Menyoal Tubuh
Tubuh adalah penjara/makam jiwa (Platon). Tubuh
adalah sebuah mesin (Rene Descartes). Saya hidup dalam tubuh saya. Tubuh adalah
siapa saya. Saya adalah saya, sebatas tubuh saya (Jean-Paul Sartre). Disamping
pikiran dan perasaan, terdapat Sang Penuntun yang lebih agung,... Ia adalah
tubuhmu (Friedrich Nietzsche). Tubuh/yang mulai akrab/dengan saya
ini/sebenarnya mayat yang saya pinjam... (sajak "Tubuh Pinjaman",
Joko Pinurbo).
Menyoal tubuh adalah persoalan yang tak
ada habisnya selama kita masih bertubuh dan bersetubuh. Siapa aku? Siapa tubuh ini? Apa aku
berkuasa atas tubuh ini? Apa aku dan tubuh ini adalah satu? Atau, aku dan tubuh ini adalah dua entitas berbeda
dalam penilaian?
Jauh sebelum seorang wanita tanpa busana
menerobos area Bandara Internasional Supadio membikin geger Indonesia dan viral
media sosial (15/1/2017), Spencer Tunick lebih dahulu membikin geger di New
York meski tanpa viral di media sosial. Kala itu Tunick berhasil mengumpulkan
puluhan model yang Ia cari. Sebelum sesi pemotretan dimulai, Tunick terlebih
dahulu memberikan penjelasan konsep pengambilan gambar kepada si para model.
Tatkala sesi pemotretan tiba, di mana Tunick juga telah mengeluarkan aba-aba
kepada para model tersebut, lantas puluhan model itu-pun dengan sukarela
melepas pakaiannya. Telanjang. Beberapa ada yang menungging, terlentang, dan
tengkurap. Tanpa menunggu jeda, Tunick pun langsung mengabadikan momen itu melalui
kameranya. Klik.. Klik.
Sama seperti wanita tanpa busana yang
menerobos area Bandara Internasional Supadio, Tunick juga digiring penegak hukum
dan didakwa menggangu ketertiban umum. Menyoal perihal ini kita bisa
bertanya: Sebetulnya siapa yang berkuasa atas tubuh kita? Di Indonesia, tubuh
menjadi diskursus penting yang memicu polemik munculnya Rancangan Undang-undang
Anti Pornografi dan Pornoaksi. Dalam RUU ini secara tegas tubuh diposisikan
sebagai sumber dosa dan kejahatan, karena itu tubuh mesti didisiplinkan. Dan yang
akan mendisiplinkan adalah Negara sendiri.
Ternyata tidak hanya Negara yang berkuasa
terhadap tubuh, Agama juga ikut andil dalam persoalan ketubuhan. Islam memosisikan tubuh harus
diperlakukan secara rigid. Bahkan agama ini punya kosa kata khusus pada bagian
tubuh: aurat. Adapun dalam tradisi Budha, perayaan kebahagiaan “kebebasan”
tubuh dikurung karena menghambat pencapaian menuju nirwana. Terlalu mengejar
kenikmatan “kebebasan” tubuh membikin seseorang akan berreinkarnasi ke dalam
wujud yang lebih buruk di kehidupan selanjutnya.
Sebelum mengenai diskursus tubuh dewasa ini
mulai mendapat tempat dalam disiplin keilmuan sosial, UU Negara, dan bahkan
saat ini tubuh menjadi faktor penting bagaimana seseorang bisa tampil dalam
dunia seni, pelacakan tubuh dan kebertubuhan secara mendalam telah dianalis
sejak era Yunani Kuno. Tapi, meskipun sudah dijadikan objek pembahasan pada
masa itu, tubuh belum dianggap penting. Banyak pandangan menyoalkan tubuh pada
waktu itu:
Pertama, digagas oleh Cyrenaic dengan
pandangan bahwa kebahagiaan tubuh adalah kebahagiaan terpenting. Kedua, dari
kaum Epicurean percaya bahwa kebahagiaan tubuh memang penting, tapi masih lebih
penting kebahagiaan mental/jiwa. Kubu ketiga, kaum dari aliran Orpheus dengan
begitu ekstrimnya mengatakan bahwa tubuh adalah kuburan bagi jiwa “the body is the tomb of the soul”.
Kendati kurang dikenal, aliran di atas
sangat mempengaruhi pandangan filsuf terkenal lainnya. Platon memandang tubuh
(tubuh konkrit, red.) sebagai penjara jiwa. Platon mengatakan bahwa manusia
harus berusaha melepaskan diri dari belenggu penjara tubuh agar dapat bebas
menuju kesempurnaan jiwa. Tubuh bagi Platon adalah penghalang menuju keagungan
dan kebahagiaan abadi.
