Apa Enak Jadi Manusia?
Akan kuubah dengan sihirku.
(Hikayat 1001 Malam: Kisah Fakir
Kedua)
“Enggak
gampang menjadi manusia” Sepenggal kalimat (Hal: 1) disalah satu novel Eka
Kurniawan, O. Dalam novel ini, Eka Kurniawan mencoba membawa kita dalam satu
perenungan filosofis: Betapa susahnya menjadi manusia. Diperankan oleh seeokor
monyet, O, yang berkeinganan menjadi manusia untuk memperjuangankan cintanya terhadap
kekasihnya, Entang Kosasih, yang menurut perkonoannnya telah berengkarnasi
menjadi manusia: Kaisar dangdut.
Meski
tahu bahwa menjadi manusia itu tidaklah mudah, O tak pernah putus asa. Ia
selalu mengamati apa yang para manusia lakukan, kemudian mempraktikannya.
Terkena lemparan bonggol jagung saat akan mencuri sepeda roda tiga dan dipukul
panci saat mengintip seseorang yang tengah mandi adalah salah dua hal yang
tidak menyurutkan niatnya untuk menjadi manusia. Hingga pada pertengahan cerita
terhadap keinginannya untuk menjadi manusia, O menemukan suatu kenyataan pada
manusia yang tidak lebih baik dirinya sendiri, binatang, bahwa: Hidup adalah
perkara makan atau dimakan … kau harus memakan yang lain, sebab jika tidak, kau
akan dimakan (hal: 59)
Tapi,
jika kita memakai logika realistas sosial, bukankah memang demikian dengan
manusia, dan makan memakan adalah hal yang lumrah pada diri manusia, yang
katanya makhluk ciptaan terbaik tuhan itu. Karena sebagai manusia, sebenarnya
kita (manusia) adalah makhluk yang tak bisa dilepas oleh keinginan atau cita
yang menggumpal begitu kuat, yakni ambisi atau nafsu. Dengan kata lain, untuk
mendapatkan keinginan atau kebahagian, manusia dengan sadar atau tanpa sadar
harus merampas keinginan atau kebahagiaan manusia lainnya.
Dan
sebagimana orang yang telah cukup lama menjadi manusia, kita bisa memakai
contah atas pengalaman pribadi atau realitas yang biasa kita temui, betapa memuakannya
manusia itu. Pada konteks politik contohnya, tidaklah jarang manusia rela
menghancurkan dan menyingkirkan kawannya hanya untuk keinginan pribadi atau
kelompoknya untuk berkuasa, jabatan. Merampas, atau menjadi koruptor yang
menyengsarakan rakyat. Bahkan sampai menghina dan menikung demi eksistensi diri.
Mungkin
benar juga kata Soe Hok Gie pada catatan hariannya: Sejarah dunia (manusia)
adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan, sejarah tidak ada? Apakah
tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan sejarah tidak akan lahir? Seolah-olah bila
kita membagi sejarah maka yang kita jumpai hanya pengkhianatan. Seolah-olah
dalam setiap ruang dan waktu kita hidup atasnya. Ya, betapa tragisnya, dan
semua itu diakibatkan oleh manusia.
Atau
pada konteks lainnya, yakni asmara.
Kemarin
lalu, sekitar 3 hari dari sekarang, seeorang kawan datang ke kontraan, jam 12
malam. Awalnya Si Kawan hanya datang untuk berdiskusi tentang perkaderan dan
perjuangan organisasi mahasiswa yang telah kita pilih. Namun, sebelum diskusi
itu berakhir mencapai klimaks, Si Kawan malah keceplosan tentang tragisnya kisah
asmara yang telah ia bangun selama 1,5 tahun lebih.
Padahal,
menurut tutur ceritanya, Si Kawan itu telah berkenalan dengan orang tua Si Doi
dan telah memutuskan untuk meminangnya setelah selesai kuliah, yang hanya
menghitung hari itu. Juga, sepetak sawah yang Si Kawan punya dari orang tuanya
sebagai warisan keluarga, telah ia rencanakan sebagai modal untuk menikahi Si Doi.
Namun sialnya, sebelum kisah Si Kawan berakhir bahagia selama-lamanya seperti dongeng
Cinderalla dan Sang Pangeran, seeorang Duda beranak satu datang dan menyela
kisah mereka, dan mencoba memikat Si Doi dengan nilai materi yang lebih dan
pekerjaan yang lebih matang. Yang berakibat Si Doi lebih memilih Si Duda
beranak satu daripada Si Kawan, dan Si Kawan berakhir patah hati
berpurnama-nama. Sadis.
Dari
cerita Si Kawan, saya malah menemukan sesuatu yang lain pada diri manusia.
Selain enggak gampang jadi manusia, ternyata juga sulit memahami isi hati mereka (manusia). Serupa dengan apa yang pernah di sampaikan oleh
Pramodya Anata Tor: Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu
sederhana; biar penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur,
perabaanmu lebih peka dari para dewa, ….. pengetahuanmu tentang manusia takkan
bakal bisa kemput (Bumi Manusia, hal. 119)
Bagiamana
tidak. Ternyata kisah asmara yang mereka bangun sekian tahun itu, hanya
berakhir, dengan datangnya duda yang lebih mapan dan lebih bermateri.
Seolah-olah lagunya Dewa 19: Cukup Siti Nurbaya itu, tidaklah cukup menyadarkan
Si doi dan mamanya, bahwa hanya cinta yang sejukkan dunia. Apa hanya karena Ada
band pernah membuat lagu: Karena Wanita (saja) Ingin Dimengerti? Sehingga
lelaki tidak boleh dipahami? Kok baper. hahaha
Tapi,
mencoba menarik beberapa hal dari perihal di atas, saya hanya mau berbilang:
Wahai manusia, mahluk yang fana dan penuh kesensaraan, yang dilahirkan secara
susah payah dan didera oleh berbagai kebetulan, untuk apa kalian mencari
jawaban dari ceritaku –betapa enggak enaknya jadi manusia. Padahal,
kalian justru akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar, jika kalian tidak
mengetahuinya. Sedang apa yang paling baik bagi kalian adalah sesuatu yang
tidak bisa kalian capai, yakni tidak dilahirkan, tidak pernah ada, dan tidak
pernah menjadi apapun. Tetapi, hal terbaik yang kedua adalah menjadi binatang.
Comments
Post a Comment