Menelaah Pengetahuan, Sembari Melihat: 'Apa Sebenarnya Ada?"
‘TAHU’
DAN ‘PENGETAHUAN’
Manusia adalah mahluk sempurna.
Ia dibekali akal, hati dan indera untuk menjelma sebagai mahluk yang paling
berpengaruh di muka bumi ini. Inovasi tiada henti dan muncul dari asahan ketiga
kreasi potensi tersebut, telah menghasilkan kebudayaan dan peradaban yang
sangat kompleks. Tapi pertanyaannya, dari manakah hasrat berpengetahuan itu
datang hingga kita sampai pada peradaban dan kebudayaan di abad pogresivitas
dan degradasitas abad 21 ini?
Jawaban sederhananya: rasa
ingin tahulah yang membuat manusia mengetahui apa yang sebelumnya ia tidak
ketahui, karena sudah jadi fitrah manusia untuk ingin tahu terhadap segala
realitas, sewaktu dilahirkan tidak memiliki pengetahuan apapun. Itulah mengapa
Aristoteles mengatakan bahwa “setiap
manusia, kodratnya adalah ingin tahu”. Itu pula yang menyebabkan mengapa
Socrates sampai hati berkata “saya tidak
tahu apa-apa, satu-satunya yang saya ketahui adalah saya tidak tahu”.
Juga rasa kagum terhadap apa
yang ingin diketahuilah, disampaikan Platon, menjadikan manusia menguras otak,
memaksimalkan penelitian inderawinya dan mengoptimalkan rasa kemanusiaannya
untuk mencipta peradaban. Jadi, dapat dikatakan bahwa pengetahuan pada dasarnya
adalah hasil serapan manusia melalui semua potensinya yang membuat ia tahu ini
dan itu. Tapi dorongan seperti apa yang membuat manusia ingin mengetahui?
Jawabannya masih sederhana: karena
keinginan untuk membongkar realitas yang ‘sebenarnya ada’ dari segala realitas
‘yang ada’ itu untuk dijadikan pegangan dalam menggeluti keyakinan. Entah itu
realitas yang tampak secera inderawi atau tidak tampak secara inderawi. Hal ini
wajar, karena memang seharusnya manusia yang berakal, bertanya dan mencari apa
yang dianggapnya sebagai sesuatu ‘yang benar’. Pencarian kebenaran tersebut, untuk
apalagi jika bukan untuk meyakini dan menjadikannya sebagai landasan hidup.
SEJARAH
ILMU PENGETAHUAN
Berbagai literatur yang sampai pada
kita berkaitan dengan sejarah pengetahuan mengatakan bahwa dalam konteks
peradaban, pengetahuan dimulai sejak Thales muncul dengan pikiran ‘nakalnya’
membongkar mite-mite Yunani. Padahal sebagaimana ditegaskan Hassan Hanafi,
sebenarnya jauh sebelum itu telah muncul peradaban timur seperti China, India,
Persia dan Mesir. Adapun peradaban Yunani adalah hasil serapan atas
peradaban-peradaban Timur. Tapi ini tidak terlalu aneh, konstruksi pengetahuan
kita saat ini memang sangat dipengaruhi oleh filsafat Barat yang tentu saja
melandaskan akar historisnya pada peradaban Yunani. Hassan Hanafi sebenarnya tidak
terlalu merisaukan meski menampakan kekesalan atas penyimpangan sejarah
pengetahuan tersebut.
Masa
Yunani Kuno
Masa ini adalah masa kemunculan filsafat secara umum.
Dimulai dengan pendobrakan Thales atas Mitologi Yunani, akal mulai menonjol
dominasinya meski iman masih terlihat peranannya. Hal ini berlangsung hingga
kaum Shofis muncul. Berbeda dengan masa sebelumnya, kaum Shofis datang dan
menihilkan hal-hal imani, dengan kata lain, akal memenangkan pertarungan dan
menghabisi iman. Ini dapat kita lihat dengan fenomena manusia sebagai ukuran
kebenaran, hingga jadilah penganggapan bahwa kebenaran adalah sangat relatif.
