Perkaderan Akhwat: Menunggu Jawaban Kohati
Tahun
2017. Malam itu hari Ahad. Ingat, Ahad bukan Minggu!! Dua orang dari kami yang datang/main ke Yogyakarta, berinisiatif mengadakan reunian kecil-kecilan di kedai kopi, Kebun Laras, demi
bersua-sapa melepas kangen menggebu setelah setengah tahun lebih tidak bertemu
sejak berakhirnya kepengurusan. Banyak yang kami obrolkan malam itu. Mulai dari
kenapa masih pengangguran, kenapa masih belum wisuda, kapan nikah, dan sampai hati
menyerempet perihal Kohati.
Tapi
hal terpenting yang perlu ditekankan terlebih dahulu agar tidak bias dan banyak
ditafsirkan yang tidak-tidak oleh para pembaca kenapa perihal Kohati ini sampai
jadi topik obrolan hati kami, itu tidak lepas dari keresahan hati bersama
mengapa sosok Kohati yang tangguh, berjiwa emansipasi dan berbicara atas prinsip
kesetaraan –atau paling tidak berdiri atas kemaunnya sendiri– belum juga muncul
ke tengah permukaan perkaderan di HMI.
Jujur
tidak ada obrolan lain malam itu. Kalaupun ada biarlah itu menjadi rahasia hati
kami yang sudah terlatih patah hati ini. Eh,
malah curhat!
Lebih
spesifiknya, malam itu kami membicarakan mengapa sosok Kohati yang mendakukan
diri sebagai mar’atussholehah itu,
yang diklasifikasikan dalam citra diri selain harus mandiri secara spritualitas
dan ekonomi, katanya harus pula mandiri secara intelektual, politik dan sosial
budaya, belum juga kami temukan ditengah makin kuat dan masifnya budaya
patriarki yang menempatkan kaum ikhwan
di HMI sebagai sosok sentral.
Tentu
tinjauan obrolan kami malam itu hanya melalui perspektif budaya perkaderan,
bukan secara konstitusi karena kami tahu jika dalam ranah konstitusi HMI sangat
egaliter. Eh, paradoksnya Bund!! tanpa
kita sadari, jika kita mengacu pada perspektif budaya perkaderan, kebanyakan
dari kita (ikhwan) telah patriarki
sejak dalam pikiran. Kita selalu menempat-posisikan kaum akhwat di HMI sebagai pilihan kedua dan objek. Tidak lain. Setidaknya
itulah yang kami alami dan rasakan selama ber-HMI, selain diberi harapan palsu.
Jika
tidak percaya, tengoklah suksesi kepemimpinan. Sangat jarang kita mengangkat
dan menempatkan kaum akhwat pada satu
pilihan setara. Jikapun ada kalangan akhwat memimpin tidak lebih karena tak ada
pilihan lain. Paling banter, biasanya lho ya, akhwat ditempatkan sebagai bendahara. Minim sekali pada bagian
lainnya. Apalagi pada bidang kajian dan sampai ketua umum. Eh.. parahnya, maaf jika
salah, ternyata kaum akhwat masih
merasa nyaman pada zona itu. Berleha-leha, merasa enak dan tidak terganggu.
Akhh.. entahlah, mungkin kami benar-benar salah seperti lagunya Raisa itu
‘Serba Salah’ menilai hati kalian.
Persoalan
ini memang banyak kemungkinan yang terjadi. Bisa saja karena kita memang sudah
patriarki sejak pikiran atau bisa pula kaum akhwat
HMI masih belum bisa dipandang dalam satu pilihan setara. Tapi, kalau ada di
antara kita yang masih berfikir bahwa akhwat
tidak bisa memimpin karena HMI adalah organisasi Islam, dan klisenya seperti
biasa kita dengar bahwa Islam tidak memperbolehkan akhwat memimpin dan perempuan bukan makluk rasional, maka lebih
baik ubah saja ketentuan hak anggota dalam Konstitusi. Ubah hak anggota HMI lebih
bersifat terbatas, kaum akhwat tidak bisa dipilih.
Pada
konteks lain, tidak jarang kita mendapati pemandangan indah dan menyejukkan
hati bagaikan scene dalam film-film
Indosiar dimana kaum akhwat selalu berperan
di belakang. Satu contoh, agar lebih imajinatif membaca tulisan ini, ada
kegiatan pada kepengurusan. Habis itu, naskas peranan itu mulai dibagi agar
kegiatan itu berjalan dengan baik. Si Ahmad jadi pemateri, si Yudi jadi
moderator, dan si akhwat menangani
segenap persoalan tetek-bengek yang di dapur, masak-masak Bund!!. Pada umumnya peranan seperti ini yang tertulis dan muncul
dalam naskah kegiatan kepenguruasan, bukan? Jika tidak, mungkin ada persoalan
lain tak terhindarkan sehingga naskah tersebut ujug-ujug berubah total.
Memang
tak ada salahnya akhwat memerankan
naskah masak-masak, itu masih wilayah perkaderan, seperti yang biasa dipetuahkan
oleh empu pengader. Tapi jika mendapat peran masak-masak terus, tidak ada
lainnya, itu yang menjadi masalah. Eh anehnya, lagi-lagi maaf kalau kami salah,
saat mendapatkan peranan itu terus-menerus, jarang sekali ada protes dari kaum akhwat yang terdengar ke gendang telinga
perkaderan. Toh sah-sah saja apabila kalian para akhwat protes: dan berkata: “Mbok yo, awak dikasih peran lain,
Kanda. Jangan masak terussss. Kayak jadi pemateri kek, atau moderator gitu.
Lama-lama awak buka warteg aja.”
Jujur
tidak ada obrolan lain malam itu. Kami hanya merindukan kalian. Sosok Kohati muncul
ke permukaan perkaderan HMI, berbicara tegas dan cergas atas kemauanya sendiri,
dengan naskahnya sendiri. Karena kami tahu kalau Kohati bukanlah
perempuan biasa. Kalau perempuan biasa, seperti kata Sujiwo Tejo itu, sukanya
hanya es krim dan cokelat walaupun lebih suka kepastian. Tapi, tidak dengan Kohati.
Kohati adalah perempuan yang memiliki citra kemampuan intelektual, politik, dan
kemandirian sosial budaya.
Kami tidak bohong. Apalagi dianggap berbual karena sudah tandus dalam persoalan cinta. Kami bener-benar merindukan sosok Kohati yang dapat muncul dalam satu prinsip kesetaraan dengan mengatasnamakan perkaderan. Tidak lagi dijadikan pilihan kedua atau objek dan dapat memainkan naskah selain di wilayah masak-masak. Sosok Kohati yang bila diumpamakan R.A. Kartini, dideskrisipkan berani, berdiri sendiri, menempuh jalan hidup dengan langkah cepat, tegap, riang dan gembira, penuh semangat dan keasyikan. Tidak hanya ikut-ikutan arus. Atau, sosok Kohati yang digambarkan sebagai tiang negara. Apabila perempuan itu baik, maka baiklah negara itu. Apabila perempuan itu rusak, maka rusak pula negara itu.
Kami tunggu jawabanmu, Kohati. Jangan buat hati Abang yang berharap, kalau kata engku Zainuddin pada Rangkoya Hayati, dikecewakan dan sampai hati digantung. Tahu kenapa? Bukan hanya perempuan, laki-laki juga butuh kepastian.
Comments
Post a Comment