Korespondesi: Untuk Zi, Arti Sebuah Desa Bagi Perantau
Bagaimana mestinya aku mulai, Zi? Haruskah aku
memperagakan seperti Engku Zainuddin ketika menyurati Rangkayo Hayati untuk
pertama kalinya: “Gemetar, Encik! tanganku ketika mula-mula menulis surat ini.”
Hahahahaha
Sebagai permulaan dalam
korespondensi ini, aku tertarik dengan balasan teman korespondesiku yang lain dengan
mengatakan supaya melihat Indonesia bukan lagi dari cerminan kaca besar yang
tidak dapat kita selesaikan secara sendirian, melainkan dari sudut kecil dan
tampak dan dekat dengan kita: desa.
Kamu sepertinya akan setuju,
saat kita melihat Indonesia dari kaca mata besar, betapa miris negara ini
menjadi sebuah bangsa: Drama pertikaian beda pandangan yang dibalut kepentingan
politik praktis dari kalangan elit telah memecah belah rakyat dan akhirnya
intoleransi berhasil mengkusutkan tenunan bingkai kebhinekaan kita.
Jadi aku tak mau berbicara
mengenai Indonesia. Bukan karena sudah muak, tapi rasa simpatiku sudah mulai
terkikis bersamaan dengan makin kuat dan suburnya feodalisme dan oligarki di
negeri ini. Apalagi pada bulan ini, September, isu yang selalu jadi bahan
olahan publik hanya itu itu saja, isu Komunis.
Bayangkan Zi. Ini sudah tahun
2020, saat Muso, Stalin dan gembong-gembong Komunis lainnya telah lama wafat,
telah banyak referensi tentang kegagalan Komunis di berbagai negara, Uni Soviet
telah lama bubar, dan haluan politik dan ekonomi RRC telah bergeser, Komunis
akan bangkit? Apa mungkin kaca spion Indonesia terlalu besar sehingga
menghalangi pandangan kita kedepan? Atau apa mungkin beban sejarah masa lalu
ini terlalu berat dipikul sehingga kita hanya diam saja di tempat?
Padahal dalam sejarah, sependek
pengetahuanku, kita harus memisahkan fakta dan interpretasi. Fakta adalah
sesuatu yang objektif dan melekat pada konteks. Adapun interpretasi merupakan
tafsiran seseorang terhadap konteks peristiiwa dan tentu saja subjektif. Sebab
ia merupakan rekontruksi pemikiran dari suatu konteks dan juga seseorang tidak
dapat melepaskan dirinya dari sisi afiliasi politik, ideologi, keyakinan agama
dan semangat zaman yang melingkupinya pada waktu itu. Apalagi bukan hanya
karena sejarah ditentukan oleh pemenang, tetapi sejarah yang tidak mengandung
kebohongan pasti sangat membosankan.
Maka izinkan aku berbicara
tentang desa, Zi.
Rentangan 14 tahun merantau ternyata tidak banyak mengubah potret
rekaman masa kecilku tentang sebuah desa. Ia masih saja asri. Rimbunan semak di
belakang rumah berselimutkan gontai
dan kadang
melambai lebih hebat diterpa
sahutan angin
jahil dan usil, masih menghiasi pandangan mataku menangkap
keindahan panorama. Sebuah anugerah mata yang jarang kudapati di kota. Hamparan tanah juga melentang kosong dan masih difungsikan sebagai sawah yang digarap oleh
petani untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, masih juga belum termakan tumbal pembangunan.
Rindangan pohon juga masih banyak bertaburan dan merambat sampai halaman
rumah-rumah. Keberadaan pepohonan itu bukan hanya memberikan udara segar
dan bersih tapi juga keeksotisan. Itulah
alasan
mengapa aku sering menganggap bila
hujan turun mengguyur menggantikan musim
kemarau
jahanam desaku bukan hanya tampak asri. Ia seperti anak perawan mandi basah:
segar, penuh gairah dan daya hidup.
Sebagaimana Orhan Pamuk dalam
memoarnya “Istanbul: Memories and the
City” mengenang arti Istanbul dalam bentuk melankoli, aku juga merasakan
hal yang sama meskipun aku mengenangnya dalam bentuk melankoli personal, tidak
kolektif seperti Pamuk. Itulah saat dimana kelebatan potret rekaman masa kecilku
berkelindang hebat dan mengisi memori kerinduan untuk kembali pada masa-masa
itu.
