Laut Bercerita, Karya Leila S. Chudori
“Baiklah! jika
begitu, singkirkan saja manusia, batasi tindakan mereka, suruh mereka untuk
diam. Kenapa? Karena kekuasaan lebih penting daripada manusia.”
Cerita
yang kelam, pergulatan emosi yang dalam... dan sebuah intimidasi penguasa
otoriter yang kejam. Harusnya, sikap seorang manusia adalah menjadi manusia,
memahami manusia dan memanusiakan manusia, bukan malah sebaliknya, menindas,
mengintimdasi, dan mengaburkan akal budi. Itulah kesan yang saya peroleh ketika
membaca ‘Laut Bercerita’. Lagi-lagi, sama seperti novel sebelumnya –Pulang,
Leila S. Chudori kembali menyulutkan rasa kemanusiaan dan nasionalisme yang
hilang serta kenapa kita harus melawan. Setidaknya, melawan lupa.
Mengambil
latar waktu sebelum meletupnya era Reformasi, konfilk cerita dimulai ketika
Biru Laut (tokoh utama dalam novel ini) disergap oleh empat lelaki tidak
dikenal pada suatu senja, di sebuah rumah susun di Jakarta. Bersama kawan-kawannya
yang berada dalam satu organisasi (Daniel, Alex dan Sunu) ia dibawa ke sebuah
tempat dan berbulan-bulan mereka disekap, diintrogasi, dipukul, ditendang,
digantung dan disetrum agar bersedia menjawab satu pertanyaan penting. Siapakah
yang berdiri di balik gerakan aktivis dan mahasiswa saat itu.
Secara
mendasar, jiwa novel ini termaktub, satu, dalam secarik puisi yang disampaikan
Sang Penyair (Mas Gala) yang mengutip larikan puisi Soetardji Calzoum Bahri
kepada Biru Laut di hari ulang tahunnya yang ke-25: Matilah engkau mati/Kau
akan lahir berkali-kali. Sebuah larikan puisi yang menyampaikan sebuah pesan
mistis pada kita meski pada akhirnya mereka mati, tapi semangat dan impian
mereka terhadap bangsa ini akan lahir berkali-kali, pada generasi selanjutnya,
kita. Yang kedua, adalah pembicaraan Biru Laut dengan Sang Penyair mengenai
perbedaan ‘gelap dan kelam’, yang terilhami Catatan Pinggirnya Goenawan
Mohammad dalam menjelaskan tentang kematian Munir.
“Aku ingat
pembicaraanku dengan Sang Penyair. Dia berkata bahwa dia tidak takut pada
gelap. Karena dalam hidup, ada terang dan ada gelap. Ada perempuan ada
laki-laki. ‘Gelap adalah bagian dari alam,’ kata Sang Penyair. Tetapi jangan
sampai kita mencapai titik kelam, karena kelam adalah tanda kita sudah
menyerah. Kelam adalah sebuah kepahitan, satu titik ketika kita merasa hidup
tak bisa dipertahankan lagi.” Hal 2.
Seperti
berkali-kali ditegaskan Leila S. Chudori diberbagai kesempatan, novel berlatar
belakang sejarah tahun 1998 ini memang fiktif. Meski begitu, ia membenarkan
bahwa beberapa adegan didasarkan pada kisah dan obrolan nyata para aktivis
pra-reformasi. Sebut saja di antaranya kisah nyata dari pemimpin redaksi The
Jakarta Post, Nezar Patria; penyair Orde Baru, Wiji Thukul; dan rekan-rekan
aktivis yang hilang maupun selamat, seperti Noval Alkatiri, Suyat, Wilson, Mugiyanto
Sipin, Waluyo Jati dan Budiman Sudjatmiko. Belum terhitung pula anggota
keluarga korban penghilangan paksa yang menjadi narasumber utama.[1]
BIRU LAUT
DAN ASMARA JATI:
Novel
ini dibangun dalam dua plot cerita dengan dua tokoh, Biru Laut dan Asmara Jati.
Dalam plot Biru Laut, kita diajarkan tentang perjuangan dan pengkhianatan.
Perjuangan menghadapi kekuasaan yang otoriter dan bagaimana tekanan dari sang
Penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya dengan kesewenangannya
mengintimidasi dengan rasa ketidak-manusiawian. Juga tentang pengkhinatan yang
bisa datang kapan saja dan dari siapa saja. Tidak bisa ditebak dan diterka.
Itulah mengapa, dalam novel ini, satu pesan yang bisa kita ambil dalam
perjuangan, kita harus belajar dari kekecewaan bahwa orang yang kita percaya
ternyata bisa menusuk punggung kita.
Karena pengkhianat ada di mana-mana dan bisa siapa saja.