Sementara bagi peradaban Romawi, tubuh
sebagai pembatas jiwa yang mewujud. Para filsuf Romawi, terpengaruhi oleh
Platon, menyebut bahwa jiwa sebagai bagian roh Tuhan dan tubuh sebagai bagian
roh hewan. Tubuh dengan demikian harus ditinggalkan bila hendak mencapai
kesempurnaan hidup surgawi.
Pandangan tubuh ini terus menubuh dalam
tradisi filsafat Barat hingga ke Rene Descartes. Filsuf yang terkenal Lewat
diktum: Saya berpikir maka saya ada (cogito ergo sum) ini, menganalogikan tubuh
sebagai sebuah jam yang bergerak tanpa pikiran. Prinsip-prinsip mekanik
diberlakukan pada tubuh, sementara roh Ketuhanan diberlakukan pada pikiran.
Dengan kata lain, tubuh berada dalam aktivitas kelas dua. Atau tak ubahnya
sebuah mesin.
Tubuh mengalami rekonstruksi kebertubuhan
ketika paham filsafat eksistensialisme menyatakan kalau tubuh adalah diri.
Dengan menyanggah paham dualisme Descartes, Jean-Paul Sartre menyatakan: Saya
menghidup dalam tubuh saya. Tubuh adalah siapa saya. Saya adalah saya, sebatas
tubuh saya. Sedangkan Friedrich Nietzsche, dalam bukunya Thus Spoke Zarathustra
sebelumnya juga telah mengatakan bahwa: Di samping pikiran dan perasaan,
terdapat Sang Penuntun yang lebih agung, yaitu diri. Ia adalah tubuhmu.
Menurut Zen R.S, tubuh mulai menjadi
perhatian ilmu sosial mulai abad 19. Kala itu Antropologi menjadi disiplin ilmu
yang meletakkan tubuh sebagai bagian penting. Baru pada abad ke-20 tema tubuh
menjadi titik pusat perhatian secara serius dalam diskursus sosiologi. Sehingga
sejak ini lah tubuh tak lagi dipahami semata sebagai anasir fisikal melainkan
juga sosial (the physical body is also social). Banyak teori yang muncul
berkaitan “tubuh sosial” ini:
Karl Marx memahami tubuh sebagai instrumen
produksi, represi dan bernilai ekonomi; Maus dan Mead memandang tubuh sebagai
media pembelajaran; Durkheim menyakini tubuh adalah instrumen pengorbanan
individu kepada masyarakatnya; Weber memahami tubuh sebagai media asketisme
religius; Simmel memandang tubuh sebagai dasar eksistensi masyarakat; Goffman
memahami tubuh sebagai simbol diri; dan Mary Douglas meyakini tubuh sebagai
suatu sistem simbol: Sebagaimana segala sesuatu melambangkan tubuh, demikian
tubuh juga adalah simbol bagi segala sesuatu.
Dari semua nama itu, Michael Foucault
adalah yang paling terkenal. Ia memandang tubuh sebagai instrumen kontrol
kekuasaan sosial secara politis. Beberapa bukunya bahkan menjadi klasik dalam
studi tubuh. Ia seperti menjungkirbalikkan tese filosofis para pendahulunya.
Baginya, jiwa dan pikiran adalah efek dari tubuh. Tubuhlah penentunya. Turunan
dari tese itu menyebabkan jiwa justru dimengerti sebagai perangkap bagi tubuh.
Secara rinici, Foucault menjelaskan dua
bentuk kekuasaan yang berperan dalam wacana ketubuhan: (1) kekuasaan atas tubuh
“kekuasaan eksternal” yang mengatur tindak tanduk, mengadakan pembatasan,
pelarangan dan pengendalian terhadap tubuh (hukum, tabu dan undang-undang), dan
(2) kekuasaan yang memancar dari dalam tubuh “kekuasaan internal”, berupa
hasrat dan potensi libidonya.
Dari dua modus kekuasaan yang saling
bertempur ini, di mana filsafat, agama, hingga negara adalah “kekuasaan dari
luar” yang merepresi “kekuasaan dari dalam tubuh” memberi kita satu pemahaman
pada aksiden wanita tanpa busana yang menerobos area Bandara Internasional
Supadio, Tunick, bahwa puncak hasrat dan potensi libido kebertubuhan kita adalah
mengenal batas dari hukum, tabu, dan undang-undang.
Tapi bersamaan dengan ini pula, budaya
kontemporer ketubuhan saat ini tidak bisa menerima tubuh apa adanya. Tubuh
menjelma menjadi sesuatu yang perlu dibentuk, diubah, dimodifikasi, bahkan
dipilih sesuai keinginan pemiliknya. Mike Featherstone menjelaskan bahwa
bersamaan meledaknya budaya konsumer, iklan, televisi, film dan produk-produk
budaya populer, tubuh kini menemukan citranya sebagai komoditi.
Puncaknya dalam era kebertubuhan saat ini
kita akan menemukan satu diktum penting baru: Aku bukan apa lagi yang aku
pikirkan. Aku adalah apa yang ditampilkan tubuhku.
Comments
Post a Comment