Seperti Mimpi
Semua ini seperti sebuah mimpi
saat kau mulai bangun dan membuka katup matamu pada pagi hari yang dingin
sekaligus begitu menggigit, satu pertanyaan muncul untuk memastikan:
“Apakah ini nyata?”
Sebentuk siluet dengan bayangan
hitam rambut terurai panjang membelah pandangmu, kau kaget. Buru-buru kau buka
pintu kamarmu sebelum perempuan itu mengetuk. Saat pintu kamar itu terbuka,
perempuan itu tersenyum: sebuah senyum yang mampu mengusap begitu halus pada
dinding hati di masa lalu.
Tapi tanya yang masih
menggantung di benakmu, sebelum kau cubit pipi kananmu untuk memastikan semua
itu bukanlah mimpi, tatapan heran dari perempuan itu lebih dulu mengusik
tanyamu –apakah ini nyata?.
Tiba-tiba......
“Kau tak percaya aku ini
nyata?” tanya perempuan itu seolah hendak memastikan kesadaranmu. Kesadaran apa
kau masih di ruang mimpi atau sudah beralih ke ruang lebih nyata, lebih pasti.
Kau tentu saja masih tak
percaya. Berbagai pertanyaan muncul dan berhamburan menyerang benakmu,
mengacaukan logika dasarmu, seraya dalam logikamu seperti ada para pasukan
tentara yang tiada ampun masuk dan membombardir daerah pertahanan lawan.
“Peduli apa jika pun ini tidak nyata?” desirmu dalam hati. Kau balas tatapan
perempuan itu untuk mengimbangi herannya, dan berkata:
“Jika ini adalah mimpi, aku tak
peduli. Bahkan tidur selamanya pun aku mau,” jawabmu, karena kau sudah tidak
lagi peduli apakah kehadiran perempuan itu adalah mimpi atau tidak.
“Kau masih saja seperti dulu.
Tak peduli pada rasa sakitmu.”
“Peduli apa? Kau yang buat aku
begini.”
“Tolong, dengar sebentar,”
perempuan itu menyelamu.
“Tidak. Kau yang buat aku
begini.”
“Sebentar saja,” perempuan itu
lagi-lagi coba menyela perkatanmu. Tapi kau sudah tidak lagi peduli pada
perkataanya.
“Tidak. Kau yang buat aku
begini,” ucapmu sekali lagi dan sama. Perempuan itu hanya terdiam saat kalimat
“kau yang buat aku begini” terulang sebanyak tiga kali.
Kau coba merambati waktu dari
ruang masa lalu, membelah kenangan tentang perempuan itu yang masih saja kau
simpan rapi di ingatan. Itu terjadi beberapa tahun saat kau masih berseragam
sekolah menengah atas. Dadamu berdetak tak seperti biasanya. Kau merasakan
sesuatu yang beda, ketidak-seimbangan. Kau tidak mampu memahami gerangan rasa
apa itu, datang dan tiba-tiba memberimu rasa penuh sesak dalam hati.
Le coup de foudre, kata Leila
S. Chudori, bangsa Prancis mengalimat istilah apa yang kau rasakan: cinta
pandangan pertama. Secara harfiah, istilah tersebut bermakna halilintar atau
petir, tapi jika kedua pasang mata bertemu dan saling bertabrakan hingga
membuat detak jantungmu berhenti seketika, le coup de foudre berurusan dengan
emosi dan bisa menghilangkan keseimbangan jagat. Logikamu lumpah. Segenap
rasionalitas akal yang biasa menghubungkan premis mayor-minor tidak lagi
menemukan perumusan yang sesuai dalam bentuk konklusi. Hanya hati yang
berkehendak. Itulah saat-saat di mana kau merasakan bunga-bunga hati itu mekar,
dan seketika, hanya dalam hitungan seperkian detik, tumpah keluar untuk
menjemput cinta.
Bagaimanapun, pikirmu waktu
itu, cinta pandangan pertama adalah cinta yang sangat menggelora. Bagaimana
tidak, cinta pandangan pertama adalah tentang keinginan untuk menelusuri suatu
hal yang baru dan begitu asing, seperti sebuah peta yang haus untuk dijelajah.
Kau memang baru menyadari hal
itu belakangan hari. Tapi saat satu pasang mata perempuan itu menabrak
pandangmu, tiba-tiba saja kau merasakan ketidak-seimbangan. Bahkan kau merasa
bahwa bahasa cintamu telah tertinggal di ruang-waktu itu. Benar-benar terseret
dalam satu nuansa.
