Satu Paragraf: Nyai Ontosoroh
Saya selalu tertarik dengan perempuan yang memiliki kesadaran bahwa ia, sebagaimana manusia seperti halnya laki-laki, juga memiliki dimensi privat yang tak boleh diredupkan, dipatahkan dan dihilangkan oleh kejumudan kolektifitas budaya kita. Seperti Nyai Ontosoroh. Ya, meskipun karakter ini fiktif dalam karya Tetrologi Buru Pramoedya Ananta Toer, ia selalu menjadi prototipe saya dalam melihat bagaimana seorang perempuan harus berfikir dan bertindak. Salah satu perkataan Nyai Ontosoroh yang sangat terekam dalam kesadaran saya adalah “Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki. Tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai” . Kesadaran yang sangat bertenaga dilontarkan Nyai Onyotosoh ini membuat saya dulu, saat pertama kali membaca Tetrologi Buru, karna saya hidup dalam kebudayaan di mana laki-laki punya otoritas dan power tak bisa dibantah, membuat saya tidak bisa membayangkan bagaimana tekstur hidup seorang perempuan yang tak mau berkalang lelaki. Anggapku, perempuan seperti Nyai Ontosoroh ini adalah tanda kemurtadan iman seorang istri kepada suami. Eh, itu dulu. Dalam pada itu, kesadaran feministik yang telah menjiwai sosok Nyai Ontosoroh ini seperti hendak meneriakkan kembali suara Kartini yang telah parau digerus waktu; bahwa perempuan haruslah sejajar dengan lelaki; bahwa perempuan bukan sekadar kanca wingking (istri tidak memiliki peran penting setara dg suami dlm rumah tangga); bahwa perempuan bukan hanya hidup untuk urusan dapur, sumur, dan kasur, plus nganggur. Kemudian kesadaran feministik tsb. dinetralisir dengan premis kedua “Tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai”. Poin ini menyemaikan arti bahwa meski ia bukanlah perempuan berkalang lelaki, ia masih butuh cinta darinya. Tapi di sinilah, Kawan, pada premis kedua ini, kita butuh perenungan filosofis memaknai cinta bagi seorang perempuan seperti Nyai Ontosoroh. Bahwa cinta yg kemudian, biasanya ya, dilegalkan dalam pernikahan itu bukanlah sebuah jembatan untuk saling mengeksploitasi pasangan. Cinta berada pada dua kutub yang setaraf. Dua kutub yang sama-sama sadar akan nilai pihaknya dan nilai pihak pasangannya. Bukan dua kutub yang saling ingin memiliki. Sebab kepemilikan dalam cinta sejatinya bakal mengantarkan kita pada penguasaan, ekspolitasi, dan mengatarkan hubungan pasangan pada relasi subjek-objek. Akibatnya, dalam hubungan relasi tsb., kita tidak lagi menemukan sisi lain manusia, baik perempuan atau laki-laki, bahwa mereka memiliki dimensi privat yg harus dihormati. Sialnya, alih-alih mengidolakan, ketertarikan saya terhadap karakter Nyai Ontosoroh seringkali kelewatan batas. Ya, saya jatuh hati kepadanya. Kepada perempuan yang memiliki kesadaran tinggi, pintar, berkarakter, tidak gampang leleh pada pria dan tidak menghamba pada kecantikan fisik semata itu. Bahkan delusi romantika ini membuat gerak kecil dari isi kepalaku mulai asik berimajinasi, berkenala dan mencoba mencuri seonggok hati berbentuk cinta walau selalu kalah terhadap paradoksal, serta berusaha sebisa mungkin memproyeksikan diri sebagai Jean Marais (seorang pelukis yg kelak akan menjadi suami Nyai Ontosoroh). Walaupun sisi lain, sampai saat ini, saya masih berpegang teguh dengan kesadaran Sigmund Freud; bahwa cinta, seromantis dan sehalus apapun susunan kata yang diucapkan, tidak punya arti kecuali di atas ranjang!
Comments
Post a Comment