Catatan SilaturaHMI: Khittah Perjuangan dan Wikho Syadjuri
Mungkin kaca spion kita terlalu
besar saat melihat HMI, sehingga yang tampak darinya adalah bayangan masa lalu
(sejarah). Atau mungkin, HMI saat ini mengalami kemandekan perkaderan dan
perjuangan sehingga bayangan masa lalu di mana HMI saat berada dipuncak
kejayaannya yang mampu menelorkan tokoh-tokoh, serta peranannya dalam membangun
kemerdekaan, mengangkat senjata mengusir penjajah, dan menjadi korban politik
pada rezim Orde Baru itu membuat kita sudah merasa begitu ‘wah’ tanpa ada
greget semangat juang lagi mengarahkan HMI ke depan. Khittah Perjuangan pun,
dokumen suci yang menggambarkan semangat ideologi HMI, berakhir lebih menjadi
suci. Ia hanya dipegang dan dibaca kader saat mereka mengikuti LK II maupun SC.
Setelah itu, suci kembali.
Perasaan ironis sebenarnya
menyelip saat melihat kenyataan ini. Khittah Perjuangan yang harusnya menjadi
diskursus intens di kalangan kader, tidak sedikit pun muncul. Akhirnya Khittah
Perjuangan seperti air yang menguap di menara langit dan diterpa terik panas
matahari sehingga pandangan kita melihat ‘apa
itu HMI?’ berubah menjadi sebatas fatamorgana: ‘siapa itu HMI?’. Padahal di
Khittah Perjuangan lah semangat perkaderan dan perjuangan HMI dibangun. Ia
adalah konsepsi HMI atas tafsir asas Islamnya, sehingga tujuan mulia
‘terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan Ulil Albab yang turut bertanggung
jawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi Allah SWT’ tidak berakhir
menjadi narasi utopis.
Di tengah perasaan ironis tidak
menentu inilah, selain karena periode kali ini diberikan amanah menangani
urusan tetek-bengek soal perkaderan HMI, saya memutuskan untuk silaturahmi
kepada salah satu empunya pengader legendaris Cabang Yogyakatra dari tanah
Prabu Kiansantang.
Obrolan dimulai dengan
basa-basi mengenai ‘kabar dan kesibukan’. Makin lama, berhubung secangkir kopi
telah dihidangkan sudah diperbolehkan diseruput, serta tempias korek yang
membakar rokok Apache membuat asapnya mulai berterbangan dan menyebar dengan
cepat memenuhi langit-langit kamar, seperti mengalir begitu saja, mengubah
frekuensi obrolan malam itu semakin
serius dan masuk kepersoalan yang dijadikan duduk perkara.
Beliau mengatakan bukan kali
ini saja Khittah Perjuangan menjadi sebatas dokumen suci yang tidak mau
disentuh dan didiskususkan dengan intens oleh kader-kader. Dulu, ia katakan,
juga begitu. Harusnya, lanjut beliau, nilai-nilai yang termaktub di Khittah
Perjuangan meresap ke dalam diri setiap kader, sebab dari muatan Khittah
Perjuangan inilah, dengan formulasi skema model perkaderannya,
mahasiswa-mahasiswa Islam yang masuk/ikut HMI dikader menjadi Insan Ulil Albab.
“Atau
apa ada yang salah dengan pola perkaderan kita?” tanya
beliau dengan mimik wajah yang khas dan tetap tenang seperti saat pertama
bertemu dan kenal.
Perkaderan merupakan persoalan
holistik. Kita tidak bisa menjustifikasi persoalan kurang membuminya Khittah
Perjuangan menjadi diskursus penting dan serius di kalangan kader pada satu
arah saja. Banyak faktor yang meliputinya. Baik itu secara peranan pengurus di
tingkat Komisariat, Cabang maupun Korps Pengader. Seperti:
1.) Kurangnya pemahaman
pengurus Komisariat, akibat tingkat pengalaman dan pendidikannya di HMI,
meletakkan muatan Khittah Perjuangan sebagai kurikulum yang patut
didiskursuskan sebagai program kerja satu periode. 2.) Ketidak-mampuan pengurus
Cabang merencanakan suatu pola perkaderan yang dapat membumikan konsepsi
Khittah Perjuangan sebagai materi diskursus wajib di Komisariat dalam mengkader
anggota-anggotanya.
3.) Apologi kesibukan Korps
Pengader yang selalu saja, klisenya, menangani kedirian para pengader dengan
gosip-gosip tidak sedap yang menyelimutinya, sehingga persoalan yang memiliki
urgensi tidak kalah penting ini dengan sendirinya terabaikan dan tidak
tersentuh sama sekali (walaupun bukan subjek garapnya secara konstitusional).
Atau, hanya menjadi sebatas teori (bualan) yang meledak-ledak dalam perbicangan
tanpa menyentuh realisasi.
Setelah itu?
Akhirnya semua akan tiba pada
suatu hari yang biasa, pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui: persoalan
holistik itu bukannya tidak kita ketahui akar masalahnya, tapi tidak mau
menyelesaikan masalahnya. Itulah masalahnya. Masih klise (lagi), bukan?
Obrolan makin intens ke
ranah perkaderan itu terus berlanjut.
