Atheis dan Legenda Si Nyai: Surat Undangan Menjadi Pemateri
Sebut saja si atheis
dalam cerita ini adalah A. Tentu bukan nama sebenarnya. Bukan lantaran ingin
menjadikan tokoh A dalam cerita ini sebagai sosok misterius, selain dia memang
teramat aneh. Hanya ingin menjaga martabat A saja. Martabat yang mana, walaupun
A tetap berkeyakinan bahwa Tuhan tidak ada, tapi keberatheisan A masih bisa
disyubhatkan kejelasannya.
“Walaupun tiap hari
kau bilang telah atheis, tapi aku memiliki kecenderung kalau keatheisanmu tidak
konsisten,” kataku satu hari, kala aku meragukan keatheisan A sembari ditemani
secangkir kopi hitam yang aduhai nikmatnya.
“Kok bisa, loh? Harus
berapa kali aku meyakinimu kalau aku ini memang atheis? Tuhan benar-benar tidak
ada. 100% aku sudah yakin kalau Tuhan itu tidak ada, seyakin-yakinnya Engkoh
Felix Siauw dengan konsep khilafahnya,” jawab A yang merasa tersinggung karena
kadar keimanannya terhadap ketiadaan Tuhan kuragukan kosistensinya.
“Kalau kau benar
atheis yang konsisten, kenapa kau masih mencantumkan agama sebagai identitasmu
di KTP?” timpalku menanggapi jawaban A.
“Asal kau tahu, ya,
boi, jadi atheis di negeri ber-Tuhan ini sulitnya naudzubillah. Kau harus berpura-pura memiliki agama di KTP agar
dapat diterima kuliah dan kerja. Pun, terkadang kau harus berpura-pura sok suci
dan alim agar dipandang sebagai menantu harapan mertua. Kira-kira begitulah
sulitnya jadi atheis di negeri yang serba ngawur ini, sesulit melupakan mantan
lah. Jadi persoalan KTP perihal lain, bisa dima’fu,” tegas A padaku.
Terlepas dari persoalan
identitas agama di KTA-nya, keatheisan A jangan diragukan lagi kadar keimanannya.
A adalah atheis yang kaffah. Bahkan karya monumental Richard Dawkins yang
berjudul “God Delusion”, buku yang dipandang sebagai kitab sucinya atheis ini,
telah dibabat habis. Khatam berkali-kali, seraya membaca Al-qur'an. Pun, lewat
buku “God Delucion” pula menjadikan nama A malang melintang sebagai pemateri di
ruang-ruang diskusi dan bahkan sampai Seminar Nasional.
Banyak alasan mengapa
A tetap beristiqomah terhadap keatheisannya; mulai dari Tuhan tidak real secara
saintifik, Tuhan hanya persoalan omong kosong manusia lewat khayalan, Tuhan
tidak lagi mampu menjawab doa-doanya yang sering berujung PHP, dan bahkan
sampai pada tingkat ekstrim:
“Tuhan tidak memiliki
peranan apapun dalam kenikmatan secangkir kopi yang kita minum ini, boi,” kata
A kala kami lagi ngopi, dan membuatku kaget.
Hingga suatu kejadian
menimpa A.
---------------------------------------------------
Malam telah larut.
Bulan yang menggantung di langit mulai terlihat tampak sendu. Angka-angka pada
jam yang terletak di samping tempat kami duduk, sudah menunjukkan hampir pukul
dua belas lewat. Para pengunjung satu persatu mulai pulang. Pun, suasana kedai
kopi yang kami tempati mulai sepi.
Terkarenakan hingga
pukul dua belas lewat tidak ada satu pun wanita yang menjatuhkan sepatu
kacanya, akhirnya kami memutuskan pulang.
Tetapi di tengah
perjalanan, tiba-tiba deretan lampu lampu seketika padam. Gelap. Setibanya kami
di tempat tinggal yang kami huni, sekretariat organisasi Himpunan dari pergerakan
mahasiswa, penghuni lainnya dan para senior-senior yang biasanya berkunjung,
mulai memadati ruang tengah yang hanya diterangi satu batang lilin. Tapi tidak
ada pengepetan di antara kami.
