Sebut Saja Namanya L

Sebut saja temanku ini L.
Dalam kamar L menghadap cermin dan memandang diri sendiri. Memperhatikan dan memastikan bahwa dia masih sama. Seperti pada usia ke 23 tahun lalu ketika membuat keputusan besar: berkomitmen tidak menikah. Sejenak lalu, kerut keningnya menegang, seolah meneropong suatu masa. Kini, pada usia yang menjajaki angka ke 30 tahun, saat kami dipertemukan dalam satu janji, tepat setelah beranjak dari hadapan cermin, ketegangan pada kerut keningnya hilang, senyum sumringah begitu tegas tersimpul. Rona merah terpancar. L bahagia.

Alih-alih bertanya aku memilih diam, termenung, meresapi dan coba memahami pilihan hidupnya itu. Dari dulu sampai saat ini. Sebab aku tahu pilihan itu berbuntut problematis dan menuntut konsekuensi logis daripada psikologis semata. Kita mahfum betul itu. Tuduhan traumatis selalu dilekatkan kepadanya. Alih-alih memahami dan mencerna berbagai argumen yang dia dasarkan sebagai dalil tidak menikah.

Kubilang ini problematis. Tricky. Alias pelik. Dalam sosio-kebudayaan kita menikah telah menjadi bagian fase hidup. Menikah setara dengan kelahiran dan kematian. Mau tidak mau harus ditempuh. Ada dorongan bahkan paksaan dalam tempuhan itu. Konsekuensinya berbanding lurus memunculkan stigma “bujang lapuk” dan “perawan tua”. Tanpa mau tahu dan memahami bahwa manusia adalah makhluk yang bergerak dengan pertimbangan rasionalitas dan digeluti oleh sisi emosional menuju entitas yang dianggap benar.

Padahal menikah adalah persoalan hak bukan kewajiban. Hak itu dipakai atau tidak, itu terserah. Islam sendiri mengklasifikasikan menikah bisa wajib jika memenuhi tiga kriteria: fisik, mental dan financial. Jadi ketentuan menikah dalam Islam itu kontekstual. Ia bisa wajib, sunnah, makruh, mubah atau terjebak dalam jurang berkategori haram. Jika kita mau memahami ini saja, betapa Islam mensakralkan pernikahan dan menuntut umatnya menjadi pribadi yang tidak boleh sembrono atau sembarang memasuki pintu pernikahan. 

Kalau pernikahan hanya dikembalikan kepada ketakutan masuk neraka dan hanya semata-mata untuk melindungi diri dan bersembunyi pada simbolik agama agar hubungan sex mendapat legitimasi suci, betapa sia-sianya firman dalam Al-Qur’an bahwa pernikahan merupakan pintu menuju ketenangan dimanis melalui konsep integral “Sakinah, Mawaddah, wa Rahmah”-Nya. 

Toh, kalau mau dikembalikan dalam nuansa islami. Jihad yang sesungguhnya itu bukan berperang tapi berjuang. Misal, kita suka sama perempuan tapi tidak kesampaian karena tersandung syarat atau kriteria yang berlaku. Mau zina tidak berani. Takut dosa. Takut neraka. Ditahan tidak sanggup, terus bergejolak, tapi tetap berjuang melawan nafsu. Nah, dalam kondisi ini, dawuh Gus Baha’; jika kita mati, meskipun belum/tidak menikah atau itu jomblo sekalipun, kita matinya mati syahid. 

Kembali ke L. Temanku itu. Aku merasakan degup rasionalitas terhadap keputusan itu –tentu tanpa menutup mata terhadap faktor psikologis. Dia satu dari teman perempuanku yang berdaya pikir kritis: menuntut konsistensi dan konsekuensi logis pada setiap pilihan. 

Dalil pertama L tidak menikah adalah tempatkan orang sesuai keahliannya. Konsistensi yang digunakan adalah bahwa ia sadar diri tidak ahli soal itu, menikah. Baginya pernikahan adalah perumusan dua orang menjadi satu tanpa mengingkari secara ontologis bahwa dua tetap dua. Pada titik ini menjadi tumpu persoalan laten bagi L. Terutama pada masyarakat yang tidak mau terbuka dan masih patriarkal. 

L tidak mau keberadaannya secara ontologis diregus dalam relasi perumusan tersebut. Dia punya dimensi sendiri, juga eksistensi dan esensi yang mesti berdiri dan diakui bahwa dia ada dan bahwa dia juga manusia sebagaimana lelaki pada umumnya. Punya mimpi, punya ambisi. Tentu, juga punya diri. Konsekuensinya, tegas L, jika ia dipaksa menikah, niscaya bakal berbuntut kekacauan. Bukan menjadi pintu membuka kebahagiaan, malah jadi ajang perdebatan bahkan keributan. Apalagi L tidak bisa berkompromi terhadap peleburan ontologis itu. Terlebih, kata L, terhadap lelaki yang berpandangan misoginis. 

“Kenapa harus menikah?” Dalil kedua L. Untuk kebahagian? Pada dasarnya kebahagiaan adalah saat kita berada pada kondisi tentram dan senang. Pernikahan bukan satu-satunya pijakan mencapai itu. Sebaliknya, tidak jarang pernikahan membuat sensara. Agar memiliki pendukung? Kalau dalam perumusan ilmu Kalkulus, kata L, ini cuma masalah teknis mencapai fungsi tujuan. Garis keturunan? L bukan anak semata wayang. Ia punya saudara. Tidak sedikit lagi. Sudah menikah dan punya anak. Jadi perjalanan genetika ayah maupun ibu L masih dapat melintasi sejarah umat manusia. 

“Amat peduli” itu dalil ketiga L. Karena pernikahan itu sakral bukan hanya sebatas janji-janji suci dan bahagia yg masih sebatas fiksi itu, L menghormati pernikahan dengan tidak menikah. Sebab ia amat peduli. Tahu bahwa tingkat kepercayaan ia sukses berbanding terbalik dengan margin errornya. Jadi L amat peduli dengan kesakralan pernikahan, dan ia tidak mau mencemari.

“Lalu kenapa kau belum menikah? Eh, atau tidak? Ada al...,” tanya L seketika, membelakangi cermin, di atas kasur. 

Sebelum tanya itu tuntas, langsung kucumbu dia. Berguling dalam gesa dan berpacu bersama nafsu. Untuk kesekian kalinya pertemuan itu berakhir dengan bercinta. Jangan tanya dosa. Dosa hanya berlaku pada orang beragama dan tidak bagi yang bertuhan. Dan dengan lirih kujawab, “Sebab ada kamu.”

Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

Contoh Membuat TOR yang Baik dan Benar

Satu Paragraf: Apa Aku Bahagia?

Sekilas Sejarah Penyusunan/Kelahiran Khittah Perjuangan HMI

Absurditas: Bunuh Diri Filosofis