Itu semua tidak berlangsung lama. Socrates muncul di garda terdepan
sebagai penyelamat bahwa kebenaran tidak semuanya relatif. Bagi Socrates, ada kebenaran
umum (pengertian umum): kebenaran yang dapat diterima oleh semua orang.
Keyakinan inilah yang mendorong Socrates untuk berjalan di pasar-pasar untuk
berdebat dengan semua orang yang ditemuinya agar ada kebenaran umum yang win-win solution, dan kondisi ini
bertahan cukup lama meski lama-kelamaan filsafat larut dan menemui kekalahan
terbesarnya pada Abad Pertengahan.
Abad
Pertengahan
Pada Abad Pertengahan ini akal benar-benar kalah total. Ada
yang menyatakan bahwa Abad Pertengahan adalah pembalasan terhadap dominasi akal
yang hampir seratus persen berkuasa pada masa Yunani, terutama masa kaum Shofis.
Meskipun memunculkan Aquinas yang mencoba mencairkan kembali filsafat, tapi
semua usahanya banyak ditentang sehingga filsafat tidak terlalu berkembang. Akibatnya,
filsafat dan sains berhenti. Jangankan berkembang, menjaga tradisi filsafati
Yunani saja tidak mampu.
Zaman
Modern
Zaman ini ditandai dengan jebolnya tembok kemenangan dogma
oleh senjata ‘cogito ergo sum’nya
Descrates, dan membebaskan akal ke alam bebas. Akal kembali ke tampuk
kekuasaan. Filsafat Yunani kembali menemukan bentuknya dan berkembang pesat.
Bahkan Rasionalisme menjadi ciri khas pikiran Modern beserta Empirisme. Maka,
zaman Modern adalah masa kemenangan filsafat dan sains.
Era
Posmodern
Dapat dikatakan era Postmodern adalah yang membingungkan.
Tidak ada kesepakatan kapan Posmodernisme muncul dan siapa tokoh pertamanya.
Tapi yang jelas Postmodern adalah kritik bagi modernisme. ‘filsafat’, ‘rasionalitas’
dan ‘epistemologi keilmuan’ Barat kembali dipertanyakan secara radikal. Tokoh-tokohnya
banyak mengelompokannya secara beragam. Habermas, misalnya. Ada yang mengatakan
bahwa ia masuk dalam tradisi Postmodern ada pula yang menyatakan masuk modern.
Menyelami
Ontologi Ilmu:
Antara
ADA dan TIADA
Realitas adalah keberadaan:
Yang tampak seperti kursi dan lain sebagainya, dan yang tidak tampak seperti
pikiran dan sebagainya. Tapi, apakah yang sebenarnya ‘ada’ itu? Apakah ‘ada’
adalah sebagai pusat segala sesuatu, seperti materi atau ide, benda-benda atau
apa yang ada di otak kita (pikiran)? Untuk menjawabnya kita perlu menyimak
perdebatan filosofis para mahluk ‘aneh’ dengan bergelar Filosof.
Bagi kalangan Materialis, yang
sebenarnya ‘ada’ adalah benda-benda. Yaitu, apa yang tampak sebagai kursi,
meja, gentong, sepatu, tas, dan serta benda-benda atau materi yang tersusun
dari unsur-unsur lebih kecil yang menyatu dan membentuknya. Atom. Itulah yang
disebut ‘ada yang sebenarnya’ menurut kalangan kaum Materialis. Sayangnya,
lembar jawaban itu masih menyisakan masalah.
Masalah itu terutama datang
dari kaum Idealis plus Religius. Bagi kaum Idealis jawaban kalangan Materialis
tidak memuaskan karena masih menimbulkan pertanyaan: “Apa sebenarnya quark[1] itu?” Apa bukti jika ia benar-benar ada?
Bukankah kaum Materialis selalu dapat membuktikan dengan data empirik melalui
indera terlebih dahulu sebelum menyimpulkan? Serangan yang membuat mati kutu
kaum Materialis membuat kaum Idealis di atas angin: karena bagi mereka, yang
‘sebenarnya ada’, adalah pikiran.