Di tengah obrolan yang semakin
serius beliau melemparkan ‘kalimat tanya’ yang sangat membekas sekaligus
menjadi kritik bersama bagi siapa saja yang mendaku sebagai pemangku
perkaderan. Sebab, selain kita selalu membanggakan sejarah HMI yang begitu
heroik itu, kita dengan pongahnya berbangga-ria dengan mengatakan bahwa si Itu,
yang duduk di parleman itu, atau si AB yang saat ini menjabat di pemerintahan
sana adalah kader HMI, lho: Lulusan perkaderan HMI. Tapi tidak seditipun, kata
beliau, kita membuat pertanyaan: ‘Apakah
mereka yang kita bangga ke kader-kader baru itu benar-benar adalah prototipe
kader dari hasil desain perkaderan HMI?’
Bisakah kita menjawab ‘tanya
itu’ dengan jujur? Bukankah tidak sedikit dari mereka hanya anggota HMI yang
singgah dan kemudian datang dan pergi tanpa melanjutkan pendidikan selanjutnya
di HMI? Tapi kita dengan bangganya memasang foto mereka dengan begitu gagah
diiringi petuah bijaknya tentang HMI, dan kita mengatakan ‘lihatlah mereka itu, sukses dan jadi tokoh penting karena ikut HMI’
dihadapan calon atau kader baru: tanpa pernah mengusik benak bahwa pajangan
foto itu tidak lebih sebagai alat promosi saja.
Saat beliau melemparkan ‘tanya
itu’ tiba-tiba ingatan saya terlempar pada tahun 2013 silam saat mengikuti LK
I. Waktu itu salah satu dari pemandu bertanya alasan ‘mengapa masuk HMI’. Saya
jawab ingin menjadi seperti Mahfud MD. Sebab hanya karena beliau, saya bisa
berapologi bahwa orang Madura tidak hanya dikenal sebagai penjual sate.
Terlebih, dia kader HMI. Fotonya (sudah) bertengger gagah di poster penjaringan
LK 1 waktu itu, dengan bumbuan kalimat begitu sedap bahwa di HMI lah dia bisa
menjadi seperti sekarang: memiliki spirit, tradisi membaca, berdebat dan
keterampilan berorganiasi.
Malam bertambah gelap dan makin
menyergap. Kulihat arah jarum jam di dinding kamar beliau menunjukkan angka
hampir jam 12. Silaturahmi berakhir. “Jagalah
perkaderan Cabang Yogyakarta,” pesan beliau sebelum saya pamit pulang.
Sepeda motor tua yang membawaku
ke Karangkajen, dengan pelan tapi pasti, menyelinap dan membelah kota Yogyakarta
yang mulai sepi dan asing, tapi obrolan itu masih membekas dan tak mau pergi.
Pikiran tentang Khittah Perjuangan yang harusnya dibumikan dan jadi bahan
diskursus wajib di kalangan kader mulai berdesakan dan muncul bersamaan dengan
pandangan saya yang murung menatap lampu-lampu di kota Yogyakarta yang tidak
lagi menawarkan warna-warni baru dalam menerjemahkan harapan HMI.
Dilalah, waktu tiba di
Karangkajen, sebuah percikapan harapan muncul saat sayup-sayup saya dengar seorang
pengader di ruang tengah berbicara mengenai muatan Khittah Perjuangan di
hadapan kader yang baru mengikuti LK I.
Si Kader membantah dan
mengkrtitsi apa yang disampaikan Si Pengader, seolah Si Kader belum menemukan
narasi yang utuh mengenai nilai ideologis di Khittah Perjuangan. Si Pengader
kembali menerangkan dengan sabar dan penuh telaten mengenai konsepsi tauhid
yang tidak hanya menjadi keyakinan kita terha-dap keesaan Allah SWT, melainkan
juga harus meletup ke ranah sosial masyarakat yang dikenal sebagai konsep ummah.
Sangat egaliter perbincangan mereka saat itu, ditambah dengan secangkir kopi
yang mereka seruput secara bergantian.
Pengader itu adalah Wikho
Syadjuri. Kader Marakom. Petuah bijaknya, jika kalian ingin memasangnya di
poster-poster LK I: di HMI, selain dihadapan Tuhan, dihadapan kopi kita semua
sama. Tapi jika dia atau kalian tidak mau dan bisa menas-bihkan baliau sebagai
kader cita hasil dari desain perkaderan HMI, paling tidak beliau adalah standar
minumumnya (menjadi pengader) dari pada mereka yang kita banggakan (lulusan LK
I).
Do you understand there is a 12 word sentence you can communicate to your crush... that will trigger intense feelings of love and instinctual appeal for you deep inside his heart?
ReplyDeleteBecause hidden in these 12 words is a "secret signal" that fuels a man's instinct to love, worship and care for you with all his heart...
=====> 12 Words Who Trigger A Man's Love Impulse
This instinct is so hardwired into a man's mind that it will make him work better than before to love and admire you.
Matter of fact, triggering this all-powerful instinct is absolutely mandatory to achieving the best possible relationship with your man that once you send your man one of the "Secret Signals"...
...You will immediately notice him open his heart and soul to you in such a way he haven't expressed before and he will see you as the one and only woman in the universe who has ever truly attracted him.