Sekilas Sejarah Penyusunan/Kelahiran Khittah Perjuangan HMI
Ditulis Oleh:
M. Chaeron AR (Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta Periode 1985-1986)
Khittah
Perjuangan HMI adalah sistem penjelasan HMI mengenai landasan gerak, tujuan,
dan sikap hidup dalam rangka asas dan tujuan organisasi, yang disusun secara
utuh, konsisten dan integreted. Khittah HMI disebut juga sebagai kerangka
ideologi HMI yang berisi Tafsir Asas, Tafsir Tujuan dan Tafsir Independensi HMI
yang disusun sebagai satu kesatuan yang utuh (integreted), yang mana tafsir
yang satu adalah dalam rangka dan saling berkaitan dengan yang lainnya.
Khittah
Perjuangan HMI dimaksudkan sebagai alat penyebut, simbol dan indikator
perjuangan (garis juang) yang menjadi landasan gerak HMI secara keseluruhan,
yang diharapkan memungkinkan terjadinya titik temu (persinggungan, untuk
mendekatkan) antara perkaderan dan perjuangan (amar ma'ruf - nahi munkar) HMI
dengan perjuangan ummat Islam pada umumnya.
Sehingga,
dengan demikian diharapkan, meskipun ada sekat-sekat yang mewadahi masing-masing
gerakan/perjuangan secara organisasional namun tidak menghalangi bersatunya
golongan/wadah ummat itu untuk bergerak bersama dalam satu komando perjuangan
ummat Islam secara keseluruhan, pada titik singgung yang disebut "kawan
se-Khittah".
Khittah
Perjuangan HMI awalnya (secara embrional) dirumuskan pada periode kepengurusan
saya di Yogyakarta (1985/86) sebagai kelanjutan dari proses diskusi panjang
mengenai "relevansi keberadaan HMI (efektifitas dan efisiensi perkaderan
dan perjuangan HMI) terhadap perjuangan ummat Islam di Indonesia", yang
sering digelar oleh kawan-kawan Korps Instruktur (LPL) HMI Cabang Yogyakarta
sejak periode sebelumnya atau Kepengurusan-kepenguruan HMI pasca Kongres Medan
(1982) hingga periode kepengurusan saya.
Diskusi-diskusi
semacam itu telah meluas di kalangan HMI secara nasional seiring dengan trend
tantangan dan isu de-ideologisasi (dengan ideologisasi tunggal Pancasila) di
Indonesia, hingga pada saat Kongres 15 di Medan telah memunculkan
rekomendasi-rekomendasi kepada PB HMI terpilih, antara lain agar melakukan
kajian yang mendalam mengenai: Tafsir-tafsir dan Pedoman-pedoman HMI, yang
dilatarbelakangi oleh kajian-kajian/evaluasi kritis terhadap: output
perkaderan, sistem perkaderan dan akhirnya evaluasi terhadap sistem
penjelasan/atau kerangka ideologi HMI secara keseluruhan (tafsir asas, tujuan
dan independensi HMI).
Rekomendasi-rekomendasi
Kongres Medan itu direalisasikan oleh PB HMI antara lain dalam bentuk kegiatan
Lokakarya Perkaderan Nasional di Surabaya th 1983 dan Temukarya Instruktur
Nasional di Purwokerto tahun 1984.
Sayangnya
pada kesempatan yang sama dimana berlangsung evaluasi kritis terhadap
eksistensi perkaderan dan perjuangan HMI yang diikuti banyak kegiatan, yang
dianggap sebagai jawaban mendasar atas persoalan-persoalan HMI di atas, pada
saat bersamaan, Pleno IV PB HMI di Ciloto keburu membuat putusan politis yang
isinya menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas atau yang disebut asas
tunggal organisasi. Akibatnya terjadilah semacam perbenturan trend, antara
trend internal yang menghendaki kristalisasi nilai-nilai Islam dalam HMI
(ideologisasi Islam, Islam oriented) dengan trend ekternal (kebijakan politik
pemerintah) yang menghendaki ke arah sebaliknya (de-ideologi Islam dengan
ideologisasi nasional atau Pencasila).
Walhasil,
terjadilah peristiwa pro-kontra dalam menghadapi tantangan situasional ini.
Lebih disayangkan lagi, karena kebijakan PB HMI lebih berpihak atau berorientasi
ke eksternal (putusan politis) daripada internal organisasi (aturan main,
konstitusi organisasi). Sehingga fitrah heterogenitas keanggotaan HMI yang
mestinya menjadi kekuatan itu berubah menjadi kelemahan, karena PB HMI terjebak
pada konflik kepentingan (tidak konsern kepada konsolidasi internal), HMI pecah.