Sudah finalkah, dan kaum
Idealis tampil sebagai pemenang, kah? Belum. Persoalan masih menghantui ‘apa
sebenarnya pikiran itu’? Petarungan kembali berlanjut. Bagi kaum Materiali,
pikiran adalah pola-pola dalam otak manusia yang sejatinya terdiri dari
benda-benda. Sementara kaum Idealis membantah dengan mengatakan bahwa pikiran
adalah pola-pola yang bermakna dan saling memaknai. Yang bisa memaknai ini
apalagi jika bukan pikiran. Bukan benda-benda. Dari sini, tibalah kita pada
pandangan (pemahaman) yang berputar-putar, tidak lagi ke kanan maupun ke kiri,
hanya sampai pada bundaran yang membingungkan. Adakah yang menjadi penunjuk
jalan? Para Filosof sejarah tampil ke depan. Mereka mengatakan bahwa yang
benar-benar ‘ada’ sebenarnya adalah peristiwa-peristiwa yang hakikatnya
terletak pada kreativitas. Yang ideal dan yang material tidak lain adalah aspek-aspek
saja dari setiap proses.
Jawaban itu yang sedikit-banyak
membuat reda perang urat syaraf. Dengan demikian kita bisa mengatakan, bagi
kalangan Materialis yang sebenarnya ada adalah materi, bagi kaum Idealis yang
sebenarnya ada adalah pikiran, dan bagi filosof sejarah yang sebenanya ada
adalah peristiwa-peistiwa. Tapi, apa ‘ada itu sebenarnya’? Apakah yang ‘sebenarnya
ada’ itu hanya materi dan apa yang bisa kita pikirkan? Bagaimana pula dengan
adanya Tuhan?
‘Ada’ adalah sesuatu, dan
‘sesuatu’ itu meliputi yang tampak dan tidak tampak oleh indera. Tapi apakah
adanya Tuhan juga demikian? Bagi Mulla Shadra, seorang tokoh filsafat Islam,
‘ada’ itu tanggal dan berlaku untuk semua benda, baik yang konkrit maupun yang
abstrak. Meski begitu, Shadra mengatkan bahwa ‘ada’nya Tuhan adalah ada secara
murni, sedangkan ‘ada’nya yang lain becampur dengan esensi. Pamaham inilah yang
menjadi pelipur lara bagi para pencari bukti ‘ada’nya Tuhan melui pendekatan
filsafat. Karena ‘ada’nya Tuhan adalah murni, maka mengatakan bahwa Tuhan tidak
ada adalah sebuah kemustahilan. Karena bagaimanapun, jika kita berpikir dan
berkata bahwa Tuhan tidak ada, Tuhan tetap ada.
Apa yang kita bicarakan di atas
adalah wilayah hakikat. Kita menyaksikan bahwa bagi kalangan Materialis yang
hakikat adalah benda benda dan bagi kalangan Idealis yang hakikat adalah
pikiran. Bagaimana dengan Islam? Apa yang hakiki menurut Islam? Tentu yang
hakiki, yang ada sebenarnya adalah Tuhan, Allah SWT: karena Allah adalah
pencipta segala sesuatu (Khaliq). Dialah kebenaran satu-satunya.
Bila demikian, bisakah kita
mencapai kebenaran Tuhan itu? Bisakah manusia yang relatif kebenarannya
mencapai kebenaran Tuhan yang mutlak? Bukankah manusia adalah mahluk yang
lemah? Terlebih, Allah SWT memberikan pengetahuannya kepada kita tidak ada
kecuali sedikit (illa qaliil). Hemat
saya, kita harus perlu terjerumus pada apakah kita akan sampai pada kebenaran
yang mutlak dan berbangga-angkuh dapat mencapai hakikat. Bagi saya yang
terpenting, Allah SWT adalah maha Pemurah dan telah menganugerahkan kepada kita
berbagai potensi untuk berpengetahuan.
