Bidadari itu Ada di Dunia, dan Aku Ingin Bucin dengannya

Aku bertemu gadis cantik kemarin. Saat aku sedang berada di belakang rumah, pada sebuah gardu baru tempat aku biasa menghibur diri dari beratnya mencari pekerjaan. Tepat saat matahari tergelincir menjauh dari titik tengah dan nuansa sore mulai menjemput.

“Apakah surga sedang direnovasi sampai bidadari ini harus turun ke bumi?” selorohku sambil tetap menatap kagum betapa cantiknya gadis ini.

Kalau kuingat-ingat, jika pertemuan itu kutulis secara rinci, apalagi saat mata kami beradu dan dia menyapa “kak” dengan raut wajah cergas tapi tetap saja memberikan kelembutan saat menatap, ditambah sebuah ulasan senyuman dengan garis bibir yang ditarik kesamping begitu pas dan mampu mengusap sangat halus pada dinding hati, amboiiii... gadis ini bukan hanya cantik tapi juga manis: seperti keelokan nuansa panorama saat kita dapat menikmati persekutuan ruang dan waktu menjelmakan senja dan mengantarkan kita pada euforia.

Pikirku, “Tuhan mungkin telah ceroboh dengan lupa memberikan kekurangan pada makhluk satu ini” karena aku yakin, seyakin-yakinnya Felix Siaw dengan konsep khilafahnya dan PA 212 dengan kepulangan Habib Rizieq nya, tidak bakal ada yang mampu menjelaskan keindahan gadis ini jika hanya dijelaskan dalam susunan kata seperti yang kurangkai saat ini.

Kepada kawan, melihatku bengong seperti orang tak waras dan otaknya jelas dipenuhi tanda tanya “ada apa?”, dengan cepat kukatakan bahwa aku telah menemukan Sang Juliet dan siap mati meminum racun asal bisa menjadi kekasih abadinya. Atau siap menjadi Raja Alengka dan mendeklarasikan perang pada Raja Ayodhya untuk mempertaruhkan siapa yang lebih berhak memiliki Dewi Shinta, demi dia, demi gadis ini. Sebab cinta telah datang dalam bentuknya yang paling ajaib. Takkan kupedulikan nasehat bijak yang mengatakan bahwa cinta lebih ganas daripada malaria dan bakal membuatku bakal menderita.

Sisi lain, terjebak dalam buaian harap dan tidak ingin cepat berlalu, aku ingin momen pertemuan ini berhenti. Inginkan waktu tak lagi bereksistensi. Tak peduli lagi pendapat Fisikawan mengatakan bahwa waktu itu seragam dan rata dan tak bisa dimanipulasi dan rekayasa. Paling tidak, jika tak bisa berhenti, aku ingin momen ini berubah bentuk menjadi slow motion seperti film-film FTV ketika tokoh protagonis laki-laki bertemu dengan perempuan yang dicintainya (tentu tanpa embelan adegan buku atau bolpoin jatuh dan tanpa sengaja tangan bersentuhan dan pandangan mata saling bertatap kaku).

Sebab aku ingin meresapi lebih dalam kerlingan mata manjanya yang hanya sepintas kurasakan tapi tetap berhasil mendebarkan jantungku. Sekaligus ingin memastikan penglihatanku tidak salah jika rona warna pipi itu berubah menjadi kemerah-merahan yang mungkin saja disebabkan malu karena saat dia menyapa “kak”, aku tidak sendirian tapi bersama seorang teman.

Pada ujung sore menuju malam, meski momen itu berlalu, tapi rasa itu belum hilang dan bahkan sampai menggeliat hebat tak tahu malu. Imajinasiku pun meledak, karena didukung suasana euforia, aku berkelana dalam khayalan dan menembus rasi bintang paling romantis dan mencoba mencuri seonggok hati berbentuk cinta, karena ulahnya.

Takut ketahuan keluarga di rumah kalau aku sudah termakan cinta, aku menarik diri dari tatapan aneh mereka dan memasukkan diri dalam kamar sekaligus mencoretkan kata dan kalimat agar momen pertemuan ini membentuk sebuah puisi “Kau Berhasil Mengambil Duniaku”; karena ingin kusampaikan padanya bahwa pertahanan hatiku telah jebol; bahwa hati yang belum sembuh total ini berhasil diketuk; dan itu sudah tentu pelakunya adalah dia: pemilik senyum itu, pemilk keindahan itu.

Aku tahu siapa namanya. Jadi aku tak susah jika mencari. Aku juga tahu siapa yang memberi nama padanya. Aku kenal. Sekenal namaku dan nama-nama panggilanku dan ejekanku. Bahkan dari jarak aku menulis coretan ini, rumahnya dapat kutangkap hanya dengan satu bola mata, tak perlu memakai dua secara utuh, bahkan tanpa kacamata minus. Maka, pada pagi hari nanti, tak peduli embun masih belum lenyap, ayam belum berkokok dan corong-corong masjid desa ini belum mengumandangkan panggilan Tuhan, akan kuketuk pintu rumahnya dan kusampaikan coretan puisi itu.

Sebab itu, saat pagi telah menyapa dan membangunkanku, coretan puisi di meja kamar secepat mungkin ingin kuraih dan segera bergegas. Tak ada waktu lagi, pikirku. Aku harus segera bergegas. Tapi aku bingung! Lembaran puisi itu tidak kutemukan. Ia raib begitu saja. Kalau kata orang, seperti ditelan bumi. Padahal aku sudah tidak dapat berkompromi dan bersahabat lagi dengan waktu, ingin segera cepat bertemu.

Kemana perginya?” Otakku sok berfikir cepat mengikuti panduan logika kiat-kiat Sherlock Holmes memecahkan kasus. Dimulai dengan menenangkan diri, mengambil nafas pelan agar berfikir secara jernih, dan kembali mengingat secara runut dari saat terakhir aku meletakkan puisi itu di meja tempat biasa aku berkhayal, dan saat kusadar: Ohh....ternyata semua ini hanya mimpi. Sial!

Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

Contoh Membuat TOR yang Baik dan Benar

Satu Paragraf: Apa Aku Bahagia?

Sekilas Sejarah Penyusunan/Kelahiran Khittah Perjuangan HMI

Absurditas: Bunuh Diri Filosofis