemilik nomor HP yang
dikirim teman itu adalah kamu Lis. Waktu itu tepat liburan Pondok. Jadi
sepertinya aku tak salah ingat. Aku memang mulai mengenalmu lewat saling balas pesan
SMS saat SMP. Aku ingat betul. Sebab selang lepas liburan, teman yang mengirim
nomor HP-mu memberitahuku. <i>“Itu lho,
anaknya! Benarkan apa yang kukatakan?” </i>Aku senyum saja waktu itu –tepat
saat telunjuk teman itu mengarah ke tempatmu.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;"> </span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">[Aku bukannya mau memelodramakan Lis. Aku ingin
membangun cerita masa lalu ini sebagai salah satu konsepsi untuk meletakkan
pondasi penting sebagai alasan kuat aku menuliskanmu surat dan mengenai kenapa
surat ini dengan tegas kuberi judul “Sebuah Permintaan”. Jadi sudilah luangkan
sedikit waktumu untuk bertahan barang sejenak.]</span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Sejak saat itu aku mulai
memperhatikanmu dalam satu jarak yang kubuat sendiri. Satu jarak di mana aku
mulai memperhatikanmu dalam diam. Jika kuingat kembali, bila semua itu ditarik
dalam tarikan garis lurus, jarak yang kubuat itu meruntunkan suatu kronologis
bagaimana aku mulai membiasakan diri pada beberapa titik terus berulang:
seperti aku harus ada di mana saat berangkat sekolah untuk melihatmu, istirahat
harus di tempat mana dan pulang sekolah harus sembunyi di mana. Semua itu
kulakukan dalam diam dan sembunyi. Sialnya semua itu membuatku keasikan.
Gambaranmu yang kutangkap seolah-seolah telah mengantarkanku pada perkenalan
lebih lanjut. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Imajinasiku pun meledak. Malam
hari aku berkelana dalam khayalan. Aku mulai asik dalam sepi dan mulai
mencoretkan kata dan kalimat agar membentuk sebuah puisi. Aku seperti telah berhasil
membuat dunia baru. Sebuah dunia yang hanya terisi dengan apa yang aku
harapkan. Senyumanmu, cara bicaramu, pandanganmu, langkah kakimu, dst.. yang
kutangkap dalam bahasa diam, melalui jarak yang kubuat, aku abstraksikan dan
kupaksa masuk mengisi relung dunia baruku, khayalku.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Aku senang tak terkira. Setiap
kali aku berhasil memasuki pintu ‘dunia’ itu aku merasa keasikan dan girang. Sampai
dewasa, jika aku ingat semua itu, aku seperti tidak ada beda dengan tokoh dalam
novel Don Quixote yang tak bisa membedakan dunia imaji dan realita (apa kamu
pernah membaca?). Dari sana aku mulai memikirkan: sebenarnya aku menyukaimu
karena kamu adalah kamu atau aku menyukaimu karena imajinasiku yang kutangkap
itu kulekatkan pada dirimu –sehingga bias?<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Bingung Lis? Maaf.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Sebab saat SMA dan mulai
berkomunikasi lebih intens denganmu, aku beberapa kali denial/menyangkal kenyataan
jika kamu tidak sesuai dengan imajinasiku. Sampai di sini sudah pahamkan?
Sebab, mungkin aku terlalu asik dalam euforia ketika menangkap gambaranmu
sehingga semua warna-warni imajiku berlebihan dalam menilai dirimu. Akhirnya
bias. Atau mungkin dengan istilah yang biasa kau pakai adalah fatamorgana.
Sebab saat aku mulai mendekat bayangan imajinasiku tentang dirimu memudar.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Lepas masa SMA aku mulai
menyerah meski terkadang masih menghubungimu. Terakhir aku melihatmu saat akhir
Ujian Nasional. Tepat waktu pembubaran upacara. Aku memperhatikan dengan serius
waktu itu karena aku yakin aku takkan melihatmu lagi. Tapi saat aku tahu kau
akan kuliah di Surabaya, sebenarnya aku ingin kuliah di sana juga. Beberapa
kali aku mencoba tapi gagal. Akhirnya aku memutuskan di Jogja.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">“Jogja, mungkinkah ini sebuah
akhir?” Aku kadang berfikir demikian. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Sebab Jogja Surabaya bagiku bukan
hanya soal bentangan jarak semata melain-kan sebuah batas yang mengantarkanku kepada
sebuah koridor pemahaman tertentu bahwa di dalamnya ada dinding pemisah yang
tegas untuk memaknai pemahaman siapa aku, siapa kamu. Juga mendefinisikan atau
menspesifikkan makna dari kata ‘kita’ dalam realita kehidupan antara aku dan
kamu. Maka Jogja bukan hanya tempat baru yang akan kusinggahi melainkan juga akan
menjadi lembaran baruku membuka buku.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Itulah pemikiranku saat itu: mencoba
menutup buku.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">-----------------------------------------------------------------------------------------</span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Memasuki awal masa kuliah aku
menjajaki hal baru dengan berkenalan dengan perempuan tapi beberapa kali aku
merasa bersalah pada mereka. Aku seperti mencari sesuatu pada diri mereka. Sesuatu
yang tidak pasti tapi tetap aku paksakan. Seperti aku pernah berkenalan dengan
perempuan satu angkatan beda jurusan. Seorang teman kos yang mengenalkanku kepadanya.
Dia anak periang sekaligus (maaf) cerewet. Beberapa kali kami jalan bareng. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Kesalahan pertama, aku seringkali
berkhayal saat jalan dengannya betapa jalan bareng itu bakal beda saat aku
jalan bareng denganmu Lis, bukan dengannya. Adapun kesalahan paling fatal pada
beberapa kesempatan aku sering mencari kemiripan antara dirimu dengannya atau
imajinasiku tentang dirimu dengannya. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Itu tidak benar, Lis. Itu bakal
menyakitinya. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Aku bergejolak dalam batin itu.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Aku bukan mendramatisir atau
lebai Lis. Aku adalah anak laki-laki tunggal dan semua saudaraku perempuan.
Sampai saat ini aku masih beranggapan bahwa hukum kualat itu berlaku padaku
jika menyakiti perempuan. Aku juga mengalami beberapa hal traumatis mengenai
ini. Saat masih di Pondok aku juga pernah mendapati pengalaman bagaimana
perasaan perempuan saat mereka disakiti. Betapa hancur hati mereka. Aku juga
merasa pernah berapa kali menyakitimu lewat sikapku yang egois dan
kekanak-kanakan. Kamu mungkin lupa. Tapi sampai hari ini aku masih ingat. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Sehingga pada berapa hari kemudian
aku beritahu gejolak batinku kepada teman kosku yang mengenalkanku padanya.
Kusampaikan juga permintaan maafku. Kami pun berpisah sejak itu. (Jika kau masih
ingat Lis, itulah saat dimana aku pernah memposting fotomu yang tampak dari
belakang itu lewat caption <i>“Hei... noleh
sebentar dong”;</i> dan ketahuan olehmu, kamu katakan kira-kira begini <i>“Itu fotoku kenapa diposting, Jul?</i>”)<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;"> Sejak
itu aku mulai menghindar pada perempuan hingga pertengahan semester 3 kuliah aku
bertemu dengan perempuan satu angkatan jurusanku di kepanitian kampus. Sebelum
itu juga aku banyak dan sering dinasehati teman kosku itu untuk terlepas dari
imajiku tentang dirimu. Aku mulai berusaha dan itu tidak mudah. Bagaimana pun
Lis, kau tetap merupakan pembuka horison pertamaku mengenalkan siapa dan
bagaimana perempuan. Gambaranku
tentangmu seringkali jadi cerminanku melihat perempuan.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Tapi untuk kali ini, pada diri perempuan
ini, aku menemukan sedikit kesamaan denganmu. Dia orangnya sedikit pendiam dan
agak pemalu. Hal paling menonjol (maaf) adalah secara fisik. Dia orangnya kecil
dan mungil. Bentuk senyuman dari garis bibir yang ditarik kesamping dan mampu
mengusap halus pada dinding hati itu seringkali mengingatkanku kepadamu. Sejak
pertama kali bertemu aku mulai menyukainya. Aku yakin dia adalah perempuan yang
mampu memberiku alasan, paling tidak jika tidak melupakan, bisa mengesampingkan
imaji yang kubangun tentang dirimu.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Berkat kongkalikong dengan
senior yang jadi ketua Divisi aku dapat tugas sama dengannya, dapat berkenalan,
dapat bertukar nomor telepon dan id-line. Berapa minggu setelah kepanitian usai
aku mengajaknya jalan ala pedekate mahasiswa. Sejak itu kami mulai akrab meski
saat bertemu di kampus kami hanya saling lempar senyum karena takut ketahuan
teman lain. Hingga pada satu malam ketika kami sudah beberapa kali jalan bareng
dan aku sudah sangat yakin untuk mengambil keputusan dalam sebuah pernyataan, aku
mendapat informasi tidak benar tentangnya (yang tidak bisa kusebut). Aku kecewa.