Dan seperti biasanya, pun
sudah menjadi kebiasannya, tanpa basa-basi terlebih dahulu, kala suasana telah
menceng-kram dan merambat pada kata mengerikan, satu senior langsung jadi
narator dari Legenda pernyaian. Keberadaan Nyai tidak seperti kita, berbeda.
Nyai tidak tampak dan kasat mata, tapi nyata. Kalau Nyai berkenan, biasanya ia
menampakkan dirinya. Tidak memperdulikan tempat dan siapa pun.
Menurut perkononan
dalam legenda, meskipun sekre-tariat yang kami huni telah beberapa kali pindah
tempat, Nyai selalu ikut serta mengikuti kepindahan kami. Sebuah isu
bergetayangan menyebut bahwa Nyai ini merupakan salah satu kader seperti kami,
meskipun kami sangat yakin kalau Nyai tidak pernah mengikuti pelatihan kader
secara formal.
Sebagian lainya pun
juga percaya kalau Nyai adalah kader muda yang dikaderisasi oleh
generasi-genarasi sebelumnya, meskipun kami sangat percaya pula kalau Nyai
sudah tidak lagi muda. Konon, dengan alasan itulah mengapa Nyai selalu
mengikuti kami.
“Nyai itu adalah kader
yang militan dan loyal, maka jangan heran kalau Nyai selalu ikut serta kemana
pun sekreatriat ini pindah,” kata salah satu senior menegaskan isu yang bergen-tayangan.
Pernah satu waktu
katanya, tuturnya satu senior, untuk memberikan dedikasi nyata atas
keikut-sertaan Nyai ditiap lini perkaderan dan perjuangan organisasi yang kami
pilih dari balik keghaiban, salah satu pengurus pada periode terdahulu hendak
mengangkat dan menetapkan Nyai sebagai Kader Kehormatan. Semuanya sepakat, meskipun
pada akhirnya inisiasi tersebut gagal karena tidak sesuai dengan aturan AD/ART
konstitusi.
Kala mengadakan
kegiatan diskusi di sekretariat pun, untuk menghormati keberadaan Nyai, satu
ruang kosong telah disediakan dan tak satupun dari kami boleh menempatinya.
Tempat itu diyakini telah ditempati oleh Nyai. Karena menurut isu
bergentayangannya pula, Nyai sangat menyukai diskusi. Berlebih, tema-tema
diskusinya sangat radikal dan liberal.
Dalam dinamika diskusi
pun tidaklah jarang Nyai mengangkat tangannya pada Pemateri, meskipun kami
tidak yakin apakah itu benar-benar tangan. Tindakan seperti ini biasa dilakukan
lantaran Nyai berbeda pendapat dengan Pemateri, meskipun Nyai sendiri sangat
tahu kalau Pemateri tidak akan menyadari tindakannya.
---------------------------------------------------
Legenda pernyaian
telah usai dikisahkan. Lampu masih padam. Jam sudah menunjukkan waktu pukul dua
pagi lebih sedikit. Sebelum beranjak tidur, aku pamit terlebih dahulu pada yang
lain. A yang sendari tadi duduk terpisah dari yang lainnya dan selalu tidak
pernah mendengarkan kisah dari Leganda per-nyaian, juga mulai beranjak dari
ruang tengah. Sebelum masuk ke kamarnya, kulihat A memasuki lorong ke arah
kamar mandi.
Berada di dalam kamar,
aku mengambil posisi terenak di atas kasur. Satu buah bantal kuletatkkan di
bawah kepala untuk mengatur tidur yang nyaman. Sepasang guling yang empuk tidak
perlu kujelaskan letaknya berada di sebelah mana –kalian tentu lebih tahu.
Sembari mengangkat selimut terhangat dan ter-nyaman pada bagian tubuh, kumulai
memejamkan mata dan membayang sesuatu.
