Korespondensi: Untuk Sahabat Bualku, Wikho Syadjuri

Hallo bung.

Dalam keadaan hati senyap dan tidak bergairah, entah kenapa aku teringat padamu. Kau menjelma bak siluet dalam keremangan senja tanpa diundang: tawa konyolmu, seduhan kopimu, bualanmu dan segenap yang melekat pada dirimu muncul dalam satu entitas bernama kenangan lama. Sial!! Harusnya kenanganku tidak tertuju padamu, melainkan pada gadis impian yang kuharap bisa menemani hidupku dan menghiburku dalam masa-masa kelam di masa depan.

Tapi sial, malah kau yang muncul.  Shitt!!

Oya, berapa lama kita sudah tak bersua Bung? Sesekali, akankan kau di sana juga pernah mengingatku dan merindukan bualanku sebagaimana dahulu? (Tidak usah kau jawab jika pertanyaan ini membuatmu risih)

Bagaimanapun Bung, sebagai sahabat yang coba untuk baik, kudoakan kau dari sini, dari tanah kelahiranku yang asin dan tidak mengenal semi ini agar kau dalam keadaan baik-baik saja di sana, meskipun aku tahu dan dengan gampang dapat kutembak, dalam keadaaan hatimu paling dalam, kau masih diliputi rasa risau dan galau terhadap sejumput rasa cinta yang tidak dapat dengan mudah kau lupakan dan tinggalkan, sebagaimana kabar terakhir yang kau sampaikan padaku dahulu jika dia hendak tunangan. Duh, kasihan bener hidupmu Bung!!

Akhh..mengenang/membuka kenangan dan luka lama, bagaimana kabar dia Bung? Apakah kau masih mentuntut masa depanmu bersamanya, membangun kisah cinta seperti dalam novel-novel roman murahan yang dijual di Taman Pintar Yogyakarta? Berapa puisi yang telah kau tulis untuk mendayu getirnya hidupmu demi cinta Bung? Masihkah kau berdiam seorang diri dan meratapi cintamu yang, maaf bila kasar dan tidak memotivasi, sepertinya ditakdirkan takkan bersatu itu? Ataukah kau masih menyelipkan keyakinan palsu dalam imajimu bahwa kau dan dia akan kembali bersatu? Duh!!  

Cinta memang aneh Bung. Aku tak perlu menjelaskan keanehan tsb. karena kuyakin kau lebih paham maksudku.

Kau tentu pernah dengar petuah bijak lama tentang tiga golongan manusia yang tak bisa dinasehati. Salah satunya adalah golongan orang jatuh cinta. Secerdes dan secerdik apapun bualanmu, saat kau bertemu orang jatuh cinta, bualanmu hanya tinggal busa saja, tak didengar dan tak berarti, meskipun gaya bahasa dan bicaramu revolusiner sekalipun. Dan akupun pernah mengalami itu, dan bualanku tak punya daya.

Akankah ceritamu dengannya dalam cinta bakal membuatmu masuk dalam golongan orang jatuh cinta yang tidak bisa dinasehati? Kuharap jangan, meskipun itu susah. Setiap manusia niscaya dilingkupi masalah dan bakal jatuh, itu sudah jadi sunnatullah-Nya, tapi aku yakin kau adalah manusia kuat yang dapat bangkit kembali meskipun harus berdarah-darah. Merdeka!! Kuyakin kau bisa, Bung!! Toh, kau harus ingat motivasimu yang melegenda itu: “Sebelum sukses, bahkan motivator ulung sekalipun pernah jatuh dan jomblo. Bangkitlah, kaum muda!!”

Apa kau pernah baca cerpen Seno Aji Gumira berjudul ‘Patung’? Aku amat menyukai cerpen itu Bung. Sekali waktu jika kau ada kesempatan, luangkan waktu tak berhargamu itu untuk membaca cerpen tsb.. Dengan gaya yang sangat surealis, Seno menceritakan bagaimana kisah penantian seseorang terhadap kekasihnya yg hendak membunuh iblis dan membuat ia harus menunggu dan mengubah dirinya, dalam duarustahun penantiannya yang tak kunjung datang, menjadikannya sebuah patung. Seorang nenek yang melintas di sampingnya –maksudnya di samping seseorang yg jadi patung tsb.– menasehati cucunya agar ia tak mengikuti jejak konyol yang sudi menunggu kekasih yang meninggalkannya tanpa kepastian untuk kembali.

