Eka Kurniawan, Filosof Yang Mengambil Jalan Sastrawan
Jika ada yang bertanya siapa saja pengarang
novel terbaik di Indonesia kepada saya? Selain Pramoedya Ananta Toer dan Ayu
Utami, nama Eka Kurniawan pasti menjadi daftar berikutnya dalam jawaban saya.
Untuk beberapa tahun belakangan ini nama
Eka Kurniawan di belantaran dunia sastra sangat ngehits sekali. Bahkan salah satu novel dari lelaki kelahiran tahun
1975 di Taksimalaya Jawa Barat ini pernah masuk dalam nominasi pengahargaan The Man Booker International Prize pada tahun
2016 lalu di Inggris. Novel-novel lainnya-pun sudah diterjemahkan keberbagai
bahasa asing.
Membaca karya novel Eka, sapaan akrab dari
Eka Kurniawan ini, bisa terbilang masih baru untuk saya. Baru di pengakhir
tahun 2015 saya membaca novel-novelnya. Novel pertama yang saya lahap habis
adalah “Cantik Itu Luka”, kemudian “Lelaki Harimau”, “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”, dan dituntaskan dengan
novel terakhirnya, “O”. Padahal
menurut artikel yang pernah saya baca, novel pertama Eka -Cantik Itu Luka- sudah terbit lama sekali. Pada tahun 2002.
Tapi saya tidak mau berdebat ataupun
menyalahkan waktu yang sangat lambat mengenalkan saya pada karya-karyanya. Toh,
pada tahun 2002 saya masih kelas 2 di bangku dasar dan baru bisa membaca
sedikit lancar ketika kelas 4. Disamping itu, kampung halaman saya termasuk
daerah yang tetinggal -Madura, dimana akses informasi dan buku-buku sangat
jarang sekali masuk. Jadi memamahi kondisi seperti ini saya bisa memaafkan persoalan
waktu.
Kembali lagi ke topik utama: Melihat sosok
Eka Kurniawan. Eka Kurniawan dalam penilaian saya yang cenderung sangat
subjektif ini menilai, kalau ia merupakan salah satu dari sekian banyak filosof
yang memilih jalan jihad di berbagai bidang. Salah satunya bidang sastra yang
dipilih oleh Eka Kurniawan.
Pandangan saya ini setidaknya
dilatarbelakangi berbagai hal. Salah dua dari sekian banyaknya hal itu: Pertama, Eka Kurniwan memang lulusan
dari jurusan Filsafat ketika berkuliah di UGM. Dengan alasan pertama ini, dunia
filsafat yang terkenal sangat rumit dan jelimetin otak itu telah Eka Kurniawan tekuni
sejak berstatus menjadi mahasiswa. Atau mungkin filsafat sudah Eka Kurniawan kenal
sejak masih remaja.
Melihat alasan pertama: Jadi jangan ditanya
persoalan filsafat itu apa kepada Eka Kurniawan. Kalau hanya berbicara tentang
pemikiran Plato yang sangat platonis dengan ide Arkitipenya itu, ia sudah pasti
paham bukan di luar kepala lagi tapi sudah di luar dengkul. Apalagi cuma
berdiskusi tentang empiresme dan materalisme Jhon Locke dan Karl Marx, atau
tentang gerak subtansial Aristoteles yang menyebutkan bahwa setiap benda/materi
bergerak menuju pada satu tujuan, dan pemikiran filosof lainnya lah, pastinya
oleh Eka Kurniwan akan dijawab dengan sekali seruput kopi tanpa menghisap
rokok.
Kedua,
Perihal mengapa saya menyebut Eka Kurniawan seorang filosof, melalui
pesan-pesan moral yang ia sampaikan dengan begitu amat filosofisnya lewat
novel-novel yang ia tulis. Mulai persoalan eksistensi nafsu, kebijaksanan,
spritualisme, kemanusian, motif, dan estetika. Masak, iya? Mari kita simak dan
bahas satu persatu.
Jika di antara kalian pernah mendengar nama
Rene Descartes, filosof yang dianggap paling masyhur di abad modern yang bahkan
namanya diabadikan di salah satu keilmuan Matematika bidang Logaritma
-koordinaat Cartesius- ini pernah menyusun dikotomi: res extensa (yang berpikir) dan res
cogitans (yang dipikirkan), lewat diktum terkenalnya: cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada), maka dalam novel Eka
Kurniawan: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (S.D.R.D.T), kita akan
temukan diktum: Manusia bernafsu, maka manusia ada. Lewat dikotomi cerita
tragedi si burung yang terlelap tidur amat panjang. Mengapa?
Sama seperti yang pernah disampaikan oleh
Widyanuari Eko Putra, nafsulah yang menggerakkan manusia demi meraih
kemodernan, kemajuan dan kepuasan. Tanpa nafsu, manusia bagai patung tidak
berguna jika nafsu tidak tumbuh dalam jiwanya. Meski bukan yang utama, tapi
nafsu memang selalu ingin menyala di jiwa manusia. Dengan kata lain, tanpa
nafsu manusia tidak akan punyai esensi kemusiaannya dan eksistensi manusia
meniada. Dari poin ini, Eka sudah menyampaikan ajaran filosofisnya sebagai
filosof. Apa ia mengambil aliran Empiris, Idealis atau Rasionalis? Kalian cari
tahu saja sendiri, ya. hehehe
Juga dari novel yang tertulis untuk 21
tahun ke atas ini (S.D.R.D.T), lewat
kisah si burung yang enggak bisa berdiri, Eka Kurniawan mencoba memberikan
pembelajaran pada kita tentang kebijaksanaan, ketenangan dan spiritualisme
bahwa, walaupun kita semua keluar dari burung dan manusia tidak akan bisa hidup
tanpa nafsu, tapi hidup akan hancur bila terus menerus memprioritaskan masalah
burung, nafsu.
