Quo Vadis Perkaderan HMI ditengah Krisis Identitas Pengader

Tahun 1947, HMI berdiri. Ya, usia 71 tahun bukan lagi usia remaja penuh romantika dan drama bagi HMI, tapi merupakan usia seorang sesepuh, atau umpama empu bila HMI diibaratkan seorang mantri keris, atau juga ibarat begawan kalau HMI adalah seorang pertapa kuno yang selalu dinantikan kearifan dan kata bijaknya demi kemaslahatan umat. Harusnya, pada usia yang tidak lagi muda ini, HMI sudah mulai saatnya mensayapkan frasa perjuangannya untuk membumikan masyarakat yang diridhoi Allah SWT. Bukan lagi, atau melulu, masih terbelunggu dalam problematika internal. Terlebih, masih menyoalkan kedirian pengader. Klise dan stagnan.

Tidak ada keraguan sedikit pun dalam keyakinan kita bahwa Pengader adalah nabi-nabinya HMI yang membariskan dirinya begitu gagah-berani di garis terakhir pertahanan HMI. Sebab eksistensi Pengader dalam tubuh HMI hadir sebagai punggawa yang menahkodai arus dinamika perkaderan dan  perjuangan HMI untuk terus maju menuju barisan terdepan. Hancurkan benteng pertahanan terakhir tersebut, atau paling tidak goyahkan meskipun hanya sedikit, maka gerak stabilitas perkaderan HMI akan mengalami kerusakan, disconection. Kemandekkan proses internalisasi perkaderan pun akan sangat terasa terguncang.

Eh..dilalah, alih-alih HMI hendak beranjak maju dan tidak lagi menoleh belakang, krisis identitas malah menjalar dan melanda Pengader Cabang Yogyakarta; di mana keengganan, mengendurnya semangat para Pengader untuk berpartisipasi aktif dalam mewujudkan cita mulia HMI; mulai terkikisnya identitas sebagai pendidik, pemimpin, dan pejuang; meredupnya protetipe sebagai “manusia selesai” dengan segala persoalan dirinya dan bergerak secara dinamis untuk kepentingan umat, dan lainnya. Quo Vadis: Mau dibawa ke mana perkaderan HMI ini?

 

QUO VADIS, MAU DIBAWA KE MANA PERKADERAN HMI?

Sejak kelahirannya yang dinahkodai Lafran Pane pada tahun 1947, bertempat di Sekolah Tinggi Islam, kini UII, HMI telah memproklamirkan dirinya sebagai organisasi Islam berbasic perkaderan. Islam sendiri diterjemahkan HMI sebagai gerak dasar dari pola perkaderan. Sehingga dapat dikatakan perkaderan HMI merupakan upaya peningkatan kualitas para kader dengan memberikan pemahaman ajaran dan nilai kebenaran Islam dengan penuh hikmah, kesabaran dan kasih sayang, yaitu melalui pembinaan sikap dan serta penambahan pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan kader HMI untuk tampil sebagai sosok khalifah Allah di muka bumi.

Setelah pelaksanan Kongres XVII, 1-5 Juli 1988 di Yogyakarta, arah gerak perkaderan HMI tidak lagi mengalami perubahan, “terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan ulil albab”. Tidak boleh tidak! Arah perkaderan HMI harus menuju insan ulil albab. Adapun lewat gerak aktifitas skema model perkaderan, dengan menginternalisasikan gambaran konsepsi ideologis Khittah Perjuangan sebagai upaya HMI memberi penjelasan tentang cara pandang mengenai semesta eksistensi yang wajib diakui, kebenaran yang wajib diperjuangkan, jalan hidup yang wajib dijunjung tinggi, cita-cita yang perlu diraih, dan nilai-nilai yang mengikat atau menjiwai kehidupannya secara individual maupun sosial, HMI berikhtiar membentuk kader-kader ulil albab tersebut supaya memiliki karakter Muabbid, Mujahid, Mujtahid dan Mujaddid.

Adapun sisi lainnya, secara internal, proses perkaderan HMI merupakan ikhtiar untuk memenuhi kebutuhan HMI sendiri demi kesinam-bungan peran dan tanggung jawab kepemimpinan di HMI. Tapi lebih dari itu, perkaderan juga merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan umat Islam secara keseluruhan, akan kader-kader HMI yang berkualitas dan memiliki komitmen yang tinggi dalam setiap generasi. Dengan demikian, menjadi kader HMI sejatinya sama halnya dengan menjadi kader Islam: inilah kenapa perkaderan HMI biasa disebut sebagai perkaderan umat.

