Sajak Bual: Persimpangan Jalan Himpunan
Pada
pengujung waktu di persimpangan jalan Himpunan, kau tak pernah tahu jika
bahasaku telah tertinggal. Tertinggal bersama rasa ingin tahuku tentangmu.
Makin hari, makin subur rasanya bunga-bunga itu. Tumbuh bersama angan dalam
semua kemungkinanku denganmu.
Awalnya biasa
saja. Tak merasakan apapun. Tak ada istimewa. Tak ada spesial juga tentunya. Tapi siapa yang
bisa melawan hati? Hati adalah hati. Bukan akal yang berlogika.
“Hidup
memang sederhana,” begitulah petulah pijak. Tapi bagaimana menyederhanakan hati
manusia –cinta?
Lambat laun
semua berubah, seperti ada yang lain. Tentu kelainan ini bukan karena negara
api telah menyerang. Lain, ini memang lain. Ini seperti sebuah fatamorgana. Saat
kau mendekat, sesuatu itu langsung menghilang.
Diam, adalah
kata yang tepat untuk menggambarkannya. Karena secara diam, bayanganmu menyusup
perlahan, menyelinap ke dinding hati yang dulu pernah sempat terjamah, dan tanpa
beradab merajut serpihan kasih dari benang cinta yang telah lama kusut.
Pertahananku
pun jebol. Pintu hati kembali terbuka. Kau berhasil membangun satu petak ruang
hati. Sial, keluhku. Hati yang belum sembuh total ini, yang masih dalam tahap
proses pemulihan, yang dulu pernah tersakiti, kembali terketuk.
Bersama
angan, kumulai mengaksarakanmu dalam kata. Kata yang sekian lama terlantar
dibalik kursi itu, kuambil. Kususun kata-kata itu menjadi wajahmu. Hanya perlu
goresan kecil kuperbaiki rambutmu yg hitam pekat. Senyummu pun tersimpul mesra ditiap
derit gerak penaku.
Hei....kau
tahu? Kata-kata itu memegang hidungku. Kurasai kalimat lirih berbisik
menelusuri relung hati: “Saatnya kau berhenti melamun mengangankanku.” Seketika
itulah kusadar: Kita memang terpisah dalam dua maginasi yg berbeda.
Kau terlahir
dari serpihan sajak, sedangku menyusurimu dalam jemari yang menari. Menari
dengan segala kemungkinan yang paling mungkin kuangankan. Kemungkinan yang
hanya akan menjadi sebatas kemungkinan, yang takkan pernah mungkin menjadi
kenyataan.
Jadi biarlah
kata-kata itu kembali kuhamburkan. Kembali berserakan tersapu waktu, dan
terlantar lagi dibalik kursi. Karena seperti katamu: “Berani mencintai, harus
berani sakit.”
Comments
Post a Comment