Korespondesi: Untuk Zi, Arti Sebuah Desa Bagi Perantau
Bagaimana mestinya aku mulai, Zi? Haruskah aku memperagakan seperti Engku Zainuddin ketika menyurati Rangkayo Hayati untuk pertama kalinya: “Gemetar, Encik! tanganku ketika mula-mula menulis surat ini.” Hahahahaha Sebagai permulaan dalam korespondensi ini, aku tertarik dengan balasan teman korespondesiku yang lain dengan mengatakan supaya melihat Indonesia bukan lagi dari cerminan kaca besar yang tidak dapat kita selesaikan secara sendirian, melainkan dari sudut kecil dan tampak dan dekat dengan kita : desa. Kamu sepertinya akan setuju, saat kita melihat Indonesia dari kaca mata besar, betapa miris negara ini menjadi sebuah bangsa: Drama pertikaian beda pandangan yang dibalut kepentingan politik praktis dari kalangan elit telah memecah belah rakyat dan akhirnya intoleransi berhasil mengkusutkan tenunan bingkai kebhinekaan kita. Jadi aku tak mau berbicara mengenai Indonesia. Bukan karena sudah muak, tapi rasa simpatiku sudah mulai terkikis bersamaan dengan makin kuat dan s...