Sebelum mata
benar-benar terpejam dan kesadaran telah terjerat menuju dunia antah berantah
ke alam mimpi, tiba-tiba kumerasakan ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang
mengganggu keharmonisan yang ada di dalam kamar. Aku memicingkan mata dari
balik selimut, berusaha melihat sesuatu itu dalam keremangan.
“Apa itu?” tanyaku
dalam hati.
Bersamaan dengan tanya
hati, tiupan angin agak kencang berdera. Ketakutan perlahan namun pasti mulai
mendekap dan mencekam. Sepasang tangan menggerayangi bagian ujung di kedua
belah kaki. Darah yang mengalir dalam pembuluh darahku pun terasa kental dan
berat. Ranting-ranting pohon di luar menggambarkan jalinan ketegangan pada
bingkai jendela. Takut.
“Ampun Nyai, aku engga
bakal membayangkan hal-hal aneh lagi. Ampun. Ampun. Aku khilaf,” ucapku
ketakutakan.
“Bukan, boi. Aku bukan
Nyai. Ini aku, boi, A,” jawabnya. “Aku tidur disini ya, boi. Aku takut tidur
sendirian. Takut sama Nyai,” lanjutnya A.
Diluar dugaan, jawaban
dari A membuatku ngerasa MAK JLEB !!
Untuk pertama kali dalam sejarah hidupnya, A merasakan bagaimana bulu yang ada
di sekujur tubuhnya berdiri. Pun, keringat bersuhu dingin jebol tidak bisa
dibendung. Sesekali A menelan ludah dan berusaha berpikir rasional untuk
menghibur dirinya dari Nyai, sembari berucap lirih penuh ketakutan: “Aku atheis
yang tidak percaya sama Tuhan, bukan Nyai,” kalimat itu dilontarkan oleh A
berkali-kali.
“Jiahh, kau ini
gimana, sih. Katanya sudah atheis sejak pikiran. Atheis yang kaffah. Eh, malah
takut sama Nyai. Harus konsisten dong. Tuhan sama Nyai kan sama-sama ghaib.”
“Tidak, boi. Aku masih
tetap atheis. Atheis kan tidak percaya Tuhan. Untuk Nyai perihal lain. Nyai
berada diluar pikiran keatheisanku pada Tuhan,” balesnya A yang masih penuh
ketakutan.
Sembari menjelaskan
kronologi bagaimana Nyai menam-pakkan dirinya dihadapannya, A menyerahkan
sebuah amplop padaku. Kata A, amplop itu diberikan oleh Nyai sebelum akhirnya
kabur terbirit-birit dari kamar mandi tanpa terlebih dahulu mendengar
penjelasan mengapa Nyai memberikan sebuah Amplop. Kubuka amplop, dan begitu
tercengang membaca isinya.
“Ini surat undangan
dari Nyai. Lihat, ini ada tanda tangannya,” tunjukku. “Nyai jadi ketua panitia
seminar bedah buku God Delusion karya Richard Dawkins di institut Dunia Alam
Ghaib, dan memintamu jadi pemateri. Lengkap dengan thor-nya juga, ni,” jelasku
pada A mengenai amplop itu.
Mendengarkan
penjelasanku bahwa dirinya diundang jadi pemateri di Institut Dunia Alam Ghaib,
membuat A makin ketakutakan. Pun, seketika itu A tiba-tiba langsung pingsan.
Kalimat tuntasanku pun bahwa dengan diundangnya A sebagai pemateri di Dunia
Alam Ghaib akan memperlebar-luaskan benih-benih keatheisan ke luar dunia, tidak
lagi didengar.
---------------------------------------------------
Alih-alih masih
berkeyakinan tetap atheis seusai kejadian yang penuh dengan propaganda
keghaiban itu, A mulai melaksanakan sembahyang malam dengan khusyuk. Hal ini
seakan membuktikan bahwa keberadaan Nyai merupakan antitesa Tuhan yang sesungguhnya
diciptakan bukan hanya sebagai pendobrak keimanan, tapi juga sebagai tameng
kepercayaan.
Belakangan harinya pun
aku mulai tahu dan sadar, ternyata A adalah atheis yang bersekte Wahabi.
Comments
Post a Comment