Korespondensi: Untuk Sahabat Bualku, RIke Fisabilillah
Boii!!
Seberapa sibuk kau bergulat dengan waktu?
Padahal sudah kunanti-nanti kau memulai korespondensi seperti permintaanmu tapi
tidak kunjung juga hadir. Apa kau tidak bisa sedikit saja menyisihkan jeda waktu
dan berfikir bahwa di dalamnya ada ruang kosong untuk paling tidak bernostalgia
dengan kawan lama sepertiku? Kesibukan apa yang menggerogotimu di sana, boi, di
tempatmu? Seolah keenggananmu memulai menandakan, selain budaya senioritas atau
kanda-dinda, waktumu akan terbuang sia-sia, dan berkata:
“Maaf Boi, aku harus
fokus menata hidupku karena waktu tak bisa lagi kukompromikan secara negatif
sebagaimana dahulu. Itu hanya akan menambah penyesalan masa lalu yang terus
saja hadir dan menerorku seperti mimpi buruk dan membangunkanku tengah malam
sekaligus membuatku berkeringat dingin. Hari ini aku harus mensiasati dan
berkawan dengan waktu. Tak ada lagi main-main. Tak ada lagi bual-membual.”
Oke, fix.
Jika itu yang kau pikirkan,
tidak apa. Tapi jangan salahkan aku bila berfikir makin dewasa seorang maka
sisi kemanusian mereka –seperti meluangkan waktu untuk bercanda, berceloteh tidak
penting, dll– entah mengapa makin lama makin memudar dan hilang, walaupun
kemanusiaan hanyalah batas yang kita buat sendiri. Atau karena orang dewasa
memikul tanggung jawab sehingga bagi mereka waktu adalah kesempatan yang
singkat, brutal dan mahal?, dilonggorkan atau didiamkan sebentar saja maka
harapan atau rencana bakal kacau, dan yang tersisa adalah penyesalan. Betapa
sedih aku melihat orang dewasa berfikir demikian.
Tidak apa juga, sih. Bila
dibanding dengan orang sepertiku, pesakitan. Sudah tua tapi berlagak muda dan
tak berani memikul tanggung jawab, dimana waktu bagiku sebenarnya merupakan
jerat yang saban hari kutipu dengan harapan dan bualan, sedang kenyataan hadir
melumpuhkan. Itu lebih menyedihkan dan menyakitkan. Mungkin karena aku yang
selalu ragu-ragu dalam melangkah. Atau karena aku yang selalu saja melihat ke
dalam persoalan internal dan tetek bengek kehidupan secara umum dengan
pandangan pesimis dan skeptis seperti biasanya tanpa mempedulikan kenyataan
secara khusus sehingga aku tertinggal jauh di belakang dihantui kegagalan.
Sebenarnya aku iri pada kalian.
Orang yang bergelut dengan waktu. Ironis lagi. Beberapa hari lalu seorang kader
yang kubimbing di Komisariat memposting keluhannya di WhatsAap betapa ia tidak punya waktu untuk sedikit saja tidur
tenang karena kerjaan kantor menguras waktunya. Membaca keluhan tersebut dalam
dadaku seperti terasa ada sebuah sembilu mengiris deras dari atas. Pedih dan
menyakitkan. Betapa waktu telah kusia-siakan, kadang aku berfikir begitu.
Padahal di dunia yang tak bisa dibeli adalah waktu. Waktu hanya bisa kita
siasati.
Semestinya aku memeras
pengalaman dan belajar dari kegagalan. Juga sedikit membuka tirai impian
melalui jendela kenyataan dan mencoba melangkah maju. Aku ingin demikian. Aku
tidak ingin membunuh waktu produktifku hanya dengan kuliah dan mengisi waktu
luangku hanya dengan tidur siang dan baca novel saja. Aku ingin seperti kalian.
Ingin juga merasakan tidak punya waktu tidur tenang. Pagi berangkat kerja. Sore
pulang dan bermandikan debu aspal jalanan. Malam tidur lelap karena kelelahan.
Bangun lagi pagi hari, mandi dan berangkat kerja lagi. (Atau sesekali, pada malam lain, jika sudah
beristri, diisi dengan bercinta sebelum tidur hahahaha).
Aku tahu aktivitas itu bakal
mengengkangku, dengan prinsip jiwa sok bebasku. Aku juga sangat mafhum betul
aktifitas harian itu bakal mengingkari idealisme yang kupegang, dengan
membiarku masuk dalam sistem budaya kapitalistik. Tapi bukankah dunia ini
memang demikian? Kapitalistik, hirarkis dan oligarkis? Bahkan manusia di
belahan dunia manapun sudah membangun budaya seperti itu. Tidak ada dunia tanpa
kelas. Itu hanya dongeng indah dalam buku Das Kapital. Juga tak ada idealisme
yang tak runtuh.