Aku marah. Setelah itu akhirnya kami menjadi orang asing. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Bahkan tidak menyapa lagi
sampai kami lulus. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">--------------------------------------------------------------------------------------------</span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Mulai itu aku kering pengalaman
pada perempuan (kecuali pada tahun 2016 aku terlibat dalam perjodohan keluarga
tapi kami menyerah).<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Terlebih saat itu aku sudah
mulai asik dengan aktif di organisasi. Tapi sesekali bohong jika aku tak terbesit
mengingatmu kembali meskipun kucoba meredamkannya. Aku mencoba realistis.
Memaksa menerima kenyataan merupakan hal penting sebelum dapat bangkit. Aku coba
menerima itu semua setelah memeras pengalaman dan belajar dari kegagalan. Aku pun
belajar bangkit dan mulai menganggap dirimu (atau imajinisiku tentangmu)
sebagai batas dari jarak, yaitu ufuk: sebab saat jarak mulai kutempuh, sang
ufuk terus menjauh. Apalagi saat itu aku sudah mulai jarang berkomunikasi
denganmu. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Aku sudah tampak pasrah hingga pada
tahun 2014 (jika tidak salah), tepat 12 September aku mengirimkan kado ulang
tahun karena satu alasan tertentu. Aku sering mengingatmu kembali dan dua kali
memimpikanmu. Tahun 2015 sebenarnya aku sudah menyiapkan kado ulang tahun juga.
Sebuah lukisan dirimu berseragam putih SMA. Aku minta temanku seorang anak seni
lukis untuk melukiskanmu tapi kuurungkan dikirim karena beberapa alasan.
Apalagi waktu itu kudengar entah benar atau tidak dari teman ada seseorang yang
mendekatimu jadi keraguanku bertambah untuk mengirimkannya. Maka, pada tahun
selanjutnya ketika kamu ulang tahun aku hanya mengirimkan sebuah pesan singkat
“Selamat tahun, Lis”.</span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Apalagi kita sudah dewasa bukan,
Lis?<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Perihal kenyataan lebih penting
daripada sekedar drama romantik dalam sebuah film atau kisah fiksi dalam novel.
Kita bukan lagi anak remaja. Aku juga tidak harus terus menerus memimpikanmu
dan mengenang atau melihatmu dari jauh. Bahkan kenyataan bagi orang seukuran
kita masih lebih penting daripada ide tentang kenyataan itu sendiri. Pandangan
kita juga bukan lagi hanya kesenangan semata melainkan sebuah tanggung jawab
dan tuntutan hidup di masa depan. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Tahun ini kamu sudah berumur 26
dan sebentar lagi umurku juga bertambah jadi 27 tahun. Sebuah kategori umur
yang tidak lagi mendefinisikan waktu sebagai soal garis lurus yang saban hari
dapat kita lipat atau tipu atau manipulasi semaunya karena hanya akan
menyisakan penyesalan dan kesia-siaan pada masa tua. Sehingga apalagi yang kita
butuhkan selain kepastian hidup bukan? Sebab jika tidak kita bakal tergilas dan
dilumat habis oleh sifat waktu yang berbentuk garis lurus itu: yang singkat,
brutal dan mahal. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Sebentar lagi juga mungkin waktu
bakal mengantarkan kita memasuki pada fase hidup kedua setelah lahir dan sebelum
ajal menjemput, yaitu menikah. Entah kamu yang duluan atau itu aku. (Atau kamu
sudah?) <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Tapi sebelum semua itu terjadi
Lis, atau mungkin bagiku sebelum itu terlambat dan bakal terbatasi oleh aturan norma
atau budaya bagi orang yang menikah, bolehkah kamu mengabulkan permintaanku,
Lis? Aku ingin mengajakmu jalan. Sekali ini saja. Aku ingin punya satu kenangan
atau gambaran terakhir yang nyata denganmu. Aku tidak ingin lagi mengenangmu hanya
dalam batas imajinasi seperti masa remajaku dulu: diam dan bersembunyi dalam
jarak.</span></p><p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: Cambria, serif; font-size: 10pt; text-align: left;">Boleh, kah?</span><span style="text-align: left;"> </span></p>SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-2549887521622117292020-09-16T01:05:00.005-07:002023-10-28T09:39:23.607-07:00Korespondensi: Untuk Sahabat Bualku, RIke Fisabilillah<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Boii!!<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Seberapa sibuk kau bergulat dengan waktu?
Padahal sudah kunanti-nanti kau memulai korespondensi seperti permintaanmu tapi
tidak kunjung juga hadir. Apa kau tidak bisa sedikit saja menyisihkan jeda waktu
dan berfikir bahwa di dalamnya ada ruang kosong untuk paling tidak bernostalgia
dengan kawan lama sepertiku? Kesibukan apa yang menggerogotimu di sana, boi, di
tempatmu? Seolah keenggananmu memulai menandakan, selain budaya senioritas atau
kanda-dinda, waktumu akan terbuang sia-sia, dan berkata:<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 36.0pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Maaf Boi, aku harus
fokus menata hidupku karena waktu tak bisa lagi kukompromikan secara negatif
sebagaimana dahulu. Itu hanya akan menambah penyesalan masa lalu yang terus
saja hadir dan menerorku seperti mimpi buruk dan membangunkanku tengah malam
sekaligus membuatku berkeringat dingin. Hari ini aku harus mensiasati dan
berkawan dengan waktu. Tak ada lagi main-main. Tak ada lagi bual-membual.”<o:p></o:p></span></i></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Oke, fix. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Jika itu yang kau pikirkan,
tidak apa. Tapi jangan salahkan aku bila berfikir makin dewasa seorang maka
sisi kemanusian mereka –seperti meluangkan waktu untuk bercanda, berceloteh tidak
penting, dll– entah mengapa makin lama makin memudar dan hilang, walaupun
kemanusiaan hanyalah batas yang kita buat sendiri. Atau karena orang dewasa
memikul tanggung jawab sehingga bagi mereka waktu adalah kesempatan yang
singkat, brutal dan mahal?, dilonggorkan atau didiamkan sebentar saja maka
harapan atau rencana bakal kacau, dan yang tersisa adalah penyesalan. Betapa
sedih aku melihat orang dewasa berfikir demikian.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Tidak apa juga, sih. Bila
dibanding dengan orang sepertiku, pesakitan. Sudah tua tapi berlagak muda dan
tak berani memikul tanggung jawab, dimana waktu bagiku sebenarnya merupakan
jerat yang saban hari kutipu dengan harapan dan bualan, sedang kenyataan hadir
melumpuhkan. Itu lebih menyedihkan dan menyakitkan. Mungkin karena aku yang
selalu ragu-ragu dalam melangkah. Atau karena aku yang selalu saja melihat ke
dalam persoalan internal dan tetek bengek kehidupan secara umum dengan
pandangan pesimis dan skeptis seperti biasanya tanpa mempedulikan kenyataan
secara khusus sehingga aku tertinggal jauh di belakang dihantui kegagalan.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sebenarnya aku iri pada kalian.
Orang yang bergelut dengan waktu. Ironis lagi. Beberapa hari lalu seorang kader
yang kubimbing di Komisariat memposting keluhannya di <i style="mso-bidi-font-style: normal;">WhatsAap</i> betapa ia tidak punya waktu untuk sedikit saja tidur
tenang karena kerjaan kantor menguras waktunya. Membaca keluhan tersebut dalam
dadaku seperti terasa ada sebuah sembilu mengiris deras dari atas. Pedih dan
menyakitkan. Betapa waktu telah kusia-siakan, kadang aku berfikir begitu.
Padahal di dunia yang tak bisa dibeli adalah waktu. Waktu hanya bisa kita
siasati.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Semestinya aku memeras
pengalaman dan belajar dari kegagalan. Juga sedikit membuka tirai impian
melalui jendela kenyataan dan mencoba melangkah maju. Aku ingin demikian. Aku
tidak ingin membunuh waktu produktifku hanya dengan kuliah dan mengisi waktu
luangku hanya dengan tidur siang dan baca novel saja. Aku ingin seperti kalian.
Ingin juga merasakan tidak punya waktu tidur tenang. Pagi berangkat kerja. Sore
pulang dan bermandikan debu aspal jalanan. Malam tidur lelap karena kelelahan.
Bangun lagi pagi hari, mandi dan berangkat kerja lagi.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>(Atau sesekali, pada malam lain, jika sudah
beristri, diisi dengan bercinta sebelum tidur hahahaha).<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku tahu aktivitas itu bakal
mengengkangku, dengan prinsip jiwa sok bebasku. Aku juga sangat mafhum betul
aktifitas harian itu bakal mengingkari idealisme yang kupegang, dengan
membiarku masuk dalam sistem budaya kapitalistik. Tapi bukankah dunia ini
memang demikian? Kapitalistik, hirarkis dan oligarkis? Bahkan manusia di
belahan dunia manapun sudah membangun budaya seperti itu. Tidak ada dunia tanpa
kelas. Itu hanya dongeng indah dalam buku Das Kapital. Juga tak ada idealisme
yang tak runtuh.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku kira, pendapatku hari ini
Kawan, mungkin karena sudah skeptis, manusia tidak dilahirkan sederajat. Di
sekolah, dulu kita memang diajari bahwa manusia itu sama, tapi makin kita menua
kita menyadari bahwa itu sekedar teori, sekedar isapan jempol belaka. Contoh, negara
yang disebut Indonesia ini memang menganut paham demokrasi tetapi sekaligus
adalah masyarakat hirarkis yang memberlakukan hukum rimba. Jika tak jadi elit
hampir tidak ada artinya. Siapapun bakal digilas hingga lumat.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Maka tidak mengherankan kita,
meski massa berganti, era telah berubah, dari jumlah rakyat lebih 267 juta jiwa
ini yang jadi pejabat, tokoh publik dan ikut Pilkada 2020 hanya dari gerombolan
itu itu saja. Kalau bukan anaknya, istrinya, saudaranya, besannya, dst.. Dan
mereka mengataskan nama demokrasi. Bukankah itu <i style="mso-bidi-font-style: normal;">bullshitt</i>?!!<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kau tentu mengikuti
perkembangan informasi belakangan hari ini. Mulai dari perkataan Puan Maharani
yang buat gaduh. Aku tahu kegaduhan ini karena berada di massa Pilkada. Tapi
tetap elokkah Puan berkata demikian? Bagiku persoalan ideologi Pancasila masih
belum final. Ia masih terus berproses dan ‘menjadi’: dimana setiap prinsip
dalam tiap-tiap sila itu masih berinternalisasi dalam karakter individu rakyat
Indonesia. Karena jika sudah final mengapa masih saja ada intoleransi dan
pengakuan ‘aku pancasilais dan lain bukan’?<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Terbaru soal Anies Baswedan.