Kita dianugrahkan akal, indera
dan hati sebagai bekal mengarungi kehidupan dunia ini tidak lepas dari ruang
dan waktu, maka bagaimana kita memaksimalkan daya potensi kita di alam fana ini
sebagai wujud ibadah kita kepada Allah SWT? Maksimalisasi dari semua potensia
itulah yang akan mendekatkan diri kita kepada Allah, yang mutlak. Selain itu,
bekal kodrati manusia berupa akal, hati dan indera, juga berarti menekankan
kita untuk berusaha mencari kebenaran hakiki. Bukankah akal, hati dan indera
juga berasal dari Tuhan? Dengan begitu, Tuhan telah memberi kesempatan kepada
manusia untuk mencari pengetahuan (kebenaran) sebagai lambang pengabdian kepada
Allah SWT. Itulah yang menjadikan seorang Murthada Muthahhari menyebutkan
adanya kemungkinan bagi manusia mendapatkan pengetahuan atau kebenaran.
Dari sinilah kita tiba dan
menemukan konteks mengenai hakikat ilmu. Ilmu bukankah seongkang usaha tanpa
makna, melainkan ia mengemban amanah untuk memahami realitas sebenarnya sebagai
wujud pengabdian kepada Allah SWT dan perannya di muka bumi sebagai khalifah.
Epistemologi
Ilmu:
Alat
dan Sumber Pengetahuan Manusia
“Dari
mana datangnya cinta, dari mata turun ke hati,” adalah
ungkapan yang sering kita dengar dan cukup mengundang geli. Tapi bukan tanpa
makna. Dalam perspektif ilmu, mata adalah sumber pengetahuan empiris dan hati
sumber keyakinan diri. Dengan mata kita bisa menyaksikan hitam-putih,
tampan-cantik, bulat-lonjong, mancung-pesek, kurus-gemuk, tinggi-rendah dan
lain sebagainya. Dengan hati kita bisa merasa susah-senang, cinta-benci,
tenang-khawatir, simpati-empati, takjub-mangkel, dan lain sebagainya. Inilah
sebagian dari pengetahuan manusia.
Tapi apakah dengan melihat dan
‘sekaligus itu’ yang menyebabkan kita meyakini? Atau keyakinan itu muncul
serentak begitu saja lewat intuisi kita, seperti muncul bagai jalangkung,
datang tak dijemput dan pulang tak diantar? Jika memang demikian, lalu mengapa
kita harus benci? Mengapa kita harus merasa khawatir? Mengapa harus begini?
Mengapa harus begitu? Mengapa ini tidak boleh? Mengapa itu tidak boleh?
Bagaimana kita bisa mengurai, memilih dan menilai dari berbagai fenomena
empiris itu yang kemudian menyimpulkan ini-itu? Apa yang menjadi sandaran kita
sehingga tingkah polah kita harus seperti ini-itu? Indera, hati atau akal?
Untuk menjawabnya, terlebih dahulu kita akan melihat alat dan sumber
pengetahuan manusia.
Indera
Manusia memiliki berbagai indera sebagai alat untuk
mengetahui sesuatu. Indera penglihatan, pendengaran, dan perasa. “Kehilangan
satu indera, maka kehilangan satu bentuk pengetahuan,” begitulah
ungkap Aristoteles. Berkaitan ungkapan Aristoteles, Muthahhari
mengilustrasikan dengan sebuah contoh orang buta sejak lahir kala bertanya:
“susu beras itu seperti apa?” Meski ada orang berusaha menjelaskannya, tapi
tetap sang buta tidak bisa mengerti warna susu beras itu.
Selain itu indera juga terbatas. Pengetahuan yang dihasilkan
oleh indera sering kali menipu. Mata misalnya, dalam melihat sesuatu akan
sangat dipengaruhi jarak. Contoh sederhana mengenai fatamorgana. Dari kejauhan
kita melihat di terik matahati di sebuah jalan aspal yang lurus kita melihat
ada gumpalan air di atas aspal. Tapi, tatkala dikonfirmasi dengan melihatnya
lebih dekat, tak ada apa-apa. Air yang tadinya tampak nyata ternyata menipu,
bukan yang sebenarnya.
