Bidadari itu Ada di Dunia, dan Aku Ingin Bucin dengannya II
Seminggu telah usai sejak mimpi itu berlalu.
Tapi rasa penarasan masih saja mengusik mengapa dia tanpa sopan santun masuk
dalam mimpiku. Betapa dia sangat ceroboh dan tak beradab, keluhku. Masuk tanpa
permisi pada mimpi seseorang yang telah lama kering dalam persoalan cinta.
Dalam
lamunan juga kupersoalkan. Apa dia pikir hati lelaki sekuat bata karang seperti
dalam sebuah puisi dan tetap kokoh terhadap hembusan ombak? Apa dia juga tak
pernah berpikir bahwa sekuat dan sehebat apapun lelaki tetap akan rapuh dan
baper oleh lemparan senyuman itu?
Seperti
kemarin, saat aku mengantar keponakanku sekolah. Betapa dia begitu tega saat
kami bertemu tanpa sengaja di simpang jalan yang memisahkan pasar dan sekolah
Taman Kanak-Kanak, menyapaku “kak” dan melemparkan senyuman terindah itu, tepat
saat angin jahil dari hempasan mobil melaju menderaikan rambut hitamnya seperti
dalam film-film romance.
Aku sudah
tidak tahan, keluhku. Cinta yang muncul dan bermuara dari mimpi telah berhasil
memporak-porandakan hatiku. Jika kubiarkan begini, tak ada gerakan melangkah,
hanya diam di tempat, melamun dan berkhayal saja, pelan namun pasti hidupku
bakal digerogoti kegalauan dan bakal berakumulasi menjadi penyesalan di hari
esok.
Bersama
seorang teman, pada suatu siang saat kami sedang asik ngobrol tanpa kenal waktu
karena sama sama menjadi beban bagi nusa dan bangsa, pengangguran, dan ia mulai
memahami kondisiku, mensatirekan perkatakan agung Sutan Sjahrir bahwa “cinta yang tak dipertaruhkan tak akan
pernah dimenangkan!”
Aku merinding
dengan perkataan penuh dengan degupan revolusi itu. Ghirohku tersulut dan
membakar bunga api dan meletup bersamaan dengan gelora muda menuju tangga
idealisme cinta paling atas. “Aku akan
berjuang,” sambarku penuh bara. “Seperti
aku memperjuangkan hak-hak rakyat kecil yang dirampas dan ditindas penguasa.
Tak peduli aparat kepolisian menghadang, memukul, mengancam bakal dibui dan
menyemprotkan gas air mata.”
Sebelum melancarkan
aksi, serupa persiapan apa saja yang dibutuhkan pasukan tentara sebelum melakukan
penyerangan, dengan kongkalikong sana-sini, aku meluangkan waktu dengan
mengumpulkan informasi yang lebih dalam dan perinci mengenai dirinya.
Seperti apa
zodiaknya, film favoritnya, tokoh yang dikagumi, aktivitasnya saat kuliah,
dst.. Semua itu kukumpulkan agar dapat mengidentifikasi kecenderungan
psikologisnya, sebagaimana yang pernah dilakukan Anton saat mendekati Erika
dalam novel “Cintaku di Kampus Biru”.
Bersamaan dengan itu juga, agar gerakanku bisa lebih luwes lagi dalam
mendekatinya, aku kembali membaca buku Erich Fromm: The Art of Loving.
Jadi bisa
kalian anggap bahwa persiapanku dalam perjuangan ini bukan sekedar strategi dan
logistik tapi juga tentang taktik. Juga mencerna itu semua, agar aku tak salah
langkah dan cenderung ilmiah, bila aku hitung-hitung secara probabilitas, tingkat
kepercayaan aku bakal sukses dalam perjuangan merebut hatinya adalah 95% dengan
margin error hanya sebesar 5% saja. Apalagi belakangan hari aku juga
mendapatkan informasi bahwa dia telah putus dengan kekasih yang dahulu pernah
main ke rumahnya. Lengkap sudah, bukan?
Maka, saat
pagi telah bermandikan warna tembaga matahari, aku berkunjung ke rumahnya dan
kusampaikan maksud kedatanganku tentang rencana mereformasi desa agar lebih
maju dengan peduli terhadap pendidikan dan peran pemudanya. Sekaligus
memintanya jadi ketua.
“Kenapa
harus aku, kak? Juga, aku perempuan.”
“Karena aku
tidak hanya melihatmu cantik. Kamu juga punya kepedulian terhadap perubahan
desa ini. Kupikir Kartini juga telah lama menggaungkan emansipasi. Lalu kenapa
kau masih menyoalkan gender?” jawabku
Sepintas rona
pipinya jadi kemerah-merahan saat kupuji dia cantik. Aku berani mengambil
gagasan reformasi desa agar punya celah mendekatinya, sebab dalam informasi
yang kukumpulkan saat ia kuliah selain aktif di lembaga kampus juga
berkecimpung di organisasi pergerakan berpayung Nahdliyin.