Kebijakan PSBB total untuk menghentikan laju penyebaran virus Korona di DKI
Jakarta. Sebelumnya, Jokowi buat pernyataan bahwa perihal kesehatan lebih utama
daripada ekonomi. Tapi apa lacur?!! Anies sepertinya salah langkah. Ia seperti
tidak memahami watak dan kepribadian (mencla-mencle) Jokowi meskipun dulu ia
pernah menjadi Jubir Kampanye Pilpres 2014 dan Menteri. Semua gaduh. Keputusan
Anies yang membatasi mobilitas masyarakat yang bergeliat menahan laju ekonomi
ini tidak direstui Pemerintah Pusat. Bahkan Anies diserang 4 Menteri sekaligus.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kesalku, kenapa Pemerintah
Daerah dan Pemerintah Pusat tidak punya garis koordinasi dan konsultasi yang
baik dalam mengambil keputusan dan penanganan virus Korona? Selain membahayakan
rakyat Indonesia, juga bikin malu saja. Perihal konsultasi dan koordinasi
adalah hal dasar dalam organisasi. Kalau saja pertanggung jawaban mereka sama
seperti RAK di Komisariat, sudah kubantai dan kutolak LPJnya.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku tidak ingin bahas lagi soal
Indonesia. Aku sudah muak. Aku sudah mulai kehilangan kepercayaan. Sebagai
rakyat pun aku sudah kehilangan harapan tujuan Indonesia di tangan mereka.
Selalu sibuk beretorika dan mengambil langkah politis. Aku bukan hanya sudah
skeptis. Aku sudah pesimistik. Tapi jika ada yang menuduhku konyol karena
pesimis dengan tegas aku katakan: “Bodoh semua rakyat Indonesia ini yang tidak
pesimistik dengan langkah Jokowi!! <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Akh... cukupkan pembahasan
Indonesia. Aku sampai lupa bertanya: bagaimana keadaanmu Kawan? Akankah
sesekali kau merindukan bualku? Apakah istrimu sudah mengandung? Kuharap kalian
sehat dan bahagia di sana.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Ini bukan nasehat. Pernah
kudengar petuah bijak mengatakan “Hal terpenting dalam pernikahan yang baik
bukanlah kebahagian melainkan stabiltas.” Aku meng-amini itu (meski belum
menikah hahaha). Sebab dari stabilitas pernikahan yang baik kebahagiaan itu
hadir. Jadi melalui petuah bijak ini kuralat harapku: “Semoga kalian sehat dan
mampu menjaga stabiltas pernikahan di sana.”<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Oya, bila kuingat pertemuan
kita waktu itu, kau dan istrimu di Kedai Kopi, dan kalian ceritakan kepada kami
awal bertemu tanpa drama romantik sekaligus konflik seperti dalam kisah novel
dan film dan pada akhirnya yakin untuk menikah, ternyata kehidupan kadang tak
seribet dan kompleks seperti dalam pikiranku. Aku tidak tahu/ peduli apakah
waktu itu kau melandaskan keyakinan atau kenekatan dalam dirimu saat datang ke
rumah istrimu bertemu ayahnya untuk mengatakan ingin melamar.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Seriusan, tanpa indikasi
bualan, aku harus akui tindakan/sikapmu waktu itu keren dan laki betul. Apalagi
itu menyangkut keputasan dalam fase hidup. Terlepas apakah tindakanmu itu
disebabkan faktor pengalaman/psikologis yang menyakitkan. Hahaha<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Salam Hangat dari Kawan Bualmu,<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">dari tanah asin dan tak kenal
semi, Madura<o:p></o:p></span></p>SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-59797244056680874192020-06-19T07:49:00.005-07:002020-09-16T01:15:54.008-07:00Korespondensi: Untuk Sahabat Bualku, Wikho Syadjuri<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Hallo bung.</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Dalam
keadaan hati senyap dan tidak bergairah, entah kenapa aku teringat padamu. Kau
menjelma bak siluet dalam keremangan senja tanpa diundang: tawa konyolmu,
seduhan kopimu, bualanmu dan segenap yang melekat pada dirimu muncul dalam satu
entitas bernama kenangan lama. Sial!! Harusnya kenanganku tidak tertuju padamu,
melainkan pada gadis impian yang kuharap bisa menemani hidupku dan menghiburku
dalam masa-masa kelam di masa depan.</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Tapi
sial, malah kau yang muncul. <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Shitt!!</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Oya, berapa
lama kita sudah tak bersua Bung? Sesekali, akankan kau di sana juga pernah
mengingatku dan merindukan bualanku sebagaimana dahulu? (Tidak usah kau jawab
jika pertanyaan ini membuatmu risih)</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Bagaimanapun
Bung, sebagai sahabat yang coba untuk baik, kudoakan kau dari sini, dari tanah
kelahiranku yang asin dan tidak mengenal semi ini agar kau dalam keadaan baik-baik
saja di sana, meskipun aku tahu dan dengan gampang dapat kutembak, dalam
keadaaan hatimu paling dalam, kau masih diliputi rasa risau dan galau terhadap
sejumput rasa cinta yang tidak dapat dengan mudah kau lupakan dan tinggalkan,
sebagaimana kabar terakhir yang kau sampaikan padaku dahulu jika dia hendak
tunangan. Duh, kasihan bener hidupmu Bung!!</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Akhh..mengenang/membuka kenangan dan luka lama, bagaimana kabar dia Bung? Apakah kau masih mentuntut
masa depanmu bersamanya, membangun kisah cinta seperti dalam novel-novel roman
murahan yang dijual di Taman Pintar Yogyakarta? Berapa puisi yang telah kau tulis
untuk mendayu getirnya hidupmu demi cinta Bung? Masihkah kau berdiam seorang
diri dan meratapi cintamu yang, maaf bila kasar dan tidak memotivasi, sepertinya
ditakdirkan takkan bersatu itu? Ataukah kau masih menyelipkan keyakinan palsu
dalam imajimu bahwa kau dan dia akan kembali bersatu? Duh!! <span style="mso-spacerun: yes;"> </span></span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Cinta
memang aneh Bung. Aku tak perlu menjelaskan keanehan tsb. karena kuyakin kau
lebih paham maksudku.</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Kau
tentu pernah dengar petuah bijak lama tentang tiga golongan manusia yang tak
bisa dinasehati. Salah satunya adalah golongan orang jatuh cinta. Secerdes dan
secerdik apapun bualanmu, saat kau bertemu orang jatuh cinta, bualanmu hanya
tinggal busa saja, tak didengar dan tak berarti, meskipun gaya bahasa dan
bicaramu revolusiner sekalipun. Dan akupun pernah mengalami itu, dan bualanku
tak punya daya.</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Akankah
ceritamu dengannya dalam cinta bakal membuatmu masuk dalam golongan orang jatuh
cinta yang tidak bisa dinasehati? Kuharap jangan, meskipun itu susah. Setiap
manusia niscaya dilingkupi masalah dan bakal jatuh, itu sudah jadi
sunnatullah-Nya, tapi aku yakin kau adalah manusia kuat yang dapat bangkit kembali
meskipun harus berdarah-darah. Merdeka!! Kuyakin kau bisa, Bung!! Toh, kau
harus ingat motivasimu yang melegenda itu: “Sebelum sukses, bahkan motivator
ulung sekalipun pernah jatuh dan jomblo. Bangkitlah, kaum muda!!”</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Apa
kau pernah baca cerpen Seno Aji Gumira berjudul ‘Patung’? Aku amat menyukai
cerpen itu Bung. Sekali waktu jika kau ada kesempatan, luangkan waktu tak
berhargamu itu untuk membaca cerpen tsb.. Dengan gaya yang sangat surealis,
Seno menceritakan bagaimana kisah penantian seseorang terhadap kekasihnya yg
hendak membunuh iblis dan membuat ia harus menunggu dan mengubah dirinya, dalam
duarustahun penantiannya yang tak kunjung datang, menjadikannya sebuah patung. Seorang
nenek yang melintas di sampingnya –maksudnya di samping seseorang yg jadi
patung tsb.– menasehati cucunya agar ia tak mengikuti jejak konyol yang sudi
menunggu kekasih yang meninggalkannya tanpa kepastian untuk kembali.</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Karena
bagaimanapun Bung, kau tentu akan sependapat denganku, dengan nasehat nenek
tsb. kepada cucunya, meskipun menunggu adalah bukti setia, tapi cinta itu ada
dua macam. Kau harus ingat itu! Yang pertama cinta buta. Yang kedua cinta pakai
otak. Yang pertama bakal membuat kita menderita. Yang kedua bakal menyelamatkan
kita. Dan kuharap cintamu kepada gadis pujaanmu itu melibatkan otakmu, sedikit
rasionalmu, bukan dengan cinta buta. Karena cinta buta hanya akan membuat kita
menderita dan membuat hidup kita pelan tapi pasti digerogoti kesia-siaan.</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Aku ingin bercerita Bung, mungkin bisa
dikatakan sejenis curhat: tentang kejadian yang belakangan hari ini menimpa
sekelilingku, seorang anak gadis kabur dengan kekasihnya. Kata mereka, itu demi
cinta. Sehari semalam ia kabur tanpa meninggalkan jejak kepastian di mana