Akal
Di atas keterbatasan indera itu akal muncul sebagai alat
epistemologi lain yang melengkapi. Ini tidak lepas dari fungsinya yang bisa
merenung, memilah, membuang yang tidak bermakna, mencerap, menangkap makna,
menimbang dan sebagainya. Seperti dikutip Musa Khazim, Murthada Muthahhari
menggambarkan kinerja akal dalam lima tahap sebagai berikut:
Pertama, menerima pesan dari luar. Pada tahap ini akal
menagkap objek-objek alam luar melalui panca indera yang tersimpan dalam lokus
mental. Kedua, mengingat. Artinya, setelah menerima gambar atau kesan dari
luar, akal punya kemampuan menampakan kembali secara jelas. Ketiga, adalah
membagi atau mengklasifikasi dan menggabungkan atau mensintesiskan. Dalam tahap
ini akal mampu mengurai, memilah dan mengupas kesan yang masuk dalam benak atau
akal.
Keempat, adalah abstraksi dan generalisasi. Dalam hal ini
akal berupaya memisahkan gambaran yang tertangkap oleh panca indera dari
ciri-ciri individual dan partikularnya. Terakhir, adalah perenungan/penalaran dan pembuktian atau argumentasi. Pada tahap ini akal mencoba
menghubungkan seerangkaian data untuk meng-ungkap dan mengetahui objek yang
belum diketahui.
Hati
Dapatkah hati menjadi sumber pengetahuan. Jalaludin Rumi
pernah berkata bolehlah manusia dengan rasionya mengetahui segala sesuatu.
Tapi, ia tidak tahu tentang dirinya sendiri. Ya, untuk keperluan ini kita bisa
bertanya tentang kesedihan, kekhawatiran, bahkan keyakinan. Mungkinkah ini
muncul dari rasio. Tidak, ia muncul dari hati. Sebab itulah mengapa hati adalah
alat epistemologi. Alat untuk mendapatkan pengetahuan.
Aksiologi
Ilmu:
Apakah
Ilmu Bebas Nilai Atau Tidak?
Bagi Sekuler yang memposisikan
agama dan ilmu pengetahuan dalam oposisi biner dan menganggap bahwa ilmu itu
bebas nilai. Ilmu tidak terkait dengan agama atau dogma-dogma tertentu. Ia
seperti lahir begitu saja dari kreasi akal dan indera, atau lebih tepatnya,
melalui eksperimentasi terhadap alam dalam sains. Tapi pertanyaannya adalah:
apakah ilmu itu dapat terlepas dari penerapannya? Apakah ilmu itu dibuat,
dirancang, dan diterapkan dalam sosio-cultural tertentu tidak terkait dengan
manusianya? Betulkah ilmu itu berdiri sendiri dalam upaya pengaplikasinya tanpa
campur tangan manusia?
Tidak, ilmu itu tidak bebas
nilai. Kalaupun ilmu itu bebas nilai, mengapa ilmu yang dianggap adalah untuk
kemajuan dan kebaikan manusia telah menjelma sebagai kekuatan yang menakutkan?
Ia telah digunakan semena-mena untuk eksploitasi alam, invasi militer,
pembobolan rekening, penyalahgunaan anggaran, dan pembohongan publik. Dalam
teknologi informasi, kita melihat krisis di mana ia telah menjadi penyangga
utama budaya pop atau entah yang memiskinkan kesadaran dan terjebak ‘nyaman’
dalam ruang mekanistik.
Membongkar
Ilmu Pengetahuan Barat:
Rasionalisme
dan Empirisme
Akar dari ilmu pengetahuan
barat sebenarnya bertumpu pada dua titik: rasionalisme dan empirisme.
Rasionalisme adalah aliran yang mengatakan bahwa pengetahuan sebenarnya adalah
yang berasal dari akal. Bapak aliran ini adalah Rene Descarrates dengan “Cogito
Ergo Sum”-nya. Dalam pencariannya, Rene Descrates mempertanyakan dengan dalil
apa saya mengatakan ada ini demikian, Tuhan itu ada, jiwa itu ada, roh itu ada,
dunia ini ada, paris itu ada, agama al-Masih adalah demikian? Kemudian Ia
menguji berbagai alat epistemologi tapi tidak menemukannya.