Aku kira, pendapatku hari ini
Kawan, mungkin karena sudah skeptis, manusia tidak dilahirkan sederajat. Di
sekolah, dulu kita memang diajari bahwa manusia itu sama, tapi makin kita menua
kita menyadari bahwa itu sekedar teori, sekedar isapan jempol belaka. Contoh, negara
yang disebut Indonesia ini memang menganut paham demokrasi tetapi sekaligus
adalah masyarakat hirarkis yang memberlakukan hukum rimba. Jika tak jadi elit
hampir tidak ada artinya. Siapapun bakal digilas hingga lumat.
Maka tidak mengherankan kita,
meski massa berganti, era telah berubah, dari jumlah rakyat lebih 267 juta jiwa
ini yang jadi pejabat, tokoh publik dan ikut Pilkada 2020 hanya dari gerombolan
itu itu saja. Kalau bukan anaknya, istrinya, saudaranya, besannya, dst.. Dan
mereka mengataskan nama demokrasi. Bukankah itu bullshitt?!!
Kau tentu mengikuti
perkembangan informasi belakangan hari ini. Mulai dari perkataan Puan Maharani
yang buat gaduh. Aku tahu kegaduhan ini karena berada di massa Pilkada. Tapi
tetap elokkah Puan berkata demikian? Bagiku persoalan ideologi Pancasila masih
belum final. Ia masih terus berproses dan ‘menjadi’: dimana setiap prinsip
dalam tiap-tiap sila itu masih berinternalisasi dalam karakter individu rakyat
Indonesia. Karena jika sudah final mengapa masih saja ada intoleransi dan
pengakuan ‘aku pancasilais dan lain bukan’?
Terbaru soal Anies Baswedan.
Kebijakan PSBB total untuk menghentikan laju penyebaran virus Korona di DKI
Jakarta. Sebelumnya, Jokowi buat pernyataan bahwa perihal kesehatan lebih utama
daripada ekonomi. Tapi apa lacur?!! Anies sepertinya salah langkah. Ia seperti
tidak memahami watak dan kepribadian (mencla-mencle) Jokowi meskipun dulu ia
pernah menjadi Jubir Kampanye Pilpres 2014 dan Menteri. Semua gaduh. Keputusan
Anies yang membatasi mobilitas masyarakat yang bergeliat menahan laju ekonomi
ini tidak direstui Pemerintah Pusat. Bahkan Anies diserang 4 Menteri sekaligus.
Kesalku, kenapa Pemerintah
Daerah dan Pemerintah Pusat tidak punya garis koordinasi dan konsultasi yang
baik dalam mengambil keputusan dan penanganan virus Korona? Selain membahayakan
rakyat Indonesia, juga bikin malu saja. Perihal konsultasi dan koordinasi
adalah hal dasar dalam organisasi. Kalau saja pertanggung jawaban mereka sama
seperti RAK di Komisariat, sudah kubantai dan kutolak LPJnya.
Aku tidak ingin bahas lagi soal
Indonesia. Aku sudah muak. Aku sudah mulai kehilangan kepercayaan. Sebagai
rakyat pun aku sudah kehilangan harapan tujuan Indonesia di tangan mereka.
Selalu sibuk beretorika dan mengambil langkah politis. Aku bukan hanya sudah
skeptis. Aku sudah pesimistik. Tapi jika ada yang menuduhku konyol karena
pesimis dengan tegas aku katakan: “Bodoh semua rakyat Indonesia ini yang tidak
pesimistik dengan langkah Jokowi!!
Akh... cukupkan pembahasan
Indonesia. Aku sampai lupa bertanya: bagaimana keadaanmu Kawan? Akankah
sesekali kau merindukan bualku? Apakah istrimu sudah mengandung? Kuharap kalian
sehat dan bahagia di sana.
Ini bukan nasehat. Pernah
kudengar petuah bijak mengatakan “Hal terpenting dalam pernikahan yang baik
bukanlah kebahagian melainkan stabiltas.” Aku meng-amini itu (meski belum
menikah hahaha). Sebab dari stabilitas pernikahan yang baik kebahagiaan itu
hadir. Jadi melalui petuah bijak ini kuralat harapku: “Semoga kalian sehat dan
mampu menjaga stabiltas pernikahan di sana.”
Oya, bila kuingat pertemuan
kita waktu itu, kau dan istrimu di Kedai Kopi, dan kalian ceritakan kepada kami
awal bertemu tanpa drama romantik sekaligus konflik seperti dalam kisah novel
dan film dan pada akhirnya yakin untuk menikah, ternyata kehidupan kadang tak
seribet dan kompleks seperti dalam pikiranku. Aku tidak tahu/ peduli apakah
waktu itu kau melandaskan keyakinan atau kenekatan dalam dirimu saat datang ke
rumah istrimu bertemu ayahnya untuk mengatakan ingin melamar.
Seriusan, tanpa indikasi
bualan, aku harus akui tindakan/sikapmu waktu itu keren dan laki betul. Apalagi
itu menyangkut keputasan dalam fase hidup. Terlepas apakah tindakanmu itu
disebabkan faktor pengalaman/psikologis yang menyakitkan. Hahaha
Salam Hangat dari Kawan Bualmu,
dari tanah asin dan tak kenal
semi, Madura
Comments
Post a Comment