Satu Paragraf: Layla Majnun
Sebenarnya
keinginan membaca karya klasik ini cukup lama. Tapi, tak perlu dikira-kira
dengan menghitung jari untuk menerangkan kelamaan tersebut dalam angka tahun,
selain karena mendapatkan buku ini memang cukup susah. Bahkan pergi ke toko
buku bekaspun tak kunjung dapat. Adalah karena kemajuan zaman, bermodal paket
data dan browsing sana-sini, akhirnya keinginan tersebut dapat tertunaikan,
dengan ebook. Cukup basa-basinya. Ayok kita mulai! Alkisah, kita dihadapkan
pada sebuah penderitaan yang sanggup ditimbulkan oleh cinta yang penuh
halangan. Bukan saja pada orang yang mencinta, tapi juga pada orang yang
dicinta. Lebih dari itu, penderitaan tersebut menjamur ke orang-orang yang ada
di sekitar pencinta dan orang-orang lain yang peduli dan kagum pada sang
pencinta dan cinta itu sendiri. Juga kepada mereka yang sama sekali tidak
berhubungan dengan pencinta itu secara langsung. Edan, bukan? Dalam pada itu,
kisah Laila Majnun merupakan sebuh metafora dari Majnun terhadap Tuhan.
Artinya, kisah cinta Majnun terhadap Laila semata-mata adalah kecintaannya
terhadap Tuhan. Majnun benar-benar menghilangkan egonya hingga pada tingkatan
peniadaan diri, sehingga ia tidak memandang dirinya dan kekasihnya sebagai
suatu yang terpisah melainkan sebagai satu kesatuan yang utuh. Dengan kata
lain, kisah ini adalah sebuah alegori dari perjalanan sufi untuk sampai kepada
Tuhan. Sekali lagi, benaran edan bukan? Dalam selangan waktu membaca novel
klasik ini, ingatan saya terlempar pada suatu malam, dalam satu badai rasa
cekcok tak mau kalah, di mana perdebatan berlangsung pelik: saat bedah novel
'Ayah' karya Andrea Hirata. Satu kubu mengatakan, perihal cinta Sabari kepada
Marlena, dalam novel tersebut, adalah tindakan gila. Kubu lain mengatakan, itu
lambang keagungan cinta. Sebagai moderator, aku diam. Bukan tak mau berpendapat
atau tak mau ikut cekcok. Sebab, yang kutahu, bukan karena kegilaan lah yang membuat
Sabari bertindak gila, melainkan dunia yang dihadapinya lah yang gila. Seperti
Majnun kepada Laila. Aku berpendapat demikian, meski dalam diam, karena ada
satu masa di mana pengalamanku pernah bersinggungan dengan orang seperti itu.
Sangat dekat. Tapi entah, apa karena dunia yang dihadapinya yang gila, atau
karena dia sendiri yang gila menghadapi kenyataan? Tapi yang jelas, cinta bisa
membuat orang jadi gila. Sekian.
Comments
Post a Comment