Emansipasi: Kedudukan Wanita dan Laki-Laki
“Laki-laki adalah langit, wanita adalah bumi. Laki-laki adalah keagungan, wanita adalah keindahan. Keindahan laki-laki terletak pada akalnya, sedangkan akal wanita terletak pada keindahannya.” Abd Gofur.
Adalah
Maryam, istri dari salah satu sepupu saya itu, dengan memakai akun facebook
bernama Mary Juan, membuat postingan status baru: “Siapa bilang wanita sudah merdeka? Mereka belum-lah merdeka. Mereka
masih belum bisa mengeluarkan dan diterima pendapatnya.” Tulisnya.
Membaca
postingan tersebut saya tertarik untuk mengomentari: “Sejenis meminta emansipasi kayak Kartini?” Dan dibalas dengan
singkat oleh Maryam: “Yups, biar suara
wanita tidak diabaikan.”
Membicarakan
perihal emansipasi, yang salah satunya adalah suatu proses penyadaran kebebasan
persamaan hak kaum wanita terhadap kaum laki-laki haruslah setara, yang mana
sampai saat ini masih begitu kuatnya budaya patriarki, atau sebuah sistem
sosial yang menempatkan kaum laki-laki sebagai sosok otoritas yang sentral di tengah-tengah
masyarakat, memang tiada habis dan begitu menariknya untuk kita bahas dan
telaah.
Di
Indonesia, perihal emasipasi wanita sangat terkenal dikemukakan oleh Raden
Ajeng Kartini. Melalui korespondesi dengan sahabat penanya di Belanda, yang
kemudian surat tersebut tersimpul dalam bingkai buku bejudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” itu,
merupakan bukti autentik bagaimana perjuangan dari Ibu Kita yang sejati dan
harum namanya ini menggerakkan penyadaran kebebasan persamaan hak, bahwa kaum
wanita juga harus punya hak sama untuk berpendidikan tinggi dengan kaum
laki-laki, dan sampai nasib.
Dalam
pandangan penulis, begitu banyak salah kaprahnya kaum wanita sekarang dalam
memahami dan mengartikan maksud dari emansipasi yang dikemukaan Kartini itu,
adalah sebagaimana bisa kaum wanita harus-lah mempunyai kedudukan yang sama dan
setara terhadap kaum laki-laki. Tidak, pemahaman dan artian seperti itu sangat
salah kaprah. Kartini tidak pernah menyuaran agar kaum wanita harus mempunyai
kedudukan hak yang sama dan setara terhadap kaum laki-laki.
Seperti
yang disampaikan oleh Ibnu Kasir dalam Jurnal-nya “Emansipasi Wanita dan Kesetaraan Gender dalam Pandangan Islam”: Emansipasi
Kartini merupakan upaya agar kaum wanita diberikan pendidikan yang sama tingginya
dengan kaum laki-laki. Tentu tujuan dari pendidikan itu supaya kaum wanita
dapat memilki kecerdasan dan kecakapan berilmu dalam menentukan nasibnya dan
juga, agar kaum wanita tidak pandang rendah oleh kaum laki-laki.
Maka
dalam segala hal perkara, sependek pengetahuan penulis, Kartini tidak pernah
menyuarakan dan bahkan sampai begitu lantang, agar kaum wanita mempunyai
kesamaan hak secara keseluruhan dari laki-laki.
Dalam
pandangan Islam, menurut Abdul Gafur, kaum wanita dan kaum laki-laki memiliki
kedudukan yang sama di sisi Allah SWT, tetapi peran hak dan kewajiban dari
kedua insan ini berbeda dalam hubungannya. Tapi bukan lantas dari perbedaan
tersebut tidak mempunyai persamaan. Adanya sisi perbedaan dan persamaan kaum
wanita dan kaum laki-laki dapat dilihat dari ungkapan filosofis ini:
“Laki-laki adalah
langit, wanita adalah bumi. Laki-laki adalah keagungan, wanita adalah
keindahan. Keindahan laki-laki terletak pada akalnya, sedangkan akal wanita terletak
pada keindahannya.”
Dari
ungkapan filosofis ini kita dapat melihat dan memaknai bahwa bentuk dari
perbedaan wanita dan laki-laki tidaklah bersifat mutlak. Jika tidak memiliki
perbedaan yang mutlak, maka di antara keduanya terkandung persamaan dalam
hubungannya. Hubungan yang penulis maksud di sini merupakan, bahwa kaum wanita
dan kaum laki-laki mempunyai peranan dan kewajiban yang berbeda namun tidak saling
tindih dan bertentangan dalam kedudukannya.