 

KRISIS IDENTITAS PENGADER, PENANDA KEMATIAN HMI?

Dalam menjalankan proses perkaderan, perlu adanya pengemban amanah perkaderan sebagai pelaku yang aktif menjalankan dan sekaligus menjaga sistem perkaderan, dan serta sebagai penyambung antar generasi yang senantiasa siap dan rela berupaya dengan sungguh-sungguh untuk memper-siapkan generasi penerus masa depan di HMI dan Islam. Pengemban amanah itu dalam HMI disebut pengader.

Diterangkan dalam Mukodimah Pedoman Pengader, pengader HMI adalah sosok dengan kepribadian yang utuh sebagai identitasnya. Yakni, sebagai pendidik, pemimpin, dan pejuang (mujahid). Sebagai pendidik, pengader adalah pembawa dan penjaga nilai Islam, dan serta menempatkan dirinya sebagai uswatun hasanah (suri teladan). Sebagai pemimpin, pengader adalah penjaga ukhuwah islamiyah di kalangan kader-kader. Terakhir, sebagai pejuang, pengader menempatkan dirinya sebagai pelopor dalam melaksanakan “amar ma’ruf nahy munkar”, baik dalam dinamika intern HMI maupun lingkungan eksternal HMI.

Melihat perpaduan ketiga identitas tersebut, maka menjadi pengader haruslah didasarkan pada kesadaran ideologis yang tinggi karena menuntut sebuah tanggung jawab dan keikhlasan ditiap peran dan fungsinya di perkaderan HMI. Sebab itu, ketika identitas tersebut mulai terkikis, maka terasa sekali bagaimana dampaknya terhadap perkaderan. Perkaderan akan kehilangan arah, tujuan mulia kekaderan HMI tersendat,  bahkan HMI, naudzubillah min dzalik –semoga tidak, akan mengalami kematian. Ini adalah fakta. Apa yang diterangkan pada tulisan ini, pengader mengalami krisis identitas, telah menjadi fakta yang terjadi di sekeliling kita, HMI, dan apa yang terjadi selanjutnya, bisa sangat kita tebak dengan pasti bahwa HMI akan mengalami kemerosotan. Paling tidak perkaderan akan tersendat. Karena, sebagai punggawa yang menjaga tradisi perkaderan, dan jika kemudian para pengader sudah acuh dan tidak lagi peduli terhadap tanggung jawab dan peran-fungsinya dalam menjaga dan  menumbuhkan benih-benih perkaderan dalam diri kader, tanda-tanda kematian HMI hanya tinggal menunggu waktu. Wassalam. HMI tiada.

Lebih jelasnya. Seperti yang dijelaskan paragraf kedua, pengader adalah sang pusat jantung pertahanan HMI. Sebagaimana pusat jantung pertahanan, Pengader harus bertanggung jawab untuk melindungi tradisi perkaderan yang telah terjaga, dan mencegah serangan yang mengancam stabilitas perkaderan HMI. Tanggung jawab berat ini memang hanya layak dipegang Pengader yang sesuai dengan karakteristiknya yang kuat dan pekerja keras, jeli terhadap dinamika HMI yang terjadi, peka, punya insting tajam menggerakkan dinamika perkaderan, dan cepat mengantisipasi ancaman terhadap eksistensi HMI baik dari luar maupun dalam, integrator, yaitu; sebagai pejuang, pendidik, dan pemimpin. Dan bisa kita bayangkan apa yang akan terjadi jika pertahanan itu rusak, jika bukan lagi tanda kematian HMI?

Sebab itu, fakta yang terjadi saat ini dalam diri Pengader harus menjadi diskursus yang penting. Fakta ini harus kita kuak dan kaji secara mendalam. Kata ‘kenapa’ dan ‘mengapa’ harus menjadi pertanyaan dasar guna merumuskan dan mengatasi krisis identitas ini. Jika tidak: Quo vadis, mau dibawa kemana perkaderan HMI ini?

Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

Contoh Membuat TOR yang Baik dan Benar

Satu Paragraf: Apa Aku Bahagia?

Sekilas Sejarah Penyusunan/Kelahiran Khittah Perjuangan HMI

Absurditas: Bunuh Diri Filosofis