Posts

Showing posts from November, 2021

Satu Paragraf: Adolf Eichmann

Satu waktu aku pernah memilih sebuah buku tentang pengadilan Adolf Eichmann. Aku memiliki gambaran yang agak samar tentang dia sebagai penjahat perang Nazi, tapi tidak ada minat khusus terhadap orang ini. Kebetulan saja buku ini terlihat olehku saat ke perpustakaan. Aku mulai membaca dan belajar bagaimana letnan kolonel yang sangat praktis di SS ini, dengan kacamatanya yang berbingkai logam serta rambut yang menipis, tidak lama setelah perang dimulai, ditugaskan oleh markas besar Nazi merancang sebuah ”penyelesaian akhir” bagi bangsa Yahudi —yaitu pemusnahan— dan bagaimana dia meneliti cara-cara yang paling baik dalam melaksanakan pemusnahan itu. Kelihatannya hampir tidak pernah terlintas dalam benaknya mempertanyakan moralitas atas tindakannya. Yang dia pikirkan hanyalah bagaimana cara terbaik membinasakan bangsa Yahudi dalam waktu yang sangat singkat serta biaya serendah mungkin mengenai sebelas juta orang Yahudi yang menurut dia harus dimusnahkan di Eropa. Eichmann mempelajari berap...

Satu Paragraf: The God Delution

The God Delution. Adalah sebuah keberanian menerbitkan buku penuh kontroversi ini dalam bahasa Indonesia. Meski buku ini bukan buku baru, terbit 2006, tp polemik yang ditimbulkan masih bergaung hingga saat ini. Buku ini bahkan dianggap sebagai kitab sucinya orang atheis. Dalam pengantarnya saja, Dawkins secara gamblang mengatakan dg penuh harap yang telah membaca bukunya ini dapat mengantarkan pembacanya pada satu pemahaman yang sama: menjadi ateis. Tentu saja kalimat penuh agitasi ini menyebabkan para pemuka agama di Amerika maupun Eropa yang mayoritas beragama Kristen marah dan membuat buku tersebut mendapat cercaan di mana-mana. Sisi lain, sebenarnya, keinginan membaca buku ini sudah terbesit berapa tahun silam, 2014, saat begitu asik mencerna The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World karya Paul Davies. Tapi, entah kenapa tenggelam begitu saja oleh kesibukan tak begitu produktif. Kemudian, beberapa waktu lalu, dalam satu perbincangan pada satu malam yang tidak begit...

Satu Paragraf: Nyai Ontosoroh

Saya selalu tertarik dengan perempuan yang memiliki kesadaran bahwa ia, sebagaimana manusia seperti halnya laki-laki, juga memiliki dimensi privat yang tak boleh diredupkan, dipatahkan dan dihilangkan oleh kejumudan kolektifitas budaya kita. Seperti Nyai Ontosoroh. Ya, meskipun karakter ini fiktif dalam karya Tetrologi Buru Pramoedya Ananta Toer, ia selalu menjadi prototipe saya dalam melihat bagaimana seorang perempuan harus berfikir dan bertindak. Salah satu perkataan Nyai Ontosoroh yang sangat terekam dalam kesadaran saya adalah “Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki. Tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai” . Kesadaran yang sangat bertenaga dilontarkan Nyai Onyotosoh ini membuat saya dulu, saat pertama kali membaca Tetrologi Buru, karna saya hidup dalam kebudayaan di mana laki-laki punya otoritas dan power tak bisa dibantah, membuat saya tidak bisa membayangkan bagaimana tekstur hidup seorang perempuan yang tak mau berkalang lelaki...