Nah,
masih dalam rangka realisasi keputusan Kongres Medan tersebut di atas,
kebetulan pada periode Kepengurusan saya di HMI cabang Yogyakarta (tahun 1986),
PB HMI mengadakan Simposium Nasional tentang Tafsir-tafsir HMI di Mataram, maka
berangkatlah delegasi HMI Cabang Yogyakarta ke Mataram untuk menyampaikan
unek-uneknya itu, yaitu hasil-hasil diskusinya terkait topik bahasan yang
dikaji selama ini ke forum Simposium Nasional Tafsir-tafsir HMI.
Delegasi
HMI Cabang Yogyakarta terdiri dari (yang resmi) 6 orang (Mohammad Chaeron,
Fauzi Kadir, Abdul Kasri, Abdul Choliq Hidayat, Bodi Dewantoro dan Taufiq
Nugroho) dipimpin oleh Ketum Cabang Yogyakarta (Mohammad Chaeron) berangkat
bersama delegasi HMI Cabang Purwokerto (Nusky ZK dan Susanto), serta seorang
senior (Amrullah Ahmad, anggota LPL dan Tim Perumus Khittah) yang meminjamkan
mobilnya untuk transportasi delegasi ke Mataram.
Mereka
(kami delegasi HMI Cabang Yogyakarta) datang ke Simposium Mataram dengan
membawa kertas kerja yang intinya berisi gagasan atau usulan agar materi
penjelasan tafsir-tafsir HMI (yang notabene merupakan konsep
"ideologi" HMI itu) yang ada selama ini seyogianya
diperbaiki/diubah/diganti dengan materi dan pendekatan baru yang lebih
komprehensip dan intergeted. Sehingga diharapkan lebih berkarakter dan nyambung
(tidak terpisah) dengan perjuangan ummat Islam pada umumnya.
Hal
itu karena dipandang bahwa tafsir-tafsir yang ada sebelumnya terlalu filosofis
dan tidak integreted antara Tafsir Asas, Tujuan dan Sikap/Independensi. Padahal
semestinya masing-masing Tafsir itu harus dibuat/dirumuskan dan dijalankan
dalam rangka yang satu dengan lainnya. Sehingga dalam aplikasinya tidak terjadi
dis-orientasi dan inkonsistensi.
Akan
tetapi, sistem penjelasan yang ada dan berlaku saat itu dinilai tidaklah
integreted sehingga dalam persepsi dan aplikasinya berpotensi melahirkan
pemahaman dan prilaku kader yang menyimpang/tidak konsisten dan ovonturistik. Bahkan
dikhawatirkan lepas dari kerangka perjuangan ummat Islam yang semestinya. Hal
itu karena melihat fenomena pada waktu itu adanya kader-kader atau para senior
HMI yang bersikap "aneh-aneh", suka membuat manuver di kancah publik
yang dampaknya terkadang justru "merugikan" ummat Islam, dengan
alasan independensi. Oleh sebab itulah dipandang perlunya peninjauan kembali
terhadap produk-produk pedoman HMI. Selanjutnya diusulkan adanya sistem
penjelasan yang integreted, dengan nama Khittah Perjuangan HMI.
Nama-nama
Tim Perumus makalah pra Khittah pada waktu itu adalah : Abdul Mussauf Halili
(Ketua LPL HMI Cabang Yogyakarta, Koordinator Tim Perumus), Mohammad Chaeron
(anggota LPL, Ketum Cabang sebagai ex officio Tim Perumus), Fauzi Kadir
(anggota LPL, ex Ketum Cabang Yogyakarta '84/85), Bodi Dewantoro (anggota LPL),
Taufiq Nugroho (anggota LPL), Abdul Hadi (sekretaris LPL sebagai ex officio Tim
Perumus), Lukman Hakim (anggota LPL), Said Tuhulele (anggota LPL), Amrullah
Ahmad (anggota LPL), dan Zulkifli Halim (anggota LPL).