mereka menginap dan membuat keluarga-nya khawatir dan malu terhadap tetangga
karena ulahnya. Kita hidup di desa Bung, di mana norma dan adat dijunjung
tinggi. Sebuah tindakan tidak terpuji seorang anak gadis meninggalkan rumah dan
kabur dengan laki-laki tanpa ikatan resmi.</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Mungkin
kau tidak dapat memahami maksudku secara mendalam karena perbedaan budaya yang
membentuk karekter kita, aku bisa memahami itu Bung. Tapi dengan sebuah
ilustrasi mungkin kau dapat memahami maksudku itu secara kasar. Tentu kau
pernah membaca novel klasik yang bersejarah dari Timur Tengah –Laila Manjun,
bukan? Bukankah di novel tsb. diceritakan bagaimana awal kisah cinta mereka
mendapat gunjiangan tetangga karena perbuatan mereka hingga tega membuat keluarga
Laila memingit Laila karena tak tahan dengan gunjingan tsb.. Bagiku tindakan
keluarga Laila tidak salah, bahkan penulisnya pun mengamini itu.</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Tapi
kenapa harus keluarga Laila yang memingit bukan keluarga Majnun/Qays dari salah
satu pasangan kekasih tsb.? Pernahkah kau melintaskan pertanyaan itu dalam
pikiranmu? Karena Bung, keluarga perempuan selalu berada dipihak yang kalah
jika konflik cinta berseteru. Itulah kenapa aku katakan keluarga si anak gadis
malu, walaupun dalam akal paling rasional sekalipun aku sempat berontak
sebentar terhadap kultur yang patriarkis ini.</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Sebenarnya Bung, dalam berapa tahun belakangan ini, sekitar dua tahunan lalu kalau tidak
salah ingat, seorang ustad diutus oleh pihak si laki-laki karena hendak melamar
anak gadis tsb.. Jawaban orang tua si gadis dapat dikatakan diplomatis dan
retoris, karena mengingat anaknya masih kuliah, meminta si ustad untuk menyampaikan
niat baiknya tsb. kepada keluarga si laki-laki agar jangan mengganggu anaknya dahulu
supaya fokus menyelesaikan kuliah; dan kalau sudah jodoh, mau dikata apa.
Begitulah jawaban kelauarga si anak gadis Bung.</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Dalam
pada itu Bung, meski aku tidak begitu perasa, aku dapat memahami maksud jawaban
diplomatis dan retoris dari pihak keluaga si gadis adalah sebuah penolakan
halus. Aku bisa meraba maksud tsb. karena si laki-laki adalah orang yg dalam
pandangan orang desa adalah laki-laki kurang baik. Dia adalah anak buah dari
peng*dar nark*ba di desa, kurir, selain itu kerjanya menyabung (mengadu) ayam. Selain
itu, isu yang pernah kudengar, laki-laki tsb. selalu bertingkah kurang baik
terhadap keluarga si gadis. Bahkan pernah Bung, satu waktu, sayup-sayup yang
kudengar kembali, salah-satu sepupu dari si gadis itu menasehati laki-laki tsb.
untuk mengubah pekerjaan dan perilakunya tsb. agar bisa meluluhkan hati orang
tua si gadis, tapi tidak pernah dihiraukan. Seoalah ia ingin menyampaikan
pesan: inilah aku orang apa adanya. Bukankah itu bullsiht!!?</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Bukankah
Bung, seorang menantu adalah anak bagi mertua dan ditempat di hatinya sebagaimana
anaknya sendiri? Bisakah kau menerimanya jika kau berada dipihak keluarga si
gadis tsb. Bung? Kenapa pula si laki-laki tidak dapat menerima nasehat sepupu si
gadis (padahal itu benar) sebagai bentuk jaminan bagi keluarga si gadis bahwa
ia adalah laki-laki yang pantas untuk diserahkan anak gadisnya? Bukankah hanya
dengan memakai sedikit fungsi akal kita bisa menyimpulkan jika laki-laki tsb.
adalah laki-laki egois? Benarkah ini cinta? Bullsiht!!</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Satu
lagi Bung. Jika cinta yang kita dengar dari dongeng-dongeng dan novel adalah
entitas yang menyejukkan dan sumber kebahagian, kenapa harus ada hati yang
tersakiti dari perbuatan mereka, dg kabur yang katanya demi cinta itu Bung?
Benarkah itu tindakan sebuah cinta Bung? Bullsiht lagi!!</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Aku malah ingat percakapan Datuk pada
Rangkayo Hayati saat menasehati hubungannya dengan Engku Zainuddin bahwa cinta
hanyalah dongeng dan hanya ada di kitab-kitab saja. Sedikit menyelami perkataan
Sang Datuk, ternyata itu ada benarnya. Kau pernah baca salah satu novel masterpeacenya
Gabriel G. Marquez –<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Love in the Time of
Cholera</i>? (dari novel ini kau akan tahu bahwa kesejatian cinta hanya ada
dalam dongeng dan kitab –buku– saja.) Seorang teman perempuanku mengatakan,
dalam sebuah obrolan ringan, bahwa ia tidak percaya dengan sosok Florentino
Ariza dalam novel <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Love in the Time of
Cholera</i>. Meskipun ada, katanya, mungkin Florentino Ariza seperti komet U1
Neowise yang muncul hanya setiap seribu tahun sekali. Dan ia, teman perempuanku
itu, mengatakan lagi bahwa ia telah kehilangan kesempatan karena hidup seabad
setelah Fermina Daza. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Tapi
bagiku Bung, bila aku diperkenankan bicara cinta, itu tidak lain adalah
manipulasi rasa nyaman melalui buaian fiksi –gombalan– dan konstruksi gengsi
sosial. Padahal semua itu hanya ilusi. Serupa dengan postulat Fisika Quantum yang
mengatakan bahwa; sebenarnya apa yang kita lihat adalah realitas ilusi, karena
realitas sebenarnya adalah energi. Begitulah cinta. Karena yang tampak tak
seperti yang ditampakkan dan yang terlihat tak seperti yang dilihat.</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Kau
tentu tahu dan masih ingat bukan kenapa aku sering katakan bahwa cerita cinta
dalam dongeng Cinderella itu bulshit? <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;"><span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Secara umum hidup manusia dibagi menjadi tiga
fase. Pertama lahir, kedua menikah, ketiga mati. Fase sebenarnya dalam hidup
adalah fase menikah. Karena pada fase inilah setiap rencana kita
diaktualisasikan, impian kita direalisasikan, dan janji-janji manis (dalam
bentuk fiksi) kita saat pacaran kepada pasangannya dipertanggungjawabkan. Saat
tanggung jawab itu tidak dipenuhi maka yang terjadi adalah perceraian. Sebab
itu aku katakan bahwa dongeng cinta dalam Cinderella itu bulshiit, karena
memberikan ending bahwa setelah mereka menikah mereka bahagia selama-lamanya.
Bukankah sudah jelas bahwa ujian cinta sesungguhnya adalah saat mereka telah
menikah? Contoh, lihat Ahmad Dhani dan Maia Estianty, Anang Hermansyah dan
Krisdayani. Atau yang terkenal berapa tahun belakangan ini adalah Song-Song
Couple dari Korea Selatan.</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Oya, satu waktu aku pernah membual
padamu –mungkin kau ingat– bahwa “cinta yang tak diperjuangkan tak patut
dimenangkan.” Cinta memang butuh pengorbanan dan perjuangan karena konyol jika
kita mengingkan sebuah ending yang bahagia dalam cinta hanya dengan berdiam
diri di kamar, melamun dan dengan<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>begitu
melankolisnya sembari membuat puisi yg menyayat hati. Karena kau tahu bukan,
seorang perempuan hanya menyerahkan kerajaan cintanya kepada mereka yang
bertekat kuat, bukan berimajinasi hebat. Bagitupun dengan kasus di atas,
seorang orang tua bakal menyerahkan anak gadisnya dengan bertekad kuat dengan
mengubah sikap dan tingkah lakunya untuk membuat orang tua anak gadis percaya
padanya untuk meminang anak gadisnya, bukan sebaliknya.</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Sudah
cukup aku menceritakan tentang cinta Bung. Tapi selalu kudoakan semoga cintamu
dengannya bisa bersatu kembali dalam sebuah ikatan resmi yang bernama
pernikahan itu –meskipun aku menulis kalimat tsb. dengan keyakinan palsu juga
untuk menghiburmu hehehehehe.– melalui tekad kuat agar kau bisa meluluhkan
hatinya dan keluarganya bukan dengan membawa kabur seperti kasus yang
kuceritakan diatas, karena itu adalah tindakan tidak terpuji dan berkonsekuensi
terhadap terputus hubungan keluarga. Amin.</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Di
sana, di tanah kelahiranmu, apa aktivitas yang biasa kau lakukan Bung? Apa kau
masih menyia-nyiakan waktumu di warung kopi? Sial betul jika itu benar. Ingat
teori evolusi Darwin Bung: monyet berkembang, dan kau masih saja stagnan.</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Bicara
tentang tanah kelahiran, seberapa besar arti tanah kelahiran bagimu Bung? Dalam
kasusmu saat ini setelah menyelesaikan kuliahmu, meskipun belum wisuda, kau
kembali –pulang, ketanah kelahiranmu yang mungkin telah lama kau tinggalkan.
