Pulang, Karya Leila S. CHudori
“Aku ingin pulang ke rumahku, Lintang. Ke sebuah tempat yang
paham bau, bangun tubuh, dan jiwaku. Aku ingin ke Karet.” [Kata Dimas Suryo kepada
anaknya, Lintang.]
Leila S. Chudori memang dahsyat memainkan emosi pembacanya. Dibuka
dengan latar ketika pecahnya prahara G30S–65 (dan ditutup dengan meledaknya
demonstrasi 1998), Leila tidak menampilkan sejarah dalam legitimasi benar dan salah,
melainkan tentang bagaimana sejarah membentuk kemanusiaan manusia: pada mereka
yang dituduh pengkhianat negara dan atau simpatisan Komunis, serta tanggungan
dosa turunan bagi anak mereka yang dituduh PKI yang bahkan belum lahir.
Peristiwa pecahnya G30S–65
dalam buku sejarah Indonesia memang menjadi sejarah paling kelam sekaligus yang
paling kabur. Itulah mengapa secara pribadi, dalam Bincang Buku ini, tidak
ingin membahas sejarah dalam benar–salah, melainkan membahas bagaimana Leila
memaparkan efek dari sejarah tersebut. Toh, bagaimanapun juga novel tetap karya
fiksi. Tapi yang jelas, melalui novel Pulang ini, saya seperti dapat merabai
pemahaman kenapa Pramoedya Ananta Toer dengan tegas dalam film dokumenternya
mengatakan bahwa negara baginya hanya sepetak rumah yang ia huni.
Novel ini dibagi menjadi
tiga bagian: Dimas Suryo, Lintang Utara, dan Segara Alam. Pada narasi Dimas
Suryo kita diajak mengembara menjadi eks tahanan politik setelah pecahnya
tragedi G30S–65 ke negara asing yang bahkan tidak memiliki ikatan secara historis
dengan Indonesia. Pada sisi Lintang Utara adalah pencarian identitas yang belum
dapat ia temukan dari petikan kata ‘I.n.d.o.n.e.s.i.a’. Terakhir, pada bagian Segara
Alam, menceritakan tentang kekelaman dan diskriminasi sosial bagi mereka yang
dianggap dan dituduh Komunis yang bahkan sampai mendarah daging ke anak-cucu
mereka.
DIMAS SURYO: EKS TAHANAN POLITIK YANG INGIN ‘PULANG’
Dimas Suryo, Nugroho Dewantoro, Risjaf dan Tjahjadi Sukarna
[Tjai Sin Soe] adalah empat wartawan –kecuali Tjai– di Kantor Berita Nusantara
sebelum Peristiwa 30 September 1965 terjadi. Menjelang Peristiwa G30S–65 tsb.,
Dimas Suryo dan Nugroho menghadiri Conferensi
International Organization of Journalists di Santiago, Chile. Sedangkan
Risjaf menghadiri ‘event’ lain di Havana, Kuba. Sementara Tjai meninggalkan
Indonesia menuju Singapura hanya beberapa waktu sesudah Peristiwa G30S–65
terjadi.
Sadar bahwa situasi politik
Indonesia pasca G30S–65 bukan hanya sedang tidak berpihak tetapi sangat
berbahaya bagi siapapun yang dengan mudah bisa dikait-kaitkan dengan PKI, Dimas
Suryo dan Nugroho serta Risjaf tidak berani memutuskan untuk pulang. Selain
itu, dan ini alasan yang lebih penting, mereka memang tidak mungkin bisa pulang
karena paspor mereka dicabut.
Mereka lalu pergi ke
Peking, bertemu dengan orang-orang Indonesia yang juga mengalami nasib yang sama.
Dari Peking lalu ke Eropa dan keempatnya ketemu di Paris. Sejak saat itu, 1968,
mereka menyandang status sebagai eksil politik Indonesia, sebelum kemudian,
setelah beberapa tahun menetap di sana, mereka memperoleh status sebagai warga
negara Prancis. Untuk bertahan hidup di Prancis, setelah menjalani sejumlah
pekerjaan serabutan, mereka mendirikan restoran masakan Indonesia yang mereka
namai “Restoran Tanah Air”.
Saat baru tinggal di Paris
kota itu sedang bergolak oleh gerakan mahasiswa dan buruh yang menentang
pemerintah De Gaulle, Dimas Suryo bertemu Vivienne Deveraux. Sebuah pertemuan
yang oleh Vivienne Deveraux disebut “le
coup de foudre” (cinta pandangan pertama). Mereka menikah. Dari pernikahan
ini lahir putri semata wayang Dimas Suryo: Lintang Utara. Selama menetap di Paris
berulang kali Dimas berusaha pulang ke Indonesia, tapi selalu gagal mendapatkan
visa.