Seperti aku teringat pada waktu
kecil dahulu sering dimarahi Ibu jika terlalu sering mandi di sungai karena
kulit bakal menjadi legam dan bersisik, mata merah juga celana dan baju bakal
basah atau kotor karena tanah dan lumpur. Tapi semua itu sungguh mengasikkan.
Apalagi di sekitaran sungai ada pohon dengan buah yang bisa dimakan saat perut kami
mulai lapar karena keasikan dan lama berendam.
Bukit di utara rumah juga
membangkitkan kenangan masa laluku. Dulu Zi, waktu aku masih duduk di bangku
Sekolah Dasar, bukit itu hampir selalu kusebrangi tiap hari untuk berangkat
sekolah dan mengaji. Bila aku ingat semua itu, masa-masa itu, betapa waktu
telah bergerak maju dan meninggalkan gambaran indah dalam balutan kenangan.
Betapa warna-warni masa itu begitu indah dan begitu mesra dan berbaur dengan
kepolosan rasa optimisme dalam meraih asa masa depan. Berbeda dengan saat ini.
Tapi Zi, teruntuk perantauan
seperti kita ini, apa arti sebuah desa?
Mudah bagi setiap orang
berbicara tentang desa secara personal, baik itu dalam kenangan dan
keasriannya. Seperti mudah bagi orang perantauan seperti kita berbicara
mengenai kemacetan dan mengutuki kesemrautan kota. Tapi amat susah bila kita
keluar dalam lingkup itu, seperti Pamuk yang berbicara mengenai melankoli
kolektif tentang Istanbul. Jujur, bila tidak melepas dari lingkup itu, aku
belum punya makna tertentu tentang desa.
Aku setuju dengan Laila S.
Chudori dalam novelnya –Pulang: bahwa rumah adalah tempat dimana kita ingin
merasa pulang, bukan tempat dimana kita bisa menetap. Dan tentu saja rumahku ada di desa ini, tempat dimana keluarga dan segala kenangan masa kecilku tumbuh.
Sebab di rumah inilah aku ingin merasa pulang, bukan di tempat perantauan.
Aku pernah membuat kedua
orangtua sedih saat aku mengambil keputusan akan menetap di kota, bukan di
desa ini. Itu sekitar dua tahun lalu. Saat aku sudah merasa tidak lagi cocok dengan
budaya di desaku. Budaya yang keras (kamu tentu tahu maksudku ini kan karena
kamu pernah tinggal di Bangkalan kalau tidak salah ingat), merebaknya peredaran
angka narkoba dan dampaknya terhadap tatanan sosial, anak muda yang sudah kehilangan
tata krama dan tidak bisa memilih budaya kontemperar dari kota, dan beberapa
hal yang tidak bisa kusebut. Jogja telah banyak mengubah cara pandangku.
Seperti Zainuddin saja Zi, di Jogja aku dianggap orang Madura dan di Madura aku dianggap orang Jogja. Aku seperti mengalami pemburuan identitas. Secara esensial aku sudah bukan lagi orang Madura, kata orang rumah, dengan segala watak dan pandanganku yang sudah mulai kejawaan. Walaupun di Jawa, Jogja, aku dingggap orang Madura. Aku memutuskan menetap di rumah, di desa ini hanya karena orangtuaku, terutama karena permintaan Ibu. Aku tak bisa atau belum bisa menentang keinginannya karena aku tidak mau beliau sedih.
Aku pernah membayangkan, tapi
mudah-mudahan masih sangat lama dan kedua orang tuaku masih diberikan umur
panjang, saat kedua orangtuaku sudah tiada, apakah aku akan masih tinggal di
desaku. Untuk saat ini, meskipun aku adalah anak laki-laki tunggal, jujur
keinginanku meninggalkan desaku masih cukup tinggi. Dari sini, kamu bisa
menarik kesimpulkan Zi, bahwa makna desa bagiku hanya sebatas kenangan masa
kecil dan keberadaan orangtuaku.
Tapi bagaimana denganmu, sesama perantauan, memaknai sebuah desa?
Salam Hangat,
dari tanah asin dan tak kenal semi, Madura
Comments
Post a Comment