Apabila
perbedaan diantara kaum wanita dan kaum laki-laki tidak memiliki satu relasi
persamaan dalam hubungannya, akan menyebabkan sebuah penyeretan saling tumpang
tindih salah satu dari keduanya dalam mendominasi. Terutama dominasi kaum
laki-laki terhadap kaum wanita untuk selalu tertindas.
Adapun
dalam pandangan dunia “World View” ataupun
pandangan umum saat ini, yang pada umumnya kaum wanita selalu dipahami
diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, tentu akan berstigma dan membentuk
sekat seolah kaum wanita tercipta bukan dari proses yang sempurna atau
seutuhnya seperti halnya kaum lelaki. Sehingga dari itu, kaum wanita mesti
menerima kenyataan itu dan hidup di bawah naungan dan perlindungan kaum
laki-laki bagai sang induk.
Apabila
kita memandang stigma itu sebagai proses evolusi, tentunya kaum wanita
merupakan mata rantai penghubung antara binatang dan manusia atau kaum wanita
bagaikan hewan liar terakhir yang dijinakkan oleh kaum lelaki.
Sebenarnya
dalam Islam, sependek pemahaman penulis, tidak ada ayat di Al-qur’an satu-pun
yang menjelaskan bahwa Ibu Hawa diciptakan dari tulang rusuknya Nabi Adam.
Penjelasan mengenai hal tersebut adanya hanya di kitab Injil pada bagian Bab
Kejadian (2:21-25). Jikapun di hadist ada, itu merupakan bentuk kiasan saja.
Jadi
bisa dikatakan bahwa perbedaan kaum wanita dan kaum laki-laki merupakan
konsekuensi dari hukum ciptaan yang sempurna. Yaitu, sebagai hukum penciptaan
yang merumuskan bahwa perbedaan dan persamaan diantara kaum wanita dan kaum
laki-laki sebagai bentuk hubungan keseimbangan dalam memainkan peranan dan
kewajibannya masing-masing. Sehingga dari itu, kedudukan dari perbedaan kaum laki-laki
dan kaum wanita menjadi gerbang pertemuan (red:hubungan)
untuk saling mengenal, mencintai, serta menyayangi.
Lanjutnya,
menurut pandangan penulis untuk menelaah emansipasi, proses emansipasi kaum
wanita bukanlah sebagaimana bisa kaum wanita harus mempunyai persamaan hak
peranan dan kewajiban terhadap kaum laki-laki, hingga kemudian kaum wanita lupa
pada peranan dan kewajiban kodratinya sebagai wanita. Kaum laki-laki pun tidak
akan bisa memainkan peranan dan kewajiban dari perempuan yang kondratinya
berpotensi melahirkan, dan begitupun sebaliknya.
Memang
tidak ada salahnya ber-emansipasi menjadi kaum wanita yang mandiri, baik secara
finansial dan kepribadian. Tetapi kedudukan peranan dan kewajiban sebagai
wanita itu jangan sampai dilupakan dan ditingkalkan. Kaum wanita merupakan
perhiasan indah. Perhiasan indah yang menghiasi setiap tenunan dalam
bermahligai rumah tangga, yang mana baik-buruknya suatu rumah tangga tergantung
dari baik-buruknya peranan dan kewajaiban kaum wanita.
Teruntuk
postingan status dari keluh kesah saudara Maryam itu, bukankah kebebasan
mengeluarkan pendapat untuk kaum wanita tidak ada larangan sama sekali untuk
saat ini? Apalagi di era demokrasi saat ini yang setiap kebebasan berpendapat
sangat ditampung dan dihargai. Tetapi apakah pendapat itu diterima atau tidak?
Itu persoalan lain. Diterima atau ditolaknya sebuah pendapat pada dasarnya
bukan persoalan emansipasi, melainkan benar atau salah tidaknya pendapat itu.
Dan kaum laki-laki-pun juga sering ditolok pendapatnya.
Diposting juga di: https://kumparan.com/redaksiportalmadura/menelaah-emansipasi-memahami-peranan-dan-kewajiban-wanita#eX72WqF1Kleh6pR5.99
Comments
Post a Comment