Satu Paragraf: Selamat Jalan, Mbak
Sebelumnya, kematian bagiku adalah entitas berbeda dari kehidupan. Mereka mandiri dengan wujudnya masing-masing. Jika kehidupan ada di sebelah kanan, kematian ada di sebelah kiri. Mereka terpisah oleh benteng kokoh tak berwujud sebagai pembatas. Benteng itu begitu halus. Seperti gelembung udara yang mengisi tubuh kita tanpa kita sadari. Mungkin karena anggapan itu aku hampir tidak pernah menangis jika salah satu keluargaku meninggal dunia. Apa aku begitu kaku dan tak perasa? Entahlah. Seperti saat kakekku meninggal dunia. Alih-alih menangis dan ikut meramaikan kesedihan, aku malah melakukan hal praktis. Persis seperti mekanik pada sebuah mesin otamatis. Ikut menyiapkan kain dan air dan memandikannya. Juga menyiapkan keperluan apa saja untuk para nelayat. DLL. Itu juga terjadi saat nenekku meninggal dunia. Sepertinya pada sebuah tempat yang tersembunyi dalam otakku sudah diberi perintah “jangan menangis” dan “jangan bersedih”. Tentu aku pernah menangis. Tapi, itu bukan berkaitan kematia...