Tapi
pergulatan emosi kita justru memuncak pada plot kedua, Asmara Jati, adik Laut
Biru, yang mengajarkan kita tentang kehilangan juga penyangkalan. Yakni, tentang
bagaimana orangtua Biru Laut (setelah Biru Laut dan 12 aktivis lainnya dileyapkan
oleh penguasa) terjebak dan tengelam dalam ‘kepompong ilusi’ yang mereka buat
sendiri, dan menyangkal bahwa anaknya bukan ‘tidak kembali’ melainkan ‘belum
kembali’ dan dengan terus menerus menyiapkan satu piring untuk Biru Laut saat
makan bersama, ‘bila kembali’. Asmara Jati, sang adik, mencoba mengajak kedua
orangtuanya keluar dan terlepas dari ‘kepompong’ tersebut dan menghadapi
kenyataan yang ada, bahwa Biru Laut telah hilang-lenyap dan tak akan pernah
kembali. Ironis sekaligus sadis.
Itulah
mengapa di suatu petang, saat Asmara Jati yang tidak lagi kuasa menahan derita
yang dihadapi orang tuanya yang berada di ‘kepompong’ itu dengan terus-menerus
menyangkal bahwa Biru Laut tidak akan pernah kembali, dengan rasa putus asa
yang begitu mengiris hati, berujar: Menanti kabar apakah Laut masih hidup atau
tidak, itu sama saja menanti ketidak-pastian, dan terkadang menanti
ketidak-pastian ternyata lebih membunuh daripada pembunuhan.
BUKAN
MENGINGAT LUKA LAMA, TAPI MENOLAK UNTUK LUPA
“Sesekali,
aku membayangkan kita berdua bisa keluar dari dunia yang kita kenal ini, meloncat
melalui sebuah portal dan masuk ke dimensi lain di mana Indonesia adalah dunia
yang (lebih) demokratis daripada sekarang..... Apakah kita kan pernah hiup
dalam (keadaan) Indonesia yang demikian?” [Penggalan surat Biru Laut ke
Anjani, Kekasihnya]
Seperti kata seorang Kawan[2]: Pernahkan kita membayangkan intelektualitas kita dibatasi, kebebasan berpendapat dilucuti, dan jangan harap kita bisa bebas berekspresi, berkata ‘tidak’ pun kita harus bersembunyi? Itulah kondisi yang dihadapi oleh Laut Biru dan kawan-kawan pada saat itu; setiap wacana atau ide yang dianggap ‘kiri’ dan menentang pemerintah dilarang; buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang begitu dihargai luar negeri dianggap haram dan tak boleh dipegang, pementasan-pementasan yang membela rakyat pun dianggap komunis; dan diskusi-diskusi mahasiswa tidak diperbolehkan, dan tidak segan-segan akan dibubarkan jika ketahuan.
Harga untuk memperoleh era saat ini, Reformasi, saat kebebasan perpendapat dilindungi, tidaklah mudah dan murah. Harus banyak memakan ‘tumbal’ penguasa agar kita bisa masuk dalam satu fase di mana kita dapat bebas berekspresi. Kata ‘melawan’ kala itu bisa harus dibayar dengan kehilangan nyawa. Organisasi Winatra yang adalah organisasi gerakan mahasiswa yang begitu vokal mengkritsi penguasa mau tak mau harus dibayar dengan hilang dan lenyapnya 13 aktivis. Betapa kejamnya intimidasi penguasa saat itu agar dapat melanggengkan kekuasaanya. Ruang berfikir kita dikebiri dan rasa takut dilayangkan pengusa pada mental-mental yang ‘melawan’ dan yang ‘diam’, dan bahkan, nyawa pun tidak ada harganya.
Pada
novel ini, setidaknya menurut pribadi, ingin kembali menyingkap tirai kelupaan
kita terhadap satu kenyataan bahwa sejarah keberlangsuangan bangsa ini pernah
menyimpan ruang sejarah yang kelam. Sebuah novel epos sejarah yang menyiratkan
bahwa peristiwa yang abu-abu itu, tentang kebenaran aktivis yang hilang
tersebut, masih seperti warna masa depan yang tidak bisa kita raba. Juga
tentang bagaimana efek psikologi keluarga korban yang ditinggalkan anaknya,
suaminya dan kekasihnya, yang sampat saat ini belum juga diungkap. Tapi kita
tidak boleh hanyut dan tenggelam pada satu luka yang kelam itu, melaikan
kematian para aktivis tersebut menjadi pengingat bagi kita yang masih duduk
nyaman ini untuk terus melawan ketidakadilan. Melawan lupa.
Jasad
mereka memang telah mati, tapi jiwanya akan tetap hidup bersama kebenaran di
setiap lubuk hati kita, sebagaimana larik puisi Sang Penyair: Matilah engkau
mati….Kau akan akan lahir berkali-kali…
[1]
Shilviana Dharma. 2018. Komas.com: laut-yang-bikin-merinding
[2]
Mirza Iqbal. 2018. Kognisia.co: bukan-mengingat-kembali-luka-lama-tapi-menolak-untuk-lupa
Comments
Post a Comment