Aku ber-Konstitusi, maka Aku ber-HMI

Tak elok rasanya kalau mendaku berislam tapi tak ber-Muhammad SWA, ber-Indonesia tapi tak ber-Pancasila, berpujangga tapi tak bersyair, dan tak ber ber lainnya. Begitu pun dengan HMI. Mendaku ber-HMI tapi tak berkonstitusi, meminjam sebait lagunya Inul Daratista, bagai sayur tanpa garam. Hambyar, enggak enak, dan omong kosong.

Jika kita pernah dengar nama Rene Descartes, filosof yang dianggap masyhur di abad modern ini pernah menyusun dikotomi: Res extensa (yang berpikir) dan res cogitans (yang dipikirkan) lewat diktum terkenalnya: Cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada), maka dalam konteks HMI kita akan temukan diktum: Aku berkonstitusi, maka aku berHMI.

Kenapa demikian? Karena keber-HMI-an kita bergantung bagaimana kita memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai Konstitusi itu ke dalam diri kita. Baik itu secara individu maupun organisasi.

Kita tak boleh begini, kita harus begitu. Kita harus membayar uang pangkal, tak boleh tidak. Kita harus punya peranan terhadap aktifitas HMI, tak boleh tidak. Kita harus menjaga nama baik HMI, bukan malah saling menghina dan bahkan mencermar-burukkan. Kita (anggota biasa) punya hak berpendapat, bukan malah ketika mengkritik pengurus dibilang intervensi atau menjantuhkan.

Pengambilan kebijakan internal (seperti reshuffle) harus di rapat Pleno, bukan malah di Rapat Harian atau Bidang. Kedudukan Lembaga khusus (seperti Kohati) harus di struktur Pimpinan, bukan malah di Lembaga Koordinasi. Sekretariat sebagai pusat kendali aktifitas organisasi, pusat komunikasi organisasi, pusat kegiatan administrasi, wahana interaksi, bukan malah tak berpenghuni. DLL. (ampuni Adinda Milea, Kanda-Yunda, bila dinda salah)

Landasan keber-HMI-an tergantung dari berkonstitusi ini tak pelak dari, bahwa konstitusi adalah identitas bagi suatu organisasi. HMI diakui eksistensinya hanya jika secara de facto ada, jika memiliki identitas organisasi berupa konstitusi. Pihak eksternal akan melihat keberadaan HMI sesuai apa yang diakuinya dari konstitusi. HMI dikatakan berbeda dengan organisasi lainnya lewat persoalan Konstitusi.

Bahkan meski sama-sama memakai nama HMI, HMI kita dianggap berbeda dengan HMI sebelah yang sama-sama mendaku satu Bapak Lafran Pane tapi tidak tahu siapa ibunya itu, itu lewat persoalan Konstitusi. HMI kita memakai Khittah Perjuangan, HMI sebelah memakai NDP. DLL.

Oleh karena itu akan tampak aneh jika dari kita mendaku HMI tapi tak berkonstitusi. Bagaimana kita tahu HMI menafsirkan Islam sebagai asasnya, jika pemahaman Khittah Perjuangan belum tahu. Bagaimana kita memahami HMI berstatus organisasi kemahasiswaan serta beridentitas organisasi perkaderan dan perjuangan, jika Pedoman Perkaderan saja belum baca. Bagaimana kita tahu mana struktur kekuasaan, struktur pimpinan, dan pengambilan keputusan, jika Pedoman Struktur Organisasi tidak dipahami. DLL.

Atau yang lebih parahnya, Kanda-Kanda sekalian, bagaimana kita dapat memahami Ahwat Kohati, jika adanya PDK Kohati saja belum tahu. Guyon. (ampuni Adinda Milea, Yunda, bila dinda salah memahami)

Tulisan ini memang tampak konyol, tak bermakna, tak berarti, tapi jika kita kontekstualisasikan pentingnya pemahaman Konstitusi ditiap lini kultur perkaderan pada saat ini akan berbeda.

Dalam pemahaman administrasi misalnya, tidak sedikit dari pengurus Komisariat jika membentuk Kepanitian LK 1 masih tidak meng-SK-kan panitia. Lantas bagaimana legalitas kepanitian itu? Malah anehnya, si Panitia buat surat lagi. Padahal itu sudah diatur dalam Konstitusi: Pedoman Kesekretariatan. Hal lebih lagi jika terbentuk Kohati di salah satu Korkom. Padahal dengan tegas konstitusi mengatakan jika suatu lembaga harus berada di bawah struktur pimpinan. Bukan lembaga lainnya.

Problematika lainnya masih banyak dari pengurus (terutama Komisariat) menyalah-gunakan pengambilan keputusan mana yang melalui Rapat Pleno, Rapat Presidium, Rapat Harian, dan Rapat Unit/Bidang. Juga masih banyak yang menyalah-artikan mana sifat jaringan yang mengatas-namakan delegasi atau utusan. 

Penyalah-artian ini jadi penting karena berkonsekuensi terhadap administratif. Jika para kader HMI yang dikirm di kampus adalah bersifat utusan, bukan delegasi, maka harus ada surat Mandat/Tugas atau Keterangan yang dikeluarkan pihak struktur pimpinan. DLL.

Jika kita menganggap konstitusi sebagai identitas dan alat kotrol organisasi, pantas tidakkah kita menafsir-bedakan dan sampai mengacak-ngacak ketentuan Konstitusi dan malah mengatas-namakan perkaderan HMI?

Bisakah kita mengatas-dirikan ber-HMI jika kita tak ber-Kontitusi? Tidak bisa, sebagaimana Rene Descartes tidak bisa mendaku diri beraliran Filsafat Rasionalisme jika eksistensi akalnya ditiadakan. 

Oleh sebab itu keberkonstitusian kita menjadi penting untuk mendaku ber-HMI, sepenting pentinya adanya takmir di sekretariat. Karena sekretariat adalah pusatnya peradaban perkaderan dan perjuangan HMI. (Sekali lagi, ampuni Adinda Milea, Kanda-Yunda, bila dinda salah)

Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

Contoh Membuat TOR yang Baik dan Benar

Satu Paragraf: Apa Aku Bahagia?

Sekilas Sejarah Penyusunan/Kelahiran Khittah Perjuangan HMI

Absurditas: Bunuh Diri Filosofis