Suratku Untuk Kartini

"Saya ingin sekali berkenalan dengan gadis modern, yang berani, yang dapat berdiri sendiri,... dengan langkah cepat, tegap, riang dan gembira. Penuh semangat dan keasyikan. Gadis yang selalu bekerja tidak hanya untuk kepentingan dan kebahagian dirinya sendiri, tapi berjuang untuk masyarakat luas dan kebahagiaan bersama... Berceritalah banyak kepadaku tentang cara kaum wanita di .... bekerja, berjuang, berfikir, dan merasai. Kami menaruh perhatian besar pada segala sesuatu mengenai Pergerakan Wanita" Sepenggal kalimat engkau tulis kepada sahabat penamu di Belanda, Stella. (Jepara, 25 Mei 1899)

Dengan berat hati aku tuliskan surat ini kepadamu, Raden Ajeng Kartini. Atau aku panggil dengan Kartini saja? Sebagaimana engkau pernah meminta ke sahabat penamu, Stella, memanggilmu. Tentang Raden Ajeng, dua kata di depan namamu hanya sebatas gelar saja, kan? Sebagaimana juga engkau jelaskan ke Stella. Engkau pun tak pernah mau dipanggil dengan sebutan Nona Kartini, karena engkau merasa tak berhak dengan panggilan itu. "Saya hanya orang Jawa", begitulah alasanmu merasa tak berhak itu. Atau kupanggil dengan Ibu Kartini? Meski-pun engkau tak pernah merasakan bagaimana menjadi seorang ibu karena kematianmu, tak jauh berselang beberapa saat setelah engkau melahirkan putra pertamamu. Tidak, aku panggil engkau dengan panggilan kartini saja. Biar lebih akrab dan usia kitapun juga tak beda, 25 tahun. Iya, aku panggil Kartini saja, sama seperti Pram menuliskan kisahmu di bukunya: Panggil Aku Kartini Saja.

Kartini, sebagaimana halnya lagu yang tercipta untukmu, Ibu Kita Kartini, kuakui engkau adalah Putri sejati, Putri Indonesia yang harum namanya. Keharuman namamu tentu tak lepas dari pemikiranmu yang agung dan jasamu yang mulia itu. Maka tidaklah heran ketika itu, di orde lama, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan, tanggal 02 Mei 1964, dengan menetapkanmu sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang sekaligus menetapkan hari kelahiranmu, 21 April, sebagai hari nasional untuk mengenang jasa-jasamu. Dan tentu juga, bagi masyarkat Indonesia, engkau merupakan protetipe atau fiqur ideal seorang wanita lewat simbol kesetaraan gender dan emansipasi wanita.

"Habis Gelap Terbitlah Terang", yang engkau tuliskan Kartini, berbentuk surat, ke sahabat-sahabatmu di Belanda, setelah kubaca habis, merupakan bukti betapa besar harapan engkau untuk melepaskan kaum wanita Hindia Belanda dari deskriminasi yang sudah membudaya. Mengingat kala itu engkau bercerita bahwa, wanita belumlah memperoleh kebebasan dari berbagai hal, seperti; memperoleh pendidikan, menentukan nasibnya sendiri, bahkan sampai menentukan jodohnya sendiri, dan lainnya. Bahkan, untuk mewujudkan harapan muliamu itu, aku juga mendengar kalau engkau sempat berencana hijrah ke Belanda dengan bermaksud menjadi seorang pendidik melalui beasiswa yang engkau terima di Sekolah Guru. Namun sayang, rencanamu itu digagalkan orang tuamu sendiri dan mencoba memutuskan harapanmu itu dengan menikahkanmu kepada Bupati Rembang. Meski kita tahu kalau harapanmu itu tak pernah mengikis sama sekali.

Kartini, kini sudah seabad lebih engkau meninggal dan harapanmu bermula. Tentang harapan-harapan muliamu itu Kartini, sekarang engkau bisa berpatut senang karena harapanmu sudah dituruti. Sudah banyak hal yang berubah daripada zamanmu, Kartini. Tentu berubah sesuai dengan keinginanmu Kartini. Tentang keinginanmu pada kebebasan kaum wanita, keseteraan gender dan emansipasi. Sekarang Kartini, iya sekarang, wanita sudah memperoleh pendidikan yang sama dengan pria. Tak hanya itu saja Kartini, kebebasan juga mereka peroleh seperti keinginan luhurmu. Nasib juga. Bahkan kalau engkau tahu Kartini, Negara kita, Indonesia namanya sekarang Kartini bukan Hindia Belanda lagi, pernah dipimpin oleh seorang wanita juga. Tentu engkau akan tidak merasa senang lagi, tapi juga bangga. Bangga karena wanita memiliki status sama terhadap pria yang di masamu tak pernah mereka peroleh. Tapi, Kartini, ada tapinya. 

Iya, ada tapinya, Kartini. Karena selain hal yang bisa engkau banggakan dan patut disenangi itu. Kini, akibat dari emansipasi dan keseteraan gender yang engkau agungkan itu, malah membuat wanita kini jauh tak lebih beradab daripada zamanmu. Kini Kartini, di tengah “kesuksesan” emansipasi dalam mengeluarkan para wanita dari rumah-rumah mereka, sederet persoalan menyertai. Interaksi wanita dan laki-laki yang makin intens di ruang publik kerap menimbulkan gesekan. Akibatnya Kartini, kisah-kisah perselingkuhan dan perzinaan tak henti menghiasi media massa: Skandal mesum Maria Eva dan Yahya Zaini. Skandal Antasari Azhar dan caddy golf Rani. Betapa menyedihkan jika kiprah wanita hanya sebatas selir di antara kaum adam itu, kan Kartini?

Bukan hanya itu saja, Kartini. Berkah dari emansipamu itu, kebebasan wanita kerap dijadikan daya tawar terhadap kaum lelaki. Hingga banyak rumah tangga berantakan karena gugat cerai istri. Seperti yang pernah diungkapkan Menteri Agama Suryadharma Ali. Ia mengaku prihatin terhadap tingginya kasus cerai gugat (Istri minta cerai). Di Riau Kartni, angka gugat cerai mencapai 82 persen setiap tahun. Berkahnya pula Kartini, kini wanita menjadi lebih merasa lebih pantas dalam mencari keuangan daripada lelaki. Tentu akibatnya lagi Kartini, mereka lupa pada tanggung jawab utamanya di rumah tangga sebagi istri. Akhirnya mengasuh anak diserahkan kepada orang lainya.

Maaf. Kartini, maaf. Maaf bila kutulis surat ini dengan amat jujur dan menyakitimu. Kalau dulu, wanita di zamanmu, selalu memakai pakaian yang sopan serta rapi. Mengetahui persis apa bagian badan yang harus dijaga dan tidak dipamer-pamerkan. Sekarang Kartini, sekarang, jika engkau tahu wanita sekarang, banyak yang menonjolkan bagian badan yang tidak seharusnya diumbar dengan cara memakai pakaian yang minimalis atau ngepres sekali. Ketika ditegor, mereka bilang itu hak saya dan ini kekebasan saya, Kartini. Bahkan ada hal lebih konyol lagi Kartini, jika engkau dianggap sebagai wanita "Habis gelap terbitlah Terang". Kini, wanita sekarang, dipanