Sebut Saja Namanya L
Sebut saja temanku ini L. Dalam kamar L menghadap cermin dan memandang diri sendiri. Memperhatikan dan memastikan bahwa dia masih sama. Seperti pada usia ke 23 tahun lalu ketika membuat keputusan besar: berkomitmen tidak menikah. Sejenak lalu, kerut keningnya menegang, seolah meneropong suatu masa. Kini, pada usia yang menjajaki angka ke 30 tahun, saat kami dipertemukan dalam satu janji, tepat setelah beranjak dari hadapan cermin, ketegangan pada kerut keningnya hilang, senyum sumringah begitu tegas tersimpul. Rona merah terpancar. L bahagia. Alih-alih bertanya aku memilih diam, termenung, meresapi dan coba memahami pilihan hidupnya itu. Dari dulu sampai saat ini. Sebab aku tahu pilihan itu berbuntut problematis dan menuntut konsekuensi logis daripada psikologis semata. Kita mahfum betul itu. Tuduhan traumatis selalu dilekatkan kepadanya. Alih-alih memahami dan mencerna berbagai argumen yang dia dasarkan sebagai dalil tidak menikah. Kubilang ini problematis. Tricky . Alias pelik. Da...