Bukan Huruf, Tapi Buta Data
“Dulu kita
mengatakan jika buta huruf adalah ukuran kemunduran. Tapi hari ini, atau berapa
tahun kelak, ukuran kemunduran adalah mereka yang tidak mampu membaca data,”
ungkap M. Nailul Amani, lulusan Teknik Industri UII 2016, saat mengantarkannya
ke Stasiun Tugu Yogyakarta, pulang ke Jakarta.
Saya
tergugah.
Pikiran saya
kemudian terlempar pada rentang waktu Januari-Februari lalu. Mengenai anjloknya
harga buah naga di kabupaten Jawa Timur yang diakibatkan panen raya. Petani tak
bisa menjual buah naga karena harga di pasar terlalu murah. Sialnya, otoritas
pemerintah dalam menyikapi kasus tersebut malah menghimbau agar petani buah
naga untuk menahan diri menanam buah naga secara bersamaan dan dianjurkan
berpindah bisnis ke bidang lain.
Andai
pemerintah mempunyai big data dan mampu menginterpretasikannya dalam
transformasi bisnis, kenyataan mungkin akan bicara lain. Paling tidak,
peng-interpretasian big data akan mampu menekan harga dengan memanfaatkan
(data) di daerah mana yang siap jadi pemasok dan berpeluang jadi pasar baru.
BERAWAL DARI REVOLUSI DIGITAL
Big data
adalah buah dari revolusi digital yang saat ini sedang melanda dunia. Kita
biasa menyebut Revolusi Industri 4.0. Setidaknya ada tiga faktor pendorong
mengenai buah revolusi digital ini. Pertama, perkembangan ponsel cerdas sebagai
alat utama akses internet. Kedua, adalah Internet of Things (IoT). Terakhir,
adalah kemampuan komputer melakukan analisis yang kompleks (advance analytics).
Pada tahun
2016, disampaikan oleh Khairul Imam Ghozali (2017)[1], lalu lintas internet
global setidaknya telah mencapai 1,2 zetabyte atau 1,2 triliun gigabytes yang
dipicu peningkatan tren penggunaan media sosial melalui perangkat gawai. Pada
tahun 2013 saja, setidaknya terdapat 1,85 miliar pengguna aktif media sosial
dan kemudian meningkat menjadi 2,8 miliar pada tahun 2016.
Aktivitas
kita di layar gawai dan layanan digital yang terkoneksi internet yang makin
meluas tersebut telah mendorong terciptanya data baru secara masif. Manusia
modern hari ini yang hidup dalam bayang-bayang internet sebenarnya adalah
‘responden’ bagi perusahaan teknologi untuk menjaring data.
Sebagai
contoh, seperti kata Ahmad Zaenudin (2017)[2], situsweb apa yang kita kunjungi,
apa yang kita klik, berapa lama kita berkunjung di sebuah situsweb, kemana kita
mengetik tujuan melalui Google Maps, apa yang kita beli via situs jual-beli
online, apa yang kita posting di Facebook atau Twitter, di mana saja kita
tag-lokasi, dan berapa banyak foto selfie yang diupload ke Instagram adalah
informasi yang berguna bagi big data.
Kita dapat
mengambil contoh secara rigid pada kerja dasar Facebook dalam mengolah big
data. Dilansir Independent[3], pertama, adalah mengumpulkan data pribadi
pengguna untuk membuat profil –baik secara individu maupun kelompok. Kedua,
mendesain sistem agar data tersebut bisa digunakan untuk menyebarkan iklan
kepada para penggunanya. Ketiga, membuka tawaran transaksi kepada pihak ketiga
untuk menggunakan data tersebut baik untuk kepentingan iklan maupun lainnya.
Awalnya
kemampuan Facebook ini dianggap sebelah mata, tapi semuanya berubah beberapa
tahun kemudian. Pada tahun 2010 pihak Facebook mengadakan eksperimen lain dan
berhasil mempengaruhi orang-orang di Amerika Serikat untuk berpartisipasi dalam
pemilihan anggota Kongres. (Ahmad Zaenudin. 2017).