Barangkali kepulanganmu kali ini agar kau tidak lupa dengan aroma bau basah
tanah kelahiranmu, atau segarnya dedaunan di belakang rumahmu, atau sejuknya
air sungai yang mengalir di desamu yang tidak kita temui di kota-kota. Ohh.. apakah
di tempatmu masih ada sungai Bung?</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Kemarin
lalu aku mandi di sungai setelah melakukan kegiatan yang cukup menguras energi
dan melelahkan. Aku jadi nostalgia Bung. Aku ingat dulu sering-kali dimarahi
Ibu jika terlalu sering mandi di sungai itu, karena kulit bakal menjadi legam
dan bersisik, mata merah, dan celana dan baju bakal basah, atau paling tidak
kotor karena tanah atau lumpur. Tapi semua itu sungguh mengasikkan. Apalagi di
sekitar sungai itu ada pohon dengan buah yang bisa di makan. Setelah mandi
acara selanjutnya adalah memanjat pohon dan memakan buah-buahnya tsb. Alangkah
menyenangkannya waktu itu, masa kanak-kanak itu, pikirku bernostalgia.</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Oya,
aktivitasku di sini, selain terkadang menyelesaikan tugas dari kampus, sekali
waktu aku mengajar madrasah ibtidiyah di rumah kakek. Di sini, di tanah
kelahiranku, bagi anak-anak kecil, aku adalah seorang ustad Bung. Hehehehe. Aku
mengajar mereka sejarah nabi, akhlak, tauhid & fiqih dasar. Cukup
menyenangkan mengajar mereka. Tidak seperti di forum-forum HMI yang menggunakan
bahasa melangit dan tingkat retorikal bual paling tinggi, dalam kasusku saat
ini aku harus mengajar dengan telaten dan sabar dengan bahasa dan gaya bicara
yang mudah dipahami agar pesan yang dimaksud sampai kepada anak seusia mereka.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Apa
kau mau mengajar anak-anak kecil sepertiku jika ada tawaaran Bung?</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Terakhir,
sebelum aku usaikan surat ini dengan salam, mengenai pertanyaanmu lewat telpon
kemarin: “apakah aku masih sendiri?” Iya, aku masih sendiri Bung. Bukan karena
aku tak ingin mencari tambatan hati untuk menutupi lubang dalam hati –seperti dalam
lirik lagu Letto itu: Lubang Hati– tetapi hatiku masih merasa belum berlubang sehingga
aku tak perlu mencari tambatan hati. Toh, untuk apa mencari tambatan hati kalau
hati ini belum berlubung bukan? <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ngeles...
hehehe</i> Atau dengan rasional akal paling radikal aku bisa katakan begini
padamu Bung: bahwa aku masih belum menemukan alasan filosofis mengapa aku harus
menyan-darkan diriku pada seorang perempuan. (Mungkin aku sudah terpengaruh
filsafat eksistensialismenya Sarte kali ya Bung? <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ngeles lagi....hehehehe</i>) Bahkan aku pernah menelik persoalan ini bukan
hanya dari sudut epistemologi saja melainkan secara ontologis Bung, dan aku masih
belum menemukan alasan filosofis tsb..</span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Tapi aku
bukan Laksmana dalam cerita Ramayana Bung, bersumpah slibat karena dituduh Dewi
Shinta pagar makan tanaman.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Ataukah
aku harus kenalan dengan adikmu dulu agar aku bisa menemukan alasan filosofis
tsb.? hahahahaha. Sekian.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;"><o:p> </o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Salam
dari Sahabat Bualmu, <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-family: cambria, serif; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Dari
pulau Garam. <o:p></o:p></span></p>SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-65270538856400463272020-01-07T01:57:00.003-08:002020-01-07T02:09:00.127-08:00Catatan SilaturaHMI: Khittah Perjuangan dan Wikho Syadjuri<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Mungkin kaca spion kita terlalu
besar saat melihat HMI, sehingga yang tampak darinya adalah bayangan masa lalu
(sejarah). Atau mungkin, HMI saat ini mengalami kemandekan perkaderan dan
perjuangan sehingga bayangan masa lalu di mana HMI saat berada dipuncak
kejayaannya yang mampu menelorkan tokoh-tokoh, serta peranannya dalam membangun
kemerdekaan, mengangkat senjata mengusir penjajah, dan menjadi korban politik
pada rezim Orde Baru itu membuat kita sudah merasa begitu ‘wah’ tanpa ada
greget semangat juang lagi mengarahkan HMI ke depan. Khittah Perjuangan pun,
dokumen suci yang menggambarkan semangat ideologi HMI, berakhir lebih menjadi
suci. Ia hanya dipegang dan dibaca kader saat mereka mengikuti LK II maupun SC.
Setelah itu, suci kembali.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Perasaan ironis sebenarnya
menyelip saat melihat kenyataan ini. Khittah Perjuangan yang harusnya menjadi
diskursus intens di kalangan kader, tidak sedikit pun muncul. Akhirnya Khittah
Perjuangan seperti air yang menguap di menara langit dan diterpa terik panas
matahari sehingga pandangan kita melihat <i style="mso-bidi-font-style: normal;">‘apa
itu HMI?’</i> berubah menjadi sebatas fatamorgana: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">‘siapa itu HMI?’</i>. Padahal di
Khittah Perjuangan lah semangat perkaderan dan perjuangan HMI dibangun. Ia
adalah konsepsi HMI atas tafsir asas Islamnya, sehingga tujuan mulia
‘terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan Ulil Albab yang turut bertanggung
jawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi Allah SWT’ tidak berakhir
menjadi narasi utopis.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Di tengah perasaan ironis tidak
menentu inilah, selain karena periode kali ini diberikan amanah menangani
urusan tetek-bengek soal perkaderan HMI, saya memutuskan untuk silaturahmi
kepada salah satu empunya pengader legendaris Cabang Yogyakatra dari tanah
Prabu Kiansantang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Obrolan dimulai dengan
basa-basi mengenai ‘kabar dan kesibukan’. Makin lama, berhubung secangkir kopi
telah dihidangkan sudah diperbolehkan diseruput, serta tempias korek yang
membakar rokok Apache membuat asapnya mulai berterbangan dan menyebar dengan
cepat memenuhi langit-langit kamar, seperti mengalir begitu saja, mengubah
frekuensi obrolan<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>malam itu semakin
serius dan masuk kepersoalan yang dijadikan duduk perkara.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Beliau mengatakan bukan kali
ini saja Khittah Perjuangan menjadi sebatas dokumen suci yang tidak mau
disentuh dan didiskususkan dengan intens oleh kader-kader. Dulu, ia katakan,
juga begitu. Harusnya, lanjut beliau, nilai-nilai yang termaktub di Khittah
Perjuangan meresap ke dalam diri setiap kader, sebab dari muatan Khittah
Perjuangan inilah, dengan formulasi skema model perkaderannya,
mahasiswa-mahasiswa Islam yang masuk/ikut HMI dikader menjadi Insan Ulil Albab.
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: "cambria" , "serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">“Atau
apa ada yang salah dengan pola perkaderan kita?”</span></i><span style="font-family: "cambria" , "serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;"> tanya
beliau dengan mimik wajah yang khas dan tetap tenang seperti saat pertama
bertemu dan kenal. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Perkaderan merupakan persoalan
holistik. Kita tidak bisa menjustifikasi persoalan kurang membuminya Khittah
Perjuangan menjadi diskursus penting dan serius di kalangan kader pada satu
arah saja. Banyak faktor yang meliputinya. Baik itu secara peranan pengurus di
tingkat Komisariat, Cabang maupun Korps Pengader. Seperti: <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">1.) Kurangnya pemahaman
pengurus Komisariat, akibat tingkat pengalaman dan pendidikannya di HMI,
meletakkan muatan Khittah Perjuangan sebagai kurikulum yang patut
didiskursuskan sebagai program kerja satu periode. 2.) Ketidak-mampuan pengurus
Cabang merencanakan suatu pola perkaderan yang dapat membumikan konsepsi
Khittah Perjuangan sebagai materi diskursus wajib di Komisariat dalam mengkader
anggota-anggotanya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">3.) Apologi kesibukan Korps
Pengader yang selalu saja, klisenya, menangani kedirian para pengader dengan
gosip-gosip tidak sedap yang menyelimutinya, sehingga persoalan yang memiliki
urgensi tidak kalah penting ini dengan sendirinya terabaikan dan tidak
tersentuh sama sekali (walaupun bukan subjek garapnya secara konstitusional).
