Ngobrol Enak: Antara Cinta, Fallacy & Dia
"Cinta itu indah, boi. Ia hadir untuk memberikan pengharapan lewat kasih dan sayang. Tidak ada kepantasan untuk kita bersedih di dalam cinta. Cinta itu menguatkan bukan melemahkan hati." Kata saya mencoba bijak.
Lontaran
kalimat itu saya katakan ketika mencoba mengalihkan obrolan diskusi kami yang
awalnya bertemakan filsafat, untuk beralih menjadi ngobrol enak betemakan cinta
di salah satu kedai kopi di daerah Kaliurang KM 12.5, meskipun saya sangat tahu
bahwa kami berdua adalah sepasang laki-laki jomblo. Tapi bukankah jomblo juga
punya hak untuk membicarakan cinta? Saya kira dia-pun akan sepakat dengan
pedapat saya.
Tapi
apa jawabnya dari si Kawan yang saya panggil boi itu? "Tahu apa kau
tentang cinta? Selama ini-pun tidak pernah saya melihatmu dekat dengan
perempuan." Nyelekit, dan sangat terbilang pedas sekali untuk didengar.
Jika
mencoba mengambil makna dari perkataan yang terbilang sangat menyakitkan itu
secara bijak, melihat konteks peristiwa mengapa si Kawan mengemukakan seperti
itu, saya bisa mengamini perkataan si Kawan: Tahu apa kau tentang cinta? Adapun
perkataan saya yang sok bijak itu juga bukan hadir atas pengalaman pribadi
sepenuhnya. Saya hanya pernah mendengarnya dari sebuah film: Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijh, lewat sepotong kalimat dari kisah Hayati kepada Zainuddin ketika
mereka hendak berpisah.
Tapi bila dilihat dari sisi lain, bukan bermaksud untuk membela diri, hanya bertanya
balik: Tahu apa dia, si Kawan itu, tentang saya? Toh, dia baru mengenal saya
sejak di bangku kuliah saja. Itupun baru 2 tahun lalu. Sekarang umur saya sudah
23 tahun. Berarti ada masa dimana, diumur saya yang ke 21 tahun sampai kebawah,
dia, si Kawan itu, tidak mengetahui saya secara keseluruhan. Pertanyaan
selanjutnya: Apakah perkataan si Kawan itu bisa dianggap benar secara
keseluruhan?, yang katanya: Selama ini tidak pernah melihatmu dekat dengan
perempuan.
Saya
pikir si Kawan sudah tidak kritis lagi dalam diskusi ini. Dia lupa bahwa dalam
membuat penyataan, agar tidak bias, jangan sampai meninggal perihal konteks masa
lalu sebelum menilai. Tidaklah jarang dari setiap pernyataan, seseorang selalu membawa
pengalaman masa lampaunya untuk dijadikan premis-premis penghubung ketika menentukan
konklusinya. Oleh sebab itu, dalam kasus si Kawan ini, dia telah terjebak dalam
fallacy -kesalahan berfikir- ketika
menilai saya tanpa mempertanyakan adakah peran masa lalu yang saya jadikan sebagai premis penghubung dalam
pernyataan yang saya lontarkan.
Tanpa
sepengetahuan si Kawan ketika saya duduk dibangku SM*, saya pernah mempunyai
cerita dari kisah asmara meskipun itu bertepuk sebelah tangan. Sebut saja
namanya Lis. Dia gadis tercantik dan termanis yang pernah saya temui. Tidak ada
seorang gadis yang bisa mengalahkan kejelitaanya dalam penilaian saya, baik itu
disandingkan dengan Dian Sastro maupun Chelsea Islan, dia tetap yang tercantik
dan terjuara di hati.
Di
bawah pelopok matanya yang sebelah kiri, ada satu titik hitam: Andeng-andeng.
Kotoran atau tahi dari alat itu bukan membuatnya seperti tidak punya estetik,
tapi membuat siapa saja yang memandang akan jatuh cinta pada keterpesonaannya.
Apalagi senyumnya, adem banget. Jika Hayati disebut sebagai Permata Yang Hilang
oleh Zainuddin dan Annelies Mallema digambarkan sebagai Bunga Penutup Abad oleh
Minke, maka Lis adalah Alegori di Balik Kehidupan bagi saya. Mengapa?
Bukan
pada senyumnya yang adem itu yang membuatnya cantik, melainkan kesucian yang
berterbangan di dalam benaknya. Bukan pada mata indahnya itu yang membuatnya menarik
hati dan cantik, melainkan bagi siapa saja yang memandang akan lebih tertarik
pada terang Ilahi yang memancar dari mata yang kebiruannya itu. Bukan pula pada
bibirnya yang merah dan sesegar buah delima itu yang membuatnya menarik, tapi
dari kata-katanya yang manis dan selalu melambangkan suara Ilahi itu yang
membuatnya cantik.
Melalui
Lis, saya belajar bahwa cinta adalah bla bla bla bla dan bla. Meskipun cinta
ini bertepuk sebelah tangan, seperti halnya kisah Zainuddin yang menempat
Hayati sebagai permata inspirasinya dalam setiap tulisannya, begitu-pun saya
terhadap Lis. Lis telah menata kerangka dasar bagaimana saya harus terus
menulis dari balik kehidupan. Sehingga dari itu, tidak ada kepantasan dalam
diri kita bersedih di dalam cinta. Cinta itu menguatkan bukan melemahkan hati.
Comments
Post a Comment