Bahkan
Facebook pernah mendapat terpaan karena tidak mampu menjaga data penggunanya.
Cambridge Analytica, perusahaan konsultan politik, membobol data pengguna
Facebook. Tentu secara ilegal. Disinyalir kuat kejadian tersebut terjadi pada
tahun 2014 dan berhasil mengambil data pribadi pengguna Facebook sebanyak 50
juta. Data itu kemudian diolah dan berlanjut pada pemilihan presiden Amerika
Serikat tahun 2016 untuk tim pemenangan Trump.
Kita tentu tahu bukan siapa pemenangnya? Itulah kekuatan big data.
KEGAGALAN MEMBACA BIG DATA
Manfaat big
data telah mengantarkan perusahaan men-disrupsikan diri. Ia menjelma dan
membantu perusahaan melakukan strategi bisnis baru dan memperbaiki diri.
Sebagai contoh adalah Walmart, perusahaan retail Amerika Serikat, yang mampu
menghasilkan data sebesar 2,5 petabyte setiap jam dari para pelanggannya.
Melalui big data itu Walmart bisa menganalisis tingkah laku belanja
pelanggannya dengan lebih baik.
Hilbert and Lopez (2011)[4] menerangkan, setidaknya ada 5 manfaat Big Data yang dapat mendukung proses pengambilan keputusan bagi pimpinan perusahaan. Pertama, mengetahui respons masyarakat terhadap produk yang dikeluarkan melalui analisis sentimen di media sosial. Kedua, membantu perusahaan mengambil keputusan secara lebih tepat dan akurat. Ketiga, membantu meningkatkan citra perusahaan di mata pelanggan. Keempat, adalah perencanaan usaha, dengan mengetahui perilaku pelanggan seperti pada perusahaan telekomunikasi dan per-bankan. Kelima, mengetahui trend pasar dan keinginan konsumen.
Kita bisa
mengambil kasus hengkangnya perusahaan minuman karbonasi asal Amerika Serikat
dari pasar Indonesia akibat acuh terhadap big data. Perusahaan minuman ini
gagal membaca tren pasar dan keinginan konsumen. Padahal data menunjunkan bahwa
setiap tahunnya minuman jenis karbonasi selalu mengalami penurunan persentase.
Di pasar modern masih sedikit bagus, tapi anjlok di pasar tradisional.
Pesaingnya, Boba alias minuman tepung tapioka dengan gula merah dan susu, saat
ini menjadi tren di kota besar Indonesia. Sementara itu, kedai-kedai kopi mulai
mewabah bak jamur di musim hujan.
Hari ini
kita memasuki era disrupsi. Pesaing-pesaing baru muncul dan ber-tarung tanpa
mengikuti pola pasar seperti biasanya. Bahkan mereka tidak terlihat dan
tahu-tahu sudah menjadi pesaing berat. Mereka mengikis waktu dan membungkam
jarak. Mengetuk dan masuk ke rumah para konsumen secara online melalui
smartphone. Itulah kenapa big data jadi urgen. Karena, paling tidak dengan
teknologi pemantauan digital, mulai dari data demografi audiens, kebiasaan, dan
preferensi, big data dapat membantu perusahaan mendeteksi perilaku konsumen.
Melihat
urgenitas big data yang tidak bisa kita pungkiri, maka tidak salah jika sebuah
adagium baru akan muncul: bukan (lagi) huruf, tapi ketidakmampuan kita membaca
data adalah awal dari kemunduran.
[1] Big Data Pemicu Revolusi Digital.
[2] Memahami
Banyak Hal dengan Big Data.
[3] The
Cambridge Analytica scandal isn’t a scandal: this is how Facebook works.
[4] The
World’s Technological Capacity to Store, Communicate, and Compute Information,
Science.
Comments
Post a Comment