Karena bagaimanapun Bung, kau tentu akan sependapat denganku, dengan nasehat nenek tsb. kepada cucunya, meskipun menunggu adalah bukti setia, tapi cinta itu ada dua macam. Kau harus ingat itu! Yang pertama cinta buta. Yang kedua cinta pakai otak. Yang pertama bakal membuat kita menderita. Yang kedua bakal menyelamatkan kita. Dan kuharap cintamu kepada gadis pujaanmu itu melibatkan otakmu, sedikit rasionalmu, bukan dengan cinta buta. Karena cinta buta hanya akan membuat kita menderita dan membuat hidup kita pelan tapi pasti digerogoti kesia-siaan.

Aku ingin bercerita Bung, mungkin bisa dikatakan sejenis curhat: tentang kejadian yang belakangan hari ini menimpa sekelilingku, seorang anak gadis kabur dengan kekasihnya. Kata mereka, itu demi cinta. Sehari semalam ia kabur tanpa meninggalkan jejak kepastian di mana mereka menginap dan membuat keluarga-nya khawatir dan malu terhadap tetangga karena ulahnya. Kita hidup di desa Bung, di mana norma dan adat dijunjung tinggi. Sebuah tindakan tidak terpuji seorang anak gadis meninggalkan rumah dan kabur dengan laki-laki tanpa ikatan resmi.

Mungkin kau tidak dapat memahami maksudku secara mendalam karena perbedaan budaya yang membentuk karekter kita, aku bisa memahami itu Bung. Tapi dengan sebuah ilustrasi mungkin kau dapat memahami maksudku itu secara kasar. Tentu kau pernah membaca novel klasik yang bersejarah dari Timur Tengah –Laila Manjun, bukan? Bukankah di novel tsb. diceritakan bagaimana awal kisah cinta mereka mendapat gunjiangan tetangga karena perbuatan mereka hingga tega membuat keluarga Laila memingit Laila karena tak tahan dengan gunjingan tsb.. Bagiku tindakan keluarga Laila tidak salah, bahkan penulisnya pun mengamini itu.

Tapi kenapa harus keluarga Laila yang memingit bukan keluarga Majnun/Qays dari salah satu pasangan kekasih tsb.? Pernahkah kau melintaskan pertanyaan itu dalam pikiranmu? Karena Bung, keluarga perempuan selalu berada dipihak yang kalah jika konflik cinta berseteru. Itulah kenapa aku katakan keluarga si anak gadis malu, walaupun dalam akal paling rasional sekalipun aku sempat berontak sebentar terhadap kultur yang patriarkis ini.

Sebenarnya Bung, dalam berapa tahun belakangan ini, sekitar dua tahunan lalu kalau tidak salah ingat, seorang ustad diutus oleh pihak si laki-laki karena hendak melamar anak gadis tsb.. Jawaban orang tua si gadis dapat dikatakan diplomatis dan retoris, karena mengingat anaknya masih kuliah, meminta si ustad untuk menyampaikan niat baiknya tsb. kepada keluarga si laki-laki agar jangan mengganggu anaknya dahulu supaya fokus menyelesaikan kuliah; dan kalau sudah jodoh, mau dikata apa. Begitulah jawaban kelauarga si anak gadis Bung.

Dalam pada itu Bung, meski aku tidak begitu perasa, aku dapat memahami maksud jawaban diplomatis dan retoris dari pihak keluaga si gadis adalah sebuah penolakan halus. Aku bisa meraba maksud tsb. karena si laki-laki adalah orang yg dalam pandangan orang desa adalah laki-laki kurang baik. Dia adalah anak buah dari peng*dar nark*ba di desa, kurir, selain itu kerjanya menyabung (mengadu) ayam. Selain itu, isu yang pernah kudengar, laki-laki tsb. selalu bertingkah kurang baik terhadap keluarga si gadis. Bahkan pernah Bung, satu waktu, sayup-sayup yang kudengar kembali, salah-satu sepupu dari si gadis itu menasehati laki-laki tsb. untuk mengubah pekerjaan dan perilakunya tsb. agar bisa meluluhkan hati orang tua si gadis, tapi tidak pernah dihiraukan. Seoalah ia ingin menyampaikan pesan: inilah aku orang apa adanya. Bukankah itu bullsiht!!?

Bukankah Bung, seorang menantu adalah anak bagi mertua dan ditempat di hatinya sebagaimana anaknya sendiri? Bisakah kau menerimanya jika kau berada dipihak keluarga si gadis tsb. Bung? Kenapa pula si laki-laki tidak dapat menerima nasehat sepupu si gadis (padahal itu benar) sebagai bentuk jaminan bagi keluarga si gadis bahwa ia adalah laki-laki yang pantas untuk diserahkan anak gadisnya? Bukankah hanya dengan memakai sedikit fungsi akal kita bisa menyimpulkan jika laki-laki tsb. adalah laki-laki egois? Benarkah ini cinta? Bullsiht!!