Sejak itu kau
menganggap perempuan itu sebagai tulang rusukmu, perempuan yang patut
diperjuangkan dan dipertahankan. Perempuan yang seolah oleh campur tangan
Tuhan, dalam anggapmu, hanya ditakdirkan sebagai jodohmu, sebelum kemudian, di
satu waktu, kau terlempar jauh dari penganggapan tersebut dan membuatmu beralih
dan jatuh pada kenyataan pahit.
Ya, seonggok hati berbentuk
cinta yang hendak kau jemput dari perempuan itu; di bawah bintang-gemintang
saat kau putuskan menyatakan rasamu, ternyata tidak dia berikan. Kau patah,
meskipun belum saatnya berkata menyerah.
Sebenarnya, tak hanya sekali
atau dua kali kau pastikan bahwa kau benar-benar telah terseret dalam cintanya.
Tapi jawabnya masih sama, masih klise, dan masih seperti biasa dan
kebiasaannya, masih hanya menganggapmu sebatas teman, dan sejak saat itu
pulalah kau putuskan beralih mencintainya dalam bayang-bayang khayalan.
“Berhentilah melamun. Berhenti!
Kenapa kau begitu asik dengan dunia khayalmu? Itulah kenapa aku anggap kau
begitu egois,” kata perempuan itu yang kini tidak hanya menyela perkataanmu,
tapi juga menyela khayalan dan juga kenanganmu tentang dia.
“Tak ada larang untuk
berkhayal, dan tidak ada undang-undang yang menyatakan itu tindakan kriminal,”
jawabmu ketus.
“Setidaknya kasihani dirimu.
Kasihanilah perasaanmu. Betapa sakitnya perasaan saat sadar dari mimpi.
Kenyataan teramat kejam.”
“Aku tak peduli. Kau yang buat aku begini,” jawabmu lagi-lagi mengulang tatanan kalimat tersebut.
Dunia khayal itu memang telah
kau bentuk sejak pertama kali bertemu dengan perempuan itu. Sebuah dunia yang
kau susun dari kata-kata penuh imajinatif dengan mimpi-mimpi indah dan begitu
melankolis.
Kau hanya perlu sedikit goresan
kecil untuk memperbaiki rambutnya yang hitam dan pekat. Wajahnya terulas tampak
cergas dan menawan saat kata ‘cantik’ menyulam bahasamu, dan sapuan kata
‘indah’ di pengujung kalimatmu telah berhasil mememorkan senyum yang begitu
amat mesra dengan mendekap deru nafasmu.
Bagaimanapun, hanya lewat dunia
itu kau bisa membelainya. Sebuah dunia yang hanya terisi kalian berdua. Tak ada
kalimat ‘kau adalah sebatas teman’ dalam dunia itu. Tak ada persyaratan dan
tipe-kriteria agar kau bisa dicintainya di dunia itu. Di dunia itu kau bisa
memilikinya dan menghilang persoalan tetek-bengek yang menuntutmu. Sebuah dunia
tanpa batas yang digerakkan imajinasi. Tapi saat kau mulai bangun dan sadar,
semua mimpi-mimpi itu melebur dan hilang dan leyap entah ke mana, dan seperti
sebuah kepingan salju yang hilang ditelan malam, mimpi-mimpi indah dan
melankolis itu hanya menyisakan getiran nasib.
Ya, kenyataan memang begitu
kejam mengusik mimpi saat mata telah melihat dunia –kenyataan. Kau harus tahu
itu. Tapi peduli apa?
“Keluarlah dari duniamu!” perempuan itu kembali menyela khayalmu dengan tegas. “Paling tidak, hari ini aku datang
menjemput mimpimu melalui pintu yang lebih nyata. Apa kau tidak membaca pesanku?
Aku mengajakmu kencan.”
Kau balikkan badan dan
memunggungi muka pintu. HP yang bergeletak tak rapi di atas kasur, kau ambil.
Ada tiga pesan dan dibarengi dua panggilan tidak terjawab masuk dalam
notifikasi. Semua itu adalah pesan dari perempuan itu. Satu pesan memang
tertera ajakan kencan. Lainnya, menanyakan kabarmu, dan satu tanya ‘kenapa kau
tidak membalas pesannya’.
“Apa kau masih tidur?” tanya perempuan itu pada tulisan pesan ketiga.
“Apakah ini nyata?” tanya itu
muncul kembali dan menyerang benakmu: dan betapa kejamnya mimpi yang dijemput
kenyataan, bukan?
Comments
Post a Comment