Laron
“Kapan kau terakhir menyesal?”
Ia bertanya dengan wajah yang begitu tenang, seakan-akan kematian masih teramat jauh dari lehernya.
“Ada banyak berkah yang tak ku syukuri, banyak kesia-siaan yang kutelan. Mungkin, bisa jadi, salah satunya adalah kau. Tapi tak pernah kubiarkan rasa sesal menggagahiku. Penyesalan hanya membuat usia akan makin terasa pendek. Hidup terlalu pendek untuk dibebani sederet penyesalan!” Itu jawabku.
Dia menghela nafas. Kali ini lebih berat dari sebelum-sebelumnya. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya. Aku lebih memilih menatap wajahnya yang terasa makin tirus. Ada satu rahasia yang makin tak mampu ku raba. Jalanan makin gelap, juga sepi, mungkin seperti hidupnya.
“Kita ini seperti laron. Satu waktu kau yang menjadi api dan aku yang menjadi laron. Lain kali aku yang menjadi api dan kau yang menjadi laron.”
Aku tak memotongnya. Kubiarkan ia mengeluarkan semua yang ingin dikatakan. Ada satu perasaan yang muncul diam-diam: sebaiknya kubiarkan ia bicara apa saja, sekehendak hatinya.
“Kenapa kau selalu diam malam ini? Hanya menjawab pendek-pendek saja. Setahuku kau tak pernah kehabisan bahan cerita jika sedang menghabiskan malam. Ayolah, aku ingin kau bicara tentang laron-laron. Bicaralah tentang 'Lagu Siul' itu!”
Aku rapatkan jaket hitam yang sudah apak oleh keringat dan debu. Kusulut api dan kupindahkan bara itu menjadi gumpalan asap yang terhembus dari mulut, tentu saja setelah kuhisap lebih dulu kretek dengan lingkar kuning di sepertiga ujungnya.
“Aku bukan Ahasveros lagi. Lupakanlah. 'Lagu Siul' itu amat bagus bicara ihwal kematian dan etos untuk terus berjalan menuju titik terang, kendati laron tahu makin dekat titik terang itu sayap-sayapanya akan terbakar, dan ia akan tewas. Tidak begitu aku ingin mampus.”
Aku menolak permintaanya dan mencoba berkelit demi membiarkan ia bisa terus berbicara dan mengoceh saja.
“Kau bajingan tengik. Tapi itu pun bahkan tak sanggup membuatku menganggapmu sebagai sampah. Karena sejak awal aku tahu resikonya!”
Aku tertawa agak getir kali ini. Itu sarkasme paling telengas yang pernah ia sembur di depan mukaku. Tapi aku menganggapnya justru sebagai pujian. Tak mudah bisa memunggungi orang ini berkali-kali tanpa sekali pun dianggap sampah.
Belakangan, aku tahu, itu percakapan terakhir yang ku gelar dengannya. Tapi ia tahu, sangat amat tahu, seperti apa resiko pernah menyentuh rambutku dan menyelipkan ujungnya di balik daun telingaku…. di ujung peron Stasiun Tugu, saat aku hendak pergi untuk sebuah perjalanan tanpa tiket kepulangan.
Selamat jalan, Mevrouw. "Introitus: Requiem"-nya Mozart lantas mengalun pelan.
Comments
Post a Comment