Atau, hanya menjadi sebatas teori (bualan) yang meledak-ledak dalam perbicangan
tanpa menyentuh realisasi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Setelah itu? <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Akhirnya semua akan tiba pada
suatu hari yang biasa, pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui: persoalan
holistik itu bukannya tidak kita ketahui akar masalahnya, tapi tidak mau
menyelesaikan masalahnya. Itulah masalahnya. Masih klise (lagi), bukan?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Obrolan makin intens ke
ranah perkaderan itu terus berlanjut.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Di tengah obrolan yang semakin
serius beliau melemparkan ‘kalimat tanya’ yang sangat membekas sekaligus
menjadi kritik bersama bagi siapa saja yang mendaku sebagai pemangku
perkaderan. Sebab, selain kita selalu membanggakan sejarah HMI yang begitu
heroik itu, kita dengan pongahnya berbangga-ria dengan mengatakan bahwa si Itu,
yang duduk di parleman itu, atau si AB yang saat ini menjabat di pemerintahan
sana adalah kader HMI, lho: Lulusan perkaderan HMI. Tapi tidak seditipun, kata
beliau, kita membuat pertanyaan: <i style="mso-bidi-font-style: normal;">‘Apakah
mereka yang kita bangga ke kader-kader baru itu benar-benar adalah prototipe
kader dari hasil desain perkaderan HMI?’</i><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Bisakah kita menjawab ‘tanya
itu’ dengan jujur? Bukankah tidak sedikit dari mereka hanya anggota HMI yang
singgah dan kemudian datang dan pergi tanpa melanjutkan pendidikan selanjutnya
di HMI? Tapi kita dengan bangganya memasang foto mereka dengan begitu gagah
diiringi petuah bijaknya tentang HMI, dan kita mengatakan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">‘lihatlah mereka itu, sukses dan jadi tokoh penting karena ikut HMI’</i>
dihadapan calon atau kader baru: tanpa pernah mengusik benak bahwa pajangan
foto itu tidak lebih sebagai alat promosi saja. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Saat beliau melemparkan ‘tanya
itu’ tiba-tiba ingatan saya terlempar pada tahun 2013 silam saat mengikuti LK
I. Waktu itu salah satu dari pemandu bertanya alasan ‘mengapa masuk HMI’. Saya
jawab ingin menjadi seperti Mahfud MD. Sebab hanya karena beliau, saya bisa
berapologi bahwa orang Madura tidak hanya dikenal sebagai penjual sate.
Terlebih, dia kader HMI. Fotonya (sudah) bertengger gagah di poster penjaringan
LK 1 waktu itu, dengan bumbuan kalimat begitu sedap bahwa di HMI lah dia bisa
menjadi seperti sekarang: memiliki spirit, tradisi membaca, berdebat dan
keterampilan berorganiasi.<o:p></o:p></span><br />
<span style="font-family: "cambria" , "serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Malam bertambah gelap dan makin
menyergap. Kulihat arah jarum jam di dinding kamar beliau menunjukkan angka
hampir jam 12. Silaturahmi berakhir. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“Jagalah
perkaderan Cabang Yogyakarta,”</i> pesan beliau sebelum saya pamit pulang. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Sepeda motor tua yang membawaku
ke Karangkajen, dengan pelan tapi pasti, menyelinap dan membelah kota Yogyakarta
yang mulai sepi dan asing, tapi obrolan itu masih membekas dan tak mau pergi.
Pikiran tentang Khittah Perjuangan yang harusnya dibumikan dan jadi bahan
diskursus wajib di kalangan kader mulai berdesakan dan muncul bersamaan dengan
pandangan saya yang murung menatap lampu-lampu di kota Yogyakarta yang tidak
lagi menawarkan warna-warni baru dalam menerjemahkan harapan HMI.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Dilalah, waktu tiba di
Karangkajen, sebuah percikapan harapan muncul saat sayup-sayup saya dengar seorang
pengader di ruang tengah berbicara mengenai muatan Khittah Perjuangan di
hadapan kader yang baru mengikuti LK I. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Si Kader membantah dan
mengkrtitsi apa yang disampaikan Si Pengader, seolah Si Kader belum menemukan
narasi yang utuh mengenai nilai ideologis di Khittah Perjuangan. Si Pengader
kembali menerangkan dengan sabar dan penuh telaten mengenai konsepsi tauhid
yang tidak hanya menjadi keyakinan kita terha-dap keesaan Allah SWT, melainkan
juga harus meletup ke ranah sosial masyarakat yang dikenal sebagai konsep ummah.
Sangat egaliter perbincangan mereka saat itu, ditambah dengan secangkir kopi
yang mereka seruput secara bergantian. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%;">Pengader itu adalah Wikho
Syadjuri. Kader Marakom. Petuah bijaknya, jika kalian ingin memasangnya di
poster-poster LK I: di HMI, selain dihadapan Tuhan, dihadapan kopi kita semua
sama. Tapi jika dia atau kalian tidak mau dan bisa menas-bihkan baliau sebagai
kader cita hasil dari desain perkaderan HMI, paling tidak beliau adalah standar
minumumnya (menjadi pengader) dari pada mereka yang kita banggakan (lulusan LK
I).<o:p></o:p></span></div>
<br /></div>
SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4593375626703014601.post-42445882458154197672020-01-02T04:09:00.002-08:002020-01-02T10:22:26.702-08:00Hanya Orang Bodoh, Berhak Jatuh Cinta<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">Berpuluh-puluh tahun kemudian, saat
menunggu datangnya perempuan yang dicintai itu dalam purnama sebagaimana
janjinya, Margio jadi teringat kencan pertamanya di suatu malam: berdua mereka
menyusuri alun-alun kota dan menonton film. Itu dulu sekali, saat ia kembali
menyatakan cintanya kepada perempuan itu untuk kesekian kalinya tanpa lelah dan
jengah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Jadilah
kekasihku. Aku tak bisa hidup tanpamu.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">Dengan
penuh kepastian, perempuan itu menjawab. “Omong kosong!! Bahkan kau masih bisa hidup
meskipun dipatok ular.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Bukti
apa lagi yang harus kuberikan?” tanya Margio.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Tunggulah
aku di situ, di pohon itu, dalam purnama. Bukankah menunggu adalah bukti cinta?
Itupun jika cinta memang ada.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Apapun
yang terjadi, aku akan tetap mencintaimu,” kata Margio dengan penuh keyakinan,
dan berjanji. “Percayalah, aku akan menunggu.”<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: center;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">--------------------------------------------------<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: center;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 29.4pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">Margio menamai perempuan itu dengan
sebutan Si Cantik. Bertemu saat ia masih berumur belasan tahun dan di saat dada
Si Cantik belum tumbuh dan memprovokasi laki-laki, tapi tetap berhasil membuat
Margio berdiri kaku oleh gambarannya yang cantik dan mungil dan bermata jeli, di
bawah hujan dan lolongan anjing birahi minta kawin. Bukan hanya tak pernah
melihat tapi juga tak pernah, diusia yang masih seumur jagung, Margio membayangkan
kecantikan yang secara alami terpancar hingga membuat dirinya menggigil. Sejak itulah
dengan penuh keyakinan, Margio percaya bahwa Tuhan pernah melakukan hal ceroboh
karena lupa memberikan kekurangan kepada makhluk-Nya yang bernama Si Cantik.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 29.4pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 29.4pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">Kepada kawannya, Margio berkata
bahwa ia telah menemukan Sang Juliet dan siap mati meminum racun asal bisa menjadi
kekasih abadi Si Cantik. Atau, siap menjadi seperti Raja Alengka yang
mendeklarasikan perang kepada Raja Ayodhya untuk mempertaruhkan siapa yang
berhak memiliki Dewi Shinta, demi Si Cantik. Sebab cinta telah datang dalam
bentuknya yang ajaib. Itulah yang terjadi pada Margio. Tak seperti biasa, tiba-tiba
Margio rajin mandi, suka keramas, pakai parfum, dan tak lupa memakai pembersih
wajah agar selalu tampak cerah. Dengan ajaib pula, Margio menjadi laki-laki sok
puitis. Puisi-puisi cinta dalam novel ramon murahan pun ia kutip dan dikirimnya kepada
Si Cantik. Tiap hari. Tak kenal waktu. “Puisi itu adalah bukti cinta,” kata
Margio satu waktu saat Si Cantik mulai jengah dan tidak bisa lagi menahan
emosi dengan datangnya puisi-puisi sok puitis meminta dibelas-kasihani.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Taik,”
jawab Si Cantik, dengan nada sinis.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Bila
perlu, aku akan memetik sepotong bulan untukmu.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Jangan
bodoh. Astronot pun butuh pesawat untuk terbang.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Tak ada mustahil dalam
cinta. Jika kau paksa, aku akan coba menguras samudera Hindia dalam semalam.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">Bagaimanapun adalah benar Margio coba untuk melakukannya, mengurasnya. Si Cantik adalah cinta pertama Margio.