Rezim Soeharto yang
mengukuhkan sikap anti Komunis dengan menegakkan berbagai peraturan dan bahkan
berada diluar batas kemanusiaan, tidak memberikannya izin untuk pulang. Padahal
bertahun-tahun bermukim di Paris kota itu hanya sekadar menjadi rumah
persinggahan. Bagi Dimas, Indonesia adalah rumah sejatinya, tujuan kerinduannya
untuk pulang. Bertahun-tahun menjadi penduduk Paris, bukan Cimetiere du Pere
Lachaise melainkan pemakaman Karet lah yang ingin dijadikannya peraduan
terakhir. Itulah mengapa pada suatu dialog antara Vivienne Deveraux dan Dimas
Suryo, di mana angin musim dingin malam menyerbu masuk ke rumah, dalam
kegalauan Dimas Surya yang rindu untuk kembali ke Indonesia, Vivienne Deveraux
mengucapkan sesuatu yang salah (tepatnya kurang baik):
“Rumah adalah tempat
keluargamu menetap,” kata Vivienne Deveraux.
“Tidak. Rumah adalah tempat
di mana aku bisa merasa pulang,” jawab Dimas Suryo. Dingin dan datar.
LINTANG UTARA DAN SEGARA ALAM: SOAL IDENTITAS & PEMILIK SEJARAH
Skrikandi dalam Mahabharata dan Candra Kirana dalam Cerita
Panji Semirang merupakan tokoh pewayangan yang oleh Leila S. Chudori dilekatakan
pada diri Lintang Utara. Dua tokoh tersebut menggambarkan “pemburuan
identitas”. Pelekatan “pemburuan identitas” pada Lintang ini karena ia adalah
orang krisis identitas dalam pertanyaan: “siapakah dirinya?” Orang indonesia
yang tak pernah ke Indonesia? Atau orang Prancis setengah Indonesia?.
Penyoalan identitas inilah
yang kemudian membawa Lintang Utara ke Indonesia. Kedatangan Lintang di
Indonesia untuk menguak peristiwa yang menjauhkan ayahnya dari Indonesia.
Menggunakan momen yang tepat, Leila menibakan Lintang Utara di Indonesia pada
peristiswa Mei 1998, masa-masa menjelang jatuhnya Soeharto dari kursi
kepresidenan. Ironis sebenarnya, ayahnya meninggalkan Indonesia dan tidak
pernah diizinkan pulang menjelang berkuasanya Soeharto, sedangkan putrinya
memasuki Indonesia menjelang tumbangnya kekuasaan Soeharto.
Sebagai anak dari eksil
politik, tidak mudah bagi Lintang Utara untuk masuk ke Indonesia. Apalagi
kedatangannya ke Indonesia terkait dengan upaya menyingkapkan kembali tabir
hitam dalam sejarah Indonesia. Di balik tabir itu bertaburan darah orang-orang
tak berdosa yang dituduh komunis atau berhubungan dengan komunis. Untunglah
Narayana yang memiliki koneksi di KBRI, para diplomat junior berpikiran terbuka
yang bersedia mengusahakan visa bagi Lintang.
Lintang tiba di Jakarta
tatkala Indonesia sedang panas bergolak pada Mei 1998. Terjadi demonstrasi
besar-besaran, mahasiswa melakukan unjuk rasa terkait kenaikan harga BBM dan
KKN yang menjurus kepada tuntutan reformasi. Soeharto, pemimpin Orde Baru,
diminta turun diri dari tampuk presiden yang telah didudukinya selama 32 tahun.
Atas inisiatif Segara Alam, anak bungsu Hananto Prawiro –tokoh yang dianggap
PKI–bekerja di LSM Anak Bangsa, Lintang menyusup ke dalam hiruk-pikuk kerusuhan
terbesar dalam sejarah Indonesia, kerusuhan Mei 1998. Dan di tengah panasnya
kondisi politik dan rentannya keamanan yang kian meningkat itu, Lintang
berjibaku merekam film yang mengangkat para korban malapraktik sejarah
Indonesia.
“Ayah tahu dia ditolak pemerintah Indonesia, tetapi dia tidak ditolak oleh negerinya. Dia tidak ditolak oleh tanah airnya. Itulah sebabnya, dia meletakkan sekilo cengkih ke dalam stoples besar pertama dan beberapa genggam bubuk kunyit di stoples kedua di ruang tamu hanya untuk merasakan aroma Indonesia," kata Lintang (hlm. 198-199)
Pada tokoh Segara Alam,
mengajarkan bagaimana efek dari pergolakan pecahnya G30S–65 terhadap para
keluarga yang ikut PKI, Lekra, dan GERWANI, serta simpatisan atau memang cuman berkawan
dengan salah satu anggota PKI juga akan diciduk. Seperti diceritakan, semua
yang berbau PKI pada saat itu ada yang ditangkap, diinterogasi, ditahan,
diculik, atau bahkan dibunuh (dengan peradilan atau bahkan tanpa peradilan).
Bahkan kutukan PKI akan mendarah daging sampai anak-cucu mereka, sehingga ada
diskriminasi sosial pada saat itu. Di mana mereka yang masih dianggap sebagai
keluarga para komunis maka pada KTP mereka akan diberi tanda ET (eks tahanan
politik), dan sulit mendapatkan pekerjaan.
“Siapakah pemilik sejarah?
Berhakkah pemerintah mengklaim kebenaran pada sejarah?” pertanyaan itu mungkin
selalu muncul di hidup Segara Alam. Tapi Kawan, perihal sejarah bukan
hanya karena sejarah ditentukan pemenang, tapi sejarah yang tidak mengandung
kebohongan pasti sangat membosankan.
Comments
Post a Comment