Akhirnya, Ia kehilangan
keyakinan dan kepercayaan. Ia pun mulai meragukan segala sesuatu. Dan tatkala
Ia tenggelam dalam keraguannya, tiba-tiba disadarkan oleh poin yang Ia katakana
sendiri: “Sekalipun saya meragukan segala yang ada, tapi saya tidak ragu bahwa
saya dalam keadaan ragu”. Dengan demikian “saya sekarang tengah merasa ragu,
dan karena saya merasa ragu, berarti saya tengah merasa ragu ini, adalah ada”.
Munculah kemudian kata popular yang menggambarkan pemikiran Cartesian “ketika
saya ragu, maka saya ada”. Tokoh lain pemerus Descrates adalah Spinoza dan
Leibniz.
Sementara itu, empirisme adalah
aliran yang mengatakan bahwa pengetahuan yang benar berasal dari indera atau
pengalaman. John Locke adalah salah satu tokohnya selain David Hume dan Herbert
Spenser yang juga banyak dikenal. Lock menyatakan bahwa tidak ada sesuatu di
dalam pikiran kita kecuali di dahului oleh pengalaman. Jiwa atau mind itu,
tatkala seorang dilahirkan, keadaannya kosong, laksana kertas putih (tabula
rasa), dan setiap ide yang diperolehnya selalu di dahului pengalaman inderawi.
Sama halnya dengan Lock, Hume
membedakan antara ide dan kesan. Semua ide yang kita miliki datang dari
kesan-kesan. Dan, Spenser dengan nada berbeda tapi semakna mengatakan bahwa
kita hanya dapat mengenali fenomena-fenomena atau gejala-gejala. Memang benar
dibelakang gejala itu ada suatu dasar absolute, tetapi yang absolute itu tidak
dapat kita kenal. Di sini, Spenser hendak mengatakan bahwa hal-hal yang
sifatnya metafisis tidak ada. Yang ada hanyalah fenomena-fenomena inderawi.
Memeluk
Ilmu Pengetahuan Islam
Sebagai
Pegangan Landasan Hidup
Karena kerja akal, indera dan
hati telah diurai di atas, pembahasan ini akan lebih difokuskan pada
interpretasi wahyu sebagai sumber pengetahuan. Hal ini menjadi sangat penting
karena persoalan agama yang berhadapan dengan realitas sosial (wilayah
inderawi), penafsiran (wilayah rasio) dan keyakinan apa yang mesti dilakukan
sangat terkait dengan pegangan atau pembongkaran terhadap teks agama itu
sendiri. Ini dapat dipahami, meskipun beragam interpretasi dan memunculkan
banyak kesimpulan tetapi sumbernya tetap sama, yaitu al-Qur’an dan Al-Hadis.
Sebelum menyelam ke kedalaman
teks, kita perlu menjawab dahulu apakah al-Qu’an yang notabene yang oleh
sebagaian kalangan dianggap universal itu bisa ditafsirkan? Melihat sejarah
Islam tentu jawabannnya menjadi pasti. Bisa ditafsirkan. Faktanya,
doktriner-doktriner yang sampai kepada kita dibanjiri dengan ungkap-ungkap
ajaran agama hasil penafsiran para ulama dan fuqaha. Bahkan penafsiran yang
juga lambing dai ijtihad itu telah muncul setelah nabi meninggal. Dan kini kita
pula mengenal mengenal adanya mazhab asy-Syafi’I, Maliki, Hambali, dan Hanafi.
Tentu saja disamping itu banyak pula mujtahid yang tidak termasuk ulama mazhab.
Hal yang sama terjadi sampai sekarang. Penafsiran akan teks sangat beragam. Ada
yang bersifat fundamenta,l ada juga liberal, ada yang menekankan pada teks, dan
ada pula yang menekankan pada rasio.