Satu lagi Bung. Jika cinta yang kita dengar dari dongeng-dongeng dan novel adalah entitas yang menyejukkan dan sumber kebahagian, kenapa harus ada hati yang tersakiti dari perbuatan mereka, dg kabur yang katanya demi cinta itu Bung? Benarkah itu tindakan sebuah cinta Bung? Bullsiht lagi!!

Aku malah ingat percakapan Datuk pada Rangkayo Hayati saat menasehati hubungannya dengan Engku Zainuddin bahwa cinta hanyalah dongeng dan hanya ada di kitab-kitab saja. Sedikit menyelami perkataan Sang Datuk, ternyata itu ada benarnya. Kau pernah baca salah satu novel masterpeacenya Gabriel G. Marquez –Love in the Time of Cholera? (dari novel ini kau akan tahu bahwa kesejatian cinta hanya ada dalam dongeng dan kitab –buku– saja.) Seorang teman perempuanku mengatakan, dalam sebuah obrolan ringan, bahwa ia tidak percaya dengan sosok Florentino Ariza dalam novel Love in the Time of Cholera. Meskipun ada, katanya, mungkin Florentino Ariza seperti komet U1 Neowise yang muncul hanya setiap seribu tahun sekali. Dan ia, teman perempuanku itu, mengatakan lagi bahwa ia telah kehilangan kesempatan karena hidup seabad setelah Fermina Daza.

Tapi bagiku Bung, bila aku diperkenankan bicara cinta, itu tidak lain adalah manipulasi rasa nyaman melalui buaian fiksi –gombalan– dan konstruksi gengsi sosial. Padahal semua itu hanya ilusi. Serupa dengan postulat Fisika Quantum yang mengatakan bahwa; sebenarnya apa yang kita lihat adalah realitas ilusi, karena realitas sebenarnya adalah energi. Begitulah cinta. Karena yang tampak tak seperti yang ditampakkan dan yang terlihat tak seperti yang dilihat.

Kau tentu tahu dan masih ingat bukan kenapa aku sering katakan bahwa cerita cinta dalam dongeng Cinderella itu bulshit?

 Secara umum hidup manusia dibagi menjadi tiga fase. Pertama lahir, kedua menikah, ketiga mati. Fase sebenarnya dalam hidup adalah fase menikah. Karena pada fase inilah setiap rencana kita diaktualisasikan, impian kita direalisasikan, dan janji-janji manis (dalam bentuk fiksi) kita saat pacaran kepada pasangannya dipertanggungjawabkan. Saat tanggung jawab itu tidak dipenuhi maka yang terjadi adalah perceraian. Sebab itu aku katakan bahwa dongeng cinta dalam Cinderella itu bulshiit, karena memberikan ending bahwa setelah mereka menikah mereka bahagia selama-lamanya. Bukankah sudah jelas bahwa ujian cinta sesungguhnya adalah saat mereka telah menikah? Contoh, lihat Ahmad Dhani dan Maia Estianty, Anang Hermansyah dan Krisdayani. Atau yang terkenal berapa tahun belakangan ini adalah Song-Song Couple dari Korea Selatan.

Oya, satu waktu aku pernah membual padamu –mungkin kau ingat– bahwa “cinta yang tak diperjuangkan tak patut dimenangkan.” Cinta memang butuh pengorbanan dan perjuangan karena konyol jika kita mengingkan sebuah ending yang bahagia dalam cinta hanya dengan berdiam diri di kamar, melamun dan dengan  begitu melankolisnya sembari membuat puisi yg menyayat hati. Karena kau tahu bukan, seorang perempuan hanya menyerahkan kerajaan cintanya kepada mereka yang bertekat kuat, bukan berimajinasi hebat. Bagitupun dengan kasus di atas, seorang orang tua bakal menyerahkan anak gadisnya dengan bertekad kuat dengan mengubah sikap dan tingkah lakunya untuk membuat orang tua anak gadis percaya padanya untuk meminang anak gadisnya, bukan sebaliknya.

Sudah cukup aku menceritakan tentang cinta Bung. Tapi selalu kudoakan semoga cintamu dengannya bisa bersatu kembali dalam sebuah ikatan resmi yang bernama pernikahan itu –meskipun aku menulis kalimat tsb. dengan keyakinan palsu juga untuk menghiburmu hehehehehe.– melalui tekad kuat agar kau bisa meluluhkan hatinya dan keluarganya bukan dengan membawa kabur seperti kasus yang kuceritakan diatas, karena itu adalah tindakan tidak terpuji dan berkonsekuensi terhadap terputus hubungan keluarga. Amin.