Semua orang tahu kalau cinta dapat membuat seseorang berani melakukan apa saja
dengan kebodohannya, karena jika tidak, pelan tapi pasti, hidupnya bakal habis digerogoti
penyesalan dan rasa sakit. Tapi bukan samudera Hindia yang Margio kuras,
melainkan sungai Ci Jaro di desa kampung sebelah. Dan menenteng bak warna
hitam, dengan wajah sumriah dan senyum lebar, ia berangkat ke sungai Ci Jaro
dengan tumpukan harapan dalam imajinasinya. Ibunya, yang melihat lagi gelagat
aneh anak sulungnya makin hari makin parah, dibuat cemas.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Kau
mau ngapain lagi?” tanya ibunya yang mulai cemas.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Seperti yang dilakukan Sangkuriang kepada Dayang Sumbi.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Bodoh. Dayang Sumbi meminta
Sangkuriang membendung sungai, bukan menguras.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">Si Ibu tahu sang anak sedang
jatuh cinta. “Itu tindakan bodoh,” katanya satu saat dengan tambahan nasehat kepada
Margio agar berhati-hati dengan cinta karena bisa membuat seseorang menderita,
sebab cinta lebih ganas dari pada malaria. Tapi nyatanya sang anak telah memutuskan
jatuh cinta. Lebih bodoh lagi ia jatuh cinta kepada Si Cantik. Perempuan yang selalu
didesuskan lebih cantik daripada Rengganis Sang Putri yang membuat laki-laki
siap mati untuknya dan perang pernah meletus hanya karena orang-orang mem-perebutkannya.
“Anak bodoh,” desis ibu Margio, sembari melihat banyangan sang anak dari
kejauhan yang berangkat mengurus sungai Ci Jaro itu dan tenggelam dalam
keremangan senja.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">Tepat dalam keremangan senja
itulah, belum ada berapa menit saat Margio menguras sungai Ci Jaro, di mana seekor
ular sungai berbisa kemudian mengendap-ngendap dari bawah genangan air dan memotok
punggungnya, dan membuat laki-laki tua di pinggir sungai sedang masyuk berburu biawak
sebagai menu makan siang, langsung melompot ke muara karena mendengar teriakan
minta tolong. Satu kampung heboh dengan kejadiaan tersebut. Sebagian orang menggunjing
kalau cinta telah membuat Margio jadi bodoh, dan sebagian lain menggunjing hanya
orang bodoh seperti Margio lah berhak jatuh cinta. Tapi apapun gunjingannya,
semua orang tahu meskipun patokan ular sungai tak bisa menghentikan kebodohan cinta
Margio, paling tidak telah membuatnya berdiam diri dan meraung kesakitan minta
ampun setiap malam di kamarnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">Ketika mendengar kabar
tersebut, Si Cantik tahu betul kalau tindakan bodoh Margio itu adalah satu
upaya membuktian cinta padanya. Tapi ia tak pernah mengakui. Bahkan jika dipatok
dan atau dimakan anaconda sekalipun. Meskipun begitu, berselang berapa hari dari
kejadian itu, Si Cantik datang menjenguk. Tubuh Margio yang mulai membiru dan juga
telah mengering karena ulah ular jahanam itu, tak sedikitpun menggugah rasa iba
Si Cantik. Sementara Margio tak bisa tidak memasang rona wajah penuh bahagia karena
dijenguk Julietnya meskipun rasa sakit tanpa ampun menyerang bertubi-tubi, dan saat
Si Cantik basa-basi bertanya keadaannya dan kenapa tidak memilih mati dipatok
ular saja, dengan tegas dan penuh semangat, tapi tetap dengan kebodohannya,
Margio berkata: <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Cantik,
sepertinya aku memetik sepotong bulan saja untukmu.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Ternyata
racunnya sudah menggerogoti otakmu,” jawab Si Cantik.<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: center;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">--------------------------------------------------<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">Walaupun tidak pernah
mengakui, Si Cantik tak bisa mengelak dengan cinta yang ingin dibuktikan Margio.
Laki-laki yang sejak sekolah dasar terus-menerus mengejarnya. Tapi ia sangat tahu
bahwa Margio sulit mendapatkan harapannya itu. Ia sudah dipinang oleh kepala
desa sebagai istri ketiganya tak kala Si Kepala Desa dengan sepintas-lalu melihat
potensi kecantikan Si Cantik yang makin hari makin mengundang syahwat semua laki-laki
bersedia mati bertarung untuk memilikinya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">Di lain waktu, setiap berada
di depan cermin kamar, Si Cantik sering melamun tentang tingkah laku konyol Margio.
Kadang salah tingkah, dan lebih sering memperlihatkan bodohnya. “Apa yang
sebenarnya diharapkan Margio, benarkah adalah cinta?” tanyanya Si Cantik setiap
melamun di hadapan cermin. Tapi penampilannya yang kian hari kian memprovokatif
lawan jenis dan kian waktu makin menumbuhkan dadanya yang mulai menyembul dan
menatang, telah memberi-kan hipotesa bahwa bukan cintalah yang membuat Margio
dan atau sederet laki-laki lain bersaing untuk memilikinya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">Si Cantik tahu betul tentang
kecantikan-nya. Tapi hanya sebatas itu saja. Hingga sampai suatu saat ia
akhirnya menyadari bahwa menjadi perempuan dengan daya tarik sangat memikat
bisa menjadi bencana. Karena satu waktu, dalam acara keluarga besar dari pihak ibunya,
ia pernah membuat kacau hati semua orang yang melihat. Bahkan tak bisa dibuat
tidur hingga lebih dari satu minggu. Dan siapapun, ketika berada di dekatnya,
akan segera tahu bahwa Si Cantik selalu menebarkan orama menyiksa, yang bakal tetap
tercium sampai beberapa jam setelah ia berlalu. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">Para laki-laki yang ahli
dalam gangguan cinta sekalipun pasti bakal menyatakan bahwa belum pernah
merasakan siksaan rangsangan daya tarik seperti keharuman yang secara alami
terpancar dari tubuh Si Cantik. Tapi sebaliknya, kecantikan juga bakal menyiksa
diri sendiri. Seperti yang dialami Alamanda dalam karya Eka Kurniawan, yang karena
dengan kecantikannya itu, membuat Shodancho Sadrah dengan segala cara memakai
strategi gerilya-nya untuk mengalahkan cinta demi mendapatkan Alamanda –hingga sampai
memperkosa. Kesadaran itulah yang kemudian, seperti ilham tiba-tiba turun dari
langit, dengan suara parau, begitu pelan tapi pasti, dan bakal mengiris hati
siapa saja yang mendengar, Si Cantik berkata kepada kawannya, Adinda. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Cantik
itu luka,” kata Si Cantik pelan tapi pasti, dengan suara parau.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Bodoh.
Setiap perempuan ingin cantik,” timpal Si Kawan tak terima.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Makin
banyak perempuan cantik, makin banyak istri Si Kepala Desa.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Kau
akan jadi perempuan terpandang. Jadi orang kaya.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Ya,
aku jadi kaya, dan itu tak ada beda dengan pelacur yang menjajakan kema-luannya
demi uang,” jawab Si Cantik dan mengingat bagaimana ketidak-mampuan orang tuanya membayar hutang kepada Si Kepala Desa. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Kaburlah, Cantik. Sebelum
kau jadi pelacur.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">Tapi apapun yang terjadi
pernikahan itu tak bisa terelakkan, dan kelak Si Cantik bakal melahirkan sepuluh
anak dari sepuluh tahun pernikahannya. Seperti tak diberikan sedikit jeda
istirahat untuk tidak bunting. Tapi dua hari sebelum pernikahan tiba, di bulan
Maret, di penghujung waktu sebelum hujan turun melanda desa dan di saat anjing
tak lagi melolong minta kawin, Margio datang setelah sembuh dan atau bangkit
dari kematiannya dengan membawa seikat bunga dengan tambahan kalimat bual.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Cantik,
jadilah kekasihku. Aku tak bisa hidup tanpamu.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Apa
kau tak punya kalimat lain?” tanya Si Cantik. “Berhentilah. Bahkan anjing pun tahu
kapan saatnya berhenti melolong. Paling tidak, ajaklah aku kencan.”<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: center;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">--------------------------------------------------<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">Kencan itu datang di malam
minggu keesokan harinya. Sehari sebelum pernikahan Si Cantik digelar. Betapa
senang hati Margio mendapatkan ajakan kecan itu. Tapi sebaliknya, betapa bodohnya
saat ia tahu kalau Si Cantik bakal menikah keesokan harinya. Ibunya sengaja tidak
memberitahu. “Kasihan, dia bakal jatuh sakit lagi. Bukan akibat patokan ular,
tapi patah hati,” kata ibunya saat Mardio, adik Margio, hendak memberitahu
kalau Si Cantik akan menikah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">Memakai minyak Tancho dan membuat rambutnya kaku menjulang dengan tambahan parfum cap Minyak Jinggo, Margio
kemudian bergegas ke rumah Si Cantik. Mereka kencan di sebuah alun-alun kota. Lima
belas KM dari gunung Merapi yang kelak jadi tempat Margio bertahun-tahun
menunggu Si Cantik dalam purnama. Mereka juga menonton film <i style="mso-bidi-font-style: normal;">My Sassy Girl</i>. Sebuah film yang kalau diingat-ingatnya
kembali, dalam penantian menunggu Si Cantik, Margio seperti menonton kisah
hidupnya sendiri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">Cinta memang aneh bin ajib.