Buktinya, lewat pengisahan burung yang
terus tertidur, Eka Kurniawan paham betul bagaimana membentuk karakter Ajo
Kawir si tokoh utama dalam novel ini, ketika menuntaskan semua urusan
masalahnya bukan malah terus menerus mendahulukan nafsu seksual, melainkan
memilih jalan sufi dari ketidakberdiriannya si burung.
Pada novel “O”, Eka mengajak kita pada satu
perenungan filosofis tentang: Apa itu manusia? Siapa itu manusia? Apa benar
manusia itu lebih baik daripada binatang? Lewat sepenggal kisah seekor monyet
betina bernama O yang berkeingianan menjadi manusia untuk kembali berjumpa
dengan kekasih hatinya, Entong Kosasih, yang menurut perkononan cerita dalam
novel ini telah berengkarnasi menjadi manusia: Kaisar Dangdut.
Melalui tokoh utama O, Eka Kurniawan menyindir
terhadap kemanusiannya manusia yang tingkah lakunya tidak jauh berbeda seperti
binatang, hingga sampai pada si kaleng sarden sekalipun. Sindirin kemanusian
ini termaktub dengan jelas lewat kalimat sebagaimana berikut: "Hidup
adalah perkara makan atau dimakan.... Kau harus memakan yang lain, sebab jika
tidak, kau akan dimakan." -Hal: 59-
Membaca novel ini kita bisa menilai, setidaknya bagi
saya pribadi, bahwa kesempurnaan manusia itu bukan dari sebagaimana bisa kita
mencapai titik kesempurnaan tersebut, melainkan kesempurnaan manusia adalah
sebagaimana bisa kita terus beritiqomah menjadi lebih baik. Itulah kesempurnaan
manusia.
Di novel lainnya “Lelaki Harimau”: Eka
Kurniawan membawa kita pada satu pemahaman bahwa sebelum menilai sesuatu kita
harus terlebih dulu melihat dan mengetahui motifnya. Motif-lah yang
melatarbelakangi segala perbuatan kita. Adapun dibalik motif kita tidak bisa
mempredikatkan baik-buruk pada setiap manusia, karena motif yang membuat
manusia multi interpretasi dalam bertindak.
Dari poin motif ini, bisa kita pikirkan
bagaimana Eka seolah ingin berbilang: Manusia itu tidak pernah melakukan
sedikitpun kejahatan. Adanya adat atau budayalah yang sebenarnya melegitimasi
manusia pada penilaian baik dan buruk. Atau dengan bahasa lebih sederhana
seperti ini : .... nilai-nilai moral yang diajarkan dalam kehidupan sehari-hari
ternyata terlalu sederhana, tidaak memadai untuk menilai kehidupan manusia yang
penuh liku-liku. (Katrin Bandel)
Sebagaimana contoh begini, kita bisa temui
pada belasan tahun lampau: Tahun 2009, ketika Syekh Puji (43 tahun) menikahi
gadis berumur 12, Lutfiana Ulfa. Media heboh mencemoh dan menganggapnya
melakukan tindakan tidak senonoh dan tabuh. Padahal kita sama-sama tahu kalau
dalam pernikahan itu yang paling penting adalah perbedaan kelamin bukan
perbedaan usia. Iya, enggak? Melihat percontohan ini, sebenarnya realitas
sosiallah (red: adat dan budaya) yang tidak menerima mereka, tapi motif
pernikahan dari cinta mereka tidaklah salah karena dilandasi saling menerima
satu sama lain walaupun terpaut umur yang jauh.
Adapun dari novel "Cantik Itu Luka", yang mengambil
tema waktu di akhir masa kolonial, yang diperankan perempuan cantik bernama
Dewi Ayu dengan ketiga anak gadisnya yang kesemuanya cantik, dimana ketika
mengandung anaknya yang keempat malah berharap lahir dengan keadaan buruk rupa
itu, karena memang demikianlah cantik: Luka. Oleh sebab itu, sejak saya sadar
bahwa saya ini benar-benar laki-laki dan mencoba untuk bersejati terhadap
kelaki-lakian saya, saya sudah memutus untuk tidak mempercantik diri.
Jika kalian tidak percaya bahwa cantik itu
luka atau melukai, tanya saja pada mantan calon pacar saya, Chelsea Islan, yang
akibat dari kecantikannya itu membuat luka kepada kaum adam yang berharap
meminangnya dengan ucapan bismillah sebelum mereka sadar dan terjatuh ketika
mendengar kabar bahwa si gadis cantik itu tengah digosipkan berparacan dengan
Reza Rahardian. Jadi bersyukurlah bagi kalian yang lahir tidak cantik.
Itulah dua perihal alasan mengapa saya
berkeyakinan jika Eka Kurniawan merupakan filosof yang mengambil jalan
sastrawan sebagai lahan jihadnya. Filosof yang selalu menaburkan dan
menyisipkan pesan-pesan filosofis di setiap isi dalam novel-novelnya. Teruntuk
alasan ketiga, keempat, kelima dan seterusnya? Karena saya maunya begitu:
memandang Eka Kurniawan sebagai seorang filosof. Ditambah juga, ketika menulis
artikel ini saya lagi kurang ada bahan kerjaan. Adapun untuk kebenarannya? Wallahu A’lam: Tanyakan kepada Eka Kurniawan
dan Tuhan, jangan kepada saya.
Comments
Post a Comment