Bagi seorang ‘fundamentalis’
penafsiran teks agama bersifat skriptualisme, atau meyakini al-Qur’an sebagai
firman Tuhan dan dianggap tanpa kesalahan. Ini bertolak pada prinsip bahwa;
Pertama, penolakan terhadap hermeneutika. Ia menolak interpretasi teks secara
kritis. Baginya, al-Qur’an harus dipahami secara literal saja. Mereka
mengajukan alasan bahwa nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi
yang tepat terhadap teks. Kedua, penolakan tehadap pluralisme dan relativisme
karena pluralisme dianggap merupakan pemahaman yang keliru terhadap teks kitab
suci. Pemahaman itu harus satu dan tidak ada realtivisme dalam memahami teks
tersebut.
Ketiga, penolakan terhadap
perkembangan histories-sosiologis. Bagi mereka, pekembangan histories-bila
perlu dengan kekeesaan- harus disesuai dengan kitab suci. Dan keempat, mereka
sering mengambil posisi oposisionalisme. Dengan keyakinan mereka akan kebenaran
mutlak teks tersebut, mereka mengambil jarak dengan pemahaman-pemahaman yang ia
anggap ‘sesat’. Tak jarang prinsip-prinsip ini bertumpu pada legitimasi Islam
kaffah, kedaulatan tuhan dan puritanisme. Sebaliknya, bagi kalangan ‘liberal’
teks yang dianggap tidak sesuai dengan sosio-historis harus di bongkar dan
ditafsirkan ulang. Tak masalah baginya bila kemudian terdapat pemahaman yang
berbeda-beda. Untuknya, kala wacana hermenetika mencuat, kaum liberal menyambut
baik.
Berkaitan dengan teks ini,
Hassan Hanafi menjelaskan bahwa; Pertama, teks adalah teks dan bukan realitas.
Ia hanyalah deskripsi linguistik terhadap realitas yang tidak dapat
menggantikannya. Kedua, teks hanya menuntut keimanan apriori. Ketiga, teks
bertumpu pada otoritas al-Kitab. Keempat, teks datang dari luar bukan datang
dai realitas dalam. Kelima, teks selalu tekait dengan realitas yang
ditunjuknya. Keenam, teks bersifat unilateral yang selalu terkait dengan
teks-teks lainnya. Ketujuh, teks selalu dalam ambiguitas pilihan-pilihan yang
tidak luput dari pertimbangan untung-rugi (kepentingan).
Menurut saya, memang al-Qur’an
tejamin kebenarannya. Tapi kebenaran yang ada di dalamnya ada yang bersifat
universal ada juga yang temporal. Ada yang sifatnya normative-universal dan ada
pula praktis-temporal. Atau dalam istilahnya Amin Abdullah, ada dimensi
normative dan histories-nya. Artinya, dalam al-Qur’an ada teks-teks yang
berlaku secara umum dalam semua tempat dan waktu ada pula teks yang
pelaksanaanya sesuai dengan konteksnya tergantung waktu dan sosio-historisnya.
Maka bagi saya kita tidak perlu
ribut-ribut apalagi saling menghujat antara yang fundamentalis dengan yang
liberalis itu. Selain secara histories pemahaman manusia itu beragam, juga
karena posisi teks yang dihadapkan dengan tantangan zaman. Apalagi, Islam dalam
teks-teks agamanya tidak melulu menekankan keyakinan akan teks-teks agama,
melainkan juga yang lebih penting pengaplikasiannya. Bukankah seringnya kita
membicarakan kesalehan individu dan sosial itu di ruang-ruang diskusi saja?
bukankah kita hanya sibuk dengan urusan sesat-menyesatkan saja sementara kita
lupa dengan teks-teks kesosialan kita yang sebenarnya nyuruh memberantas
kolusi, korupsi dan nepotisme, penyalahguanaan wewenang, pembodohan rakyat, dan
penindasan kaum lemah? Itulah karena seringnya kita menganggap bahwa urusan
ilmu adalah urusan teks. Dan teks harus diperdebatkan dan di yakini bukan
direalitaskan.
[1] Quarks adalah partikel yang membangun proton
dan netron, bagian dari inti atom.
Comments
Post a Comment