Kesetiaan konyolnya telah membuat Margio menunggu pada sesuatu yang
mungkin saja tak akan datang. Tapi yang jelas, cinta telah membuat Margio jadi
buta, atau bodoh. Bahkan selama hidupnya, tak seorang perempuan yang dicintai
Margio selain Si Cantik. Semua itu hanya karena cinta buta, atau bodohnya, pada
Si Cantik yang tampaknya tak pernah dilahirkan menjadi milliknya, dan membuat hidupnya
pelan namun pasti di-gerogoti waktu dan kesia-siaan; mulai dari bagaimana ia
pernah memutuskan tak naik kelas agar sekelas dengan Si Cantik; belajar mati-matian
agar masuk satu kelompok Si Cantik mewakili sekolahan mengikuti lomba
Matematika se-kabupaten di Kota; dan hingga terseok-seok tak mengerti polah
keinginan Si Cantik yang makin lama makin membingungkan Margio dengan
kesian-siaan. Tapi percayalah, Margio benar-benar mencintai Si Cantik, dengan bodohnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">Kebodohan cinta Margio bukan
tanpa alasan. Terselip dengan keyakinan palsu, Margio adalah satu dari banyak laki-laki
yang percaya bahwa kekerasan kepala pada akhirnya bakal membuat hati perempuan mana
pun akan takluk. Termasuk Si Cantik. Tapi keyainan itu, walaupun dipungkiri dengan
berbagai cara, tetap hanyalah selipan keyakinan palsu. Hingga suatu sore yang
merah, di saat langit disapu bersih oleh warna senja, dan di saat ia ingin tahu
mengapa ditolak untuk kesekian kalinya, dengan terpaksa Margio bertanya, dan
kelak pertanyaan itu bakal disesali karena ia pun tak bisa menjawabnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Cantik,
kenapa kau tak pernah bisa mencintaiku?” tanya Margio.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Katakan dulu, mengapa kau
mencintaiku?” jawab Si Cantik membalik-kan pertanyaan tanpa pikir panjang. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">Bagaimapun hingga
bertahun-tahun kemudian, Margio tak pernah bisa menjawab pertanyaan itu.
Cintanya telah buta, dan kebodohannya tak bisa menerangkan alasan jawaban apapun.
Mungkin karena tubuh Si Cantik yang makin hari tambah montok dan makin menantang
jari-jemari Margio supaya terus menari beradu dengan nafsunya saat di kamar
mandi itulah yang mem-buatnya cinta. Tapi meskipun begitu, bahkan jika Si
Cantik tak lagi montok, ia tetap mencintainya, sebagaimana ketika bertahun-tahun
kemudian, Si Cantik datang padanya dengan wujud nenek tua yang mulai mengempiskan
kebula-tan dadanya dengan mempertanyakan kesungguhan cinta.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">Walaupun tak punya alasan,
Margio tetap mencintai Si Cantik. Hal itu tak bisa dibantah. Cintanya telah
menggumpal dan tak lagi bisa dilumerkan. Tak bisa dibendung. Bahkan jika setan
paling jahanam dari neraka sekalipun yang menghalanginya. Hingga suatu saat,
ketika Margio bangkit dari kematiannya dipatok ular, hatinya bergerumuh hebat
seperti kilatan petir di siang bolong karena mendapatkan ajakan kencan. Bersama
Si Cantik, ia berjalan menyusuri alun-alun sebuah kota dan juga menonton film. Malam
itu adalah malamnya. Tapi tepat sebelum kencan berakhir itulah saat di mana, di
bawah gemerlap malam ketika bulan dan bintang dibuat berantakan oleh sapuan
angin jahil, Si Cantik meminta Margio menunggunya dalam purnama jika cinta itu
memang ada, di puncak gunung Merapi, tepat di bawah pohon Cemara. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 28.7pt;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Apapun
yang terjadi, aku akan tetap mencintaimu,” kata Margio dengan penuh keyakinan,
dan berjanji: “Percayalah, aku akan menunggu.”<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: center;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">--------------------------------------------------<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">Ketika
menjawab dengan penuh keyakinan itulah akhirnya penantian Margio menunggu Si
Cantik dimulai. Tanpa lelah. Tak peduli ia pernah punya keluarga. Terus-menerus
setia berada di puncak gunung hingga kematiannya bertahun-tahun kemudian tiba. Semua
itu hanya ditandai satu hal. Kebodohan cintanya menunggu Si Cantik datang, sehingga
yang tersisa hanyalah laki-laki kesepian seorang diri di puncak gunung, dengan
usia yang makin lama makin digerogoti waktu dan mendekatkannya pada santapan
makan siang malaikat maut. <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Tapi yang
pasti Margio tetap menunggu Si Cantik, sehingga desas-desus kemudian, karena tiba-tiba
hilang-lenyap tepat sehari sebelum pernikahan Si Cantik digelar, mengatakan kalau
Margio pergi ke Ibu Kota untuk melupakan Si Cantik. Desus lain, mengatakan
kalau Margio telah dibawa ke Rumah Sakit Jiwa karena tak kuasa menahan
kewarasannya ketika mendengar Si Cantik menikah. Tapi sebuah legenda, beratus-ratus
tahun kemudian, bakal menceri-takan tempat di mana Margio menunggu datangnya Si
Cantik dalam purnama itu sebagai dongeng abadi. <o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: center;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">--------------------------------------------------<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Karena
hanya orang bodoh yang berhak jatuh cinta, Nak,” kata seorang nenek kepada
cucunya. Ketika sang cucu mengatakan bahwa tindakan Margio dalam legendanya
yang setia menunggu kekasihnya bertahun-tahun di bawah pohon di puncak Merapi itu
adalah lambang kebodohan manusia yang tidak punya otak.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Paling tidak, pakailah
sedikit otaknya agar tak menderita,” terangnya sang cucu, dan kemudian melanjutkan.
“Cinta itu ada dua, Nek. Cinta bodoh dan cinta pakai otak. Yang kedua itu,
pakai otak, bisa membuat kita selamat.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">Meski tak memakai otaknya,
adalah benar kisah cinta Margio menunggu datangnya Si Cantik dalam purnama itu
telah menjadi sebuah legenda dan dongeng abadi. Dan karena diterpa satu badai
rasa jengah oleh jawaban sang<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>cucu,
ingatan sang nenek tiba-tiba terdampar pada sebuah cerita neneknya yang diperoleh
dari cerita nenek-neneknya –hingga begitu seterusnya, bahwa pada umurnya yang ketujuh
puluh tahun, lima puluh tahun dari penantiannya, Margio masih tetap setia menunggu
Si Cantik datang dalam purnama, sebagai-mana tahun-tahun sebelum dan
berikutnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">Hingga di suatu waktu, terangnya
dalam dongeng abadi itu, yang tak lagi diketahui telah berapa puluh tahun Margio
menunggu, di saat malam datang dalam bentuk yang paling gemuruh, di mana sapu badai
angin jahat dan jahil saling sambar bersahutan dan membuat lolongan anjing-anjing
birahi ber-henti seketika, itulah saat di mana seorang perempuan datang dalam
wujud yang tak lagi dikenali. Sejenak lalu, Margio menggigil digerogoti dingin
malam, sebelum disadari potongan gambar gadis mungil dan bermata jeli di masa
lalu tergores semu tak pasti di perempuan itu. Sejenak lalu pula, sebelum bulan
di langit menampakkan purnama yang tak lagi utuh, Margio merogoh sesuatu dari kantong
saku celananya yang telah kusam. Kuning dan bercahaya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Sebagaimana janjiku. Aku
datang dalam purnama,” kata perempuan itu. “Sudah ratusan lebih kemaluanku
ditusuk si tua bangka itu, dan itu pun belum termasuk ketika aku dijualnya
untuk membayar hutang,” diam, dan kemudian melanjutkan. “Lihatlah,” terang
perempuan itu untuk memperlihatkan betapa dirinya yang saat ini tak lagi seperti
dulu, berubah menjadi nenek tua yang mengempiskan kebulatan dadanya, dan setelah
itu, perempuan itu kemudian berkata kembali untuk mempertanyakan cintanya. “Apakah
kau masih tetap berkata: Jadilah kekasih. Aku tak bisa hidup tanpamu?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">“Peduli setan. Bahkan aku tak
yakin mampu menyetubuhimu,” jawabnya Margio pasti tanpa peduli keterangan Si Cantik.
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-family: "cambria" , "serif";">Kelak, ketika sesuatu yang
berwarna kuning dan bercahaya itu diberikan kepada Si Cantik, juga bakal menerangkan
dalam legenda dan dongeng abadi itu ke generasi-generasi yang tak lagi diingat
siapa yang memulai ceritanya, tentang mengapa bulan purnama saat ini tidak lagi
utuh, adalah akibat ulah kebodohan cinta Margio karena ia benar-benar telah memetik
sepotong bulan untuk Si Cantik. Karena semua orang tahu: Hanya orang bodoh,
berhak jatuh cinta.</span></div>
</div>
SIROJUL LUTFIhttp://www.blogger.com/profile/12573554867589961256noreply@blogger.com1