Dia juga
menempatkan Kartini sebagai tokoh yang dikagumi dan role model pandangan hidup.
Selain menguatkan gagasan pentingnya pendidikan, aku bisa dengan leluasa meng-counter penolakannya yang menyoalkan
gender. Sekaligus menanamkan sugesti pada bawah alam sadarnya bahwa aku juga
mempunyai pandangan menempatkan perempuan sebagai subjek.
“Misi
pertama, sukses!” seruku membatin. Dia begitu antusias dengan gagasan reformasi
yang kucanangkan terhadap desa ini. Dan saat ini, senyuman itu, pandangan itu,
warna rona pipi itu dst.. begitu dekat mengusap hatiku dan membuat seisi
percikan warna-warni imajinasku berkelindang dan seketika memberiku sedikit
ruang masuk pintu khayalan.
Aku bayangkan
bagaimana kelak dia bukan hanya jadi kekasihku tapi juga sebagai istri. Bersama
kami membangun rumah di pinggiran kota. Jauh dari keluarga juga dari dengungan
gosip tetangga. Seperti yang kami idam-idamkan.
Pada pagi
hari, sebelum aku berangkat ke kantor dan ia belanja untuk mengisi bahan-bahan
dapur dari pasar, dia akan menyeduhkan secangkir kopi untukku. Sebuah aktifitas
yang kuimpikan sejak membaca novel Andrea Hirata “Cinta di Dalam Gelas”, karena citarasa secangkir kopi bagiku bukan
hanya ditentukan jenis dan tingkat sangrai biji kopi juga suhu air saat
disenduh tapi juga siapa yang menyeduhnya.
Kami bakal
menjadi keluarga yang harmonis. Zodiak kami, sagitarius dan gemini, dalam
ramalan antrologi dikategorikan cocok berpasangan karena memiliki kecenderung
ekstrovert dan easy going. Kami juga
sama-sama suka belajar, spontan dan humoris. Semua itu tampak serasi dan bakal
membuat kami menjadi keluarga bahagia.
Lepas itu
semua, kami tentu mimiliki sisi perbedaan dan kecenderungan persoalan lebih
dalam, meskipun kami bisa menjembataninya dengan saling mengerti. Yang mana aku
cenderung liberal dan dia fundamental. Apalagi saat dia tahu jika latar
belakangku adalah "Himpunan", musuh bebuyutannya saat ia menjadi
aktivis berpayung Nahdliyin.
Jadi pada
malam hari, mungkin saat kami duduk bersama dan berbeda dalam menyikapi isu
berita yang disiarkan televisi, kami bakal berdebat panas; saling tuding
kekeliruan, saling bantah perspektif, dan kembali membangun argumentasi
memojokkan lawan. Nah, saat debat telah mencapai titik sengit, dan karena kami
telah menembatani perbedaan itu dengan saling mengerti, tentu saja perdebatan itu
bakal berakhir dengan bercinta.
Akhh...
sebuah kehidupan yang mengasikkan. Adapun pada akhir pekan bakal kami tutup
dengan nonton film di bioskop, sambil bergandengan tangan dan melempar senyum
kebahagian. Relung hari-hariku bakal terisi sempurna dengan semua itu.......
namun khayalanku terputus saat kudengar derum suaru mobil berwarna putih
mendekat. Kulihat seorang pria keluar dari mobil dan disambut gadis pujaanku.
Pikurku, kenapa
kakaknya datang pada waktu yang tak tepat dan kenapa harus pulang kerja sepagi
ini? Sebelum kemudian, setelah tepat berhadapan, ia mengenalkan pria itu padaku.
“Kenalin, Kak. Ini Faiz,” ujarnya,
kami bersalaman, dan melanjutkan, “Pacar
baruku, Kak. Semalam kami baru jadian.”
Aku patah
hati dengan kesederhanaan tuturannya. Dadaku seperti terasa ada sebuah sembilu
mengiris deras dari atas dengan kepolosannya berucap. Aku tidak bisa bayangkan
bagaimana kekalahanku telah terjadi sebelum perang mulai aku genderangkan.
Bahkan aku juga tidak membayangkan bahwa margin error 5% itu terjadi semalam:
saat aku sibuk menganalisis, memetakan peluang dan menghitung probabilitas,
seorang pria datang dan menyatakan cinta.
“Bagaimana
agenda reformasi kita, Kak?”
“Apa kau tak punya buku sejarah? Soeharto telah lama tumbang. Reformasi sudah 22 tahun berjalan!!” jawabku sambil berlalu pergi. Sialan!!
Comments
Post a Comment