Seingat
saya, mereka ini (anggota Tim Perumus) diberi mandat/surat tugas oleh Pengurus
LPL berdasarkan SK Pengurus Cabang tentang Pembentukan Tim Perumus Tafsir-Tafsir
HMI yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Tugas dari Pengurus LPL HMI
Cabang Yogyakarta. Jadi, tugas semula Tim ini ialah menyusun naskah (kertas
kerja) tentang Tafsir-tafsir HMI (khususnya yang diminta oleh PB HMI kepada HMI
Cabang Yogyakarta: "Tafsir Independensi HMI", untuk dipresentasikan
di dalam simposium nasional Tafsir-tafsir HMI yang akan diadakan oleh PB HMI di
Mataram berdasarkan permintaan/surat edaran/ToR yang dikirim PB HMI ke Pengurus
Cabang. Namun dalam perkembangannya Tim ini menjadi Tim Perumus Drat Khittah
setelah gagasan pembuatan Khittah itu diterima/tidak ditolak saat dipaparkan di
simpnas Mataram.
Dalam
prakteknya tidak semua anggota Tim Perumus aktif terlibat dalam proses
perumusan makalah Khittah HMI karena, selain faktor kesibukan, tidak semua anggota
Tim yakin (khususnya nama-nama tersebut no 6 s/d 9) bahwa hasil rumusan itu
akan dipakai/diakomodir oleh PB HMI sebagai kebijakan organisasi.
Akhirnya
dengan berbekal kertas kerja yang dapat dibilang "belum matang"
itulah kami Delegasi HMI Cabang Yogyakarta berangkat ke Mataram untuk mengikuti
Simposium Nasional Tafsir-tafsir HMI (Tafsir Asas, Tafsir Tujuan dan Tafsir
Independensi). Bahkan makalah Pengantar Kajian Tafsir dari HMI Cabang Yogyakarta
dibuat selama dalam perjalanan dari Yogyakarta ke Mataram. Pengetikannya
diselesaikan di atas kapal penyeberangan antar pulau (dari Jawa-Bali-NTB).
Sepulang
dari Mataram, kami disibukkan oleh 4 hal: "teror" dari pihak
eksternal (kodim/korem dan kepolisian) terkait berita perlawanan HMI Cabang
Yogyakarta dan Cabang-cabang besar lainnya terhadap kebijakan politik PB HMI
(disebut cabang besar berdasarkan jumlah anggota/komisariatnya),
"teror" internal dari PB HMI sendiri yang membuat Pengurus Cabang
"tandingan" (disebut oleh PB HMI sebagai pengurus transitif) yang dipersiapkan
sebagai peserta untuk memenuhi syarat quorum pada Kongres XVI HMI yang di
Padang, dan konsolidasi internal HMI Cabang Yogyakarta menghadapi teror-teror
tersebut diatas, serta persiapan Konperca dan penyusunan Laporan
Pertanggungjawaban Pengurus HMI Cabang Yogya periode 1985 - 1986.
Akibatnya,
praktis penyusunan naskah awal Khittah Perjuangan HMI menjadi terhenti, dan
selanjutnya gagasan pembuatan Khittah Perjuangan HMI tersebut menjadi bagian
dari materi Laporan Pertanggungjawaban Perngurus HMI Cabang Yogyakarta yang disampaikan
dalam forum konfercab yang di rekomendasikan follaw-up perumusannya kepada PB HMI. Sampai disinilah tugas
konstitusional kami dalam konteks penyusunan naskah awal (embrio)Khittah
Perjuangan HMI.
Saya
sebut sebagai naskah awal (embrio) khittah HMI karena yang kami buat belum
masuk pada inti kajian materi Khittah, melainkan baru pengantar yang berisi:
Latar belakang pemikiran sebagai dasar argumen perlunya sistem pejelasan baru
(sebagai konsep ideologi HMI) yang kami sebut Khittah, dan kisi-kisi materi
atau kerangka Khittah yang berupa sistematika penjelasan dan garis besar
materinya.
Jadi
kami belum memasuki materi yang sesungguhnya dari penjelasan yang semestinya,
karena Khittah sebagai nama dan pendekatan baru, dalam penyusunannya saat itu
masih berupa gagasan (usulan) HMI Cabang Yogyakarta, belum melalui putusan
Kongres atau Penetapan PB HMI. Adapun selanjutnya, soal Khittah menjadi
wewenang dan tanggungjawab PB HMI hasil Kongres XVI di Wonosari Gunung Kidul
DIY (versi Majelis Penyelamat Organisasi/asas Islam) atau Kongres XVI di Padang
(versi asas tunggal Pancasila).
Kajen, Juli 2014
NB : Penyusunan naskah KP selanjutnya diteruskan PB HMI versi MPO dengan
menunjuk Tim yang dipimpin sdr Suharsono.
Comments
Post a Comment