Di sana, di tanah kelahiranmu, apa aktivitas yang biasa kau lakukan Bung? Apa kau masih menyia-nyiakan waktumu di warung kopi? Sial betul jika itu benar. Ingat teori evolusi Darwin Bung: monyet berkembang, dan kau masih saja stagnan.

Bicara tentang tanah kelahiran, seberapa besar arti tanah kelahiran bagimu Bung? Dalam kasusmu saat ini setelah menyelesaikan kuliahmu, meskipun belum wisuda, kau kembali –pulang, ketanah kelahiranmu yang mungkin telah lama kau tinggalkan. Barangkali kepulanganmu kali ini agar kau tidak lupa dengan aroma bau basah tanah kelahiranmu, atau segarnya dedaunan di belakang rumahmu, atau sejuknya air sungai yang mengalir di desamu yang tidak kita temui di kota-kota. Ohh.. apakah di tempatmu masih ada sungai Bung?

Kemarin lalu aku mandi di sungai setelah melakukan kegiatan yang cukup menguras energi dan melelahkan. Aku jadi nostalgia Bung. Aku ingat dulu sering-kali dimarahi Ibu jika terlalu sering mandi di sungai itu, karena kulit bakal menjadi legam dan bersisik, mata merah, dan celana dan baju bakal basah, atau paling tidak kotor karena tanah atau lumpur. Tapi semua itu sungguh mengasikkan. Apalagi di sekitar sungai itu ada pohon dengan buah yang bisa di makan. Setelah mandi acara selanjutnya adalah memanjat pohon dan memakan buah-buahnya tsb. Alangkah menyenangkannya waktu itu, masa kanak-kanak itu, pikirku bernostalgia.

Oya, aktivitasku di sini, selain terkadang menyelesaikan tugas dari kampus, sekali waktu aku mengajar madrasah ibtidiyah di rumah kakek. Di sini, di tanah kelahiranku, bagi anak-anak kecil, aku adalah seorang ustad Bung. Hehehehe. Aku mengajar mereka sejarah nabi, akhlak, tauhid & fiqih dasar. Cukup menyenangkan mengajar mereka. Tidak seperti di forum-forum HMI yang menggunakan bahasa melangit dan tingkat retorikal bual paling tinggi, dalam kasusku saat ini aku harus mengajar dengan telaten dan sabar dengan bahasa dan gaya bicara yang mudah dipahami agar pesan yang dimaksud sampai kepada anak seusia mereka.

Apa kau mau mengajar anak-anak kecil sepertiku jika ada tawaaran Bung?

Terakhir, sebelum aku usaikan surat ini dengan salam, mengenai pertanyaanmu lewat telpon kemarin: “apakah aku masih sendiri?” Iya, aku masih sendiri Bung. Bukan karena aku tak ingin mencari tambatan hati untuk menutupi lubang dalam hati –seperti dalam lirik lagu Letto itu: Lubang Hati– tetapi hatiku masih merasa belum berlubang sehingga aku tak perlu mencari tambatan hati. Toh, untuk apa mencari tambatan hati kalau hati ini belum berlubung bukan? Ngeles... hehehe Atau dengan rasional akal paling radikal aku bisa katakan begini padamu Bung: bahwa aku masih belum menemukan alasan filosofis mengapa aku harus menyan-darkan diriku pada seorang perempuan. (Mungkin aku sudah terpengaruh filsafat eksistensialismenya Sarte kali ya Bung? Ngeles lagi....hehehehe) Bahkan aku pernah menelik persoalan ini bukan hanya dari sudut epistemologi saja melainkan secara ontologis Bung, dan aku masih belum menemukan alasan filosofis tsb..

Tapi aku bukan Laksmana dalam cerita Ramayana Bung, bersumpah slibat karena dituduh Dewi Shinta pagar makan tanaman.

Ataukah aku harus kenalan dengan adikmu dulu agar aku bisa menemukan alasan filosofis tsb.? hahahahaha. Sekian.

 

Salam dari Sahabat Bualmu,

Dari pulau Garam.

Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

Contoh Membuat TOR yang Baik dan Benar

Satu Paragraf: Apa Aku Bahagia?

Sekilas Sejarah Penyusunan/Kelahiran Khittah Perjuangan HMI

Absurditas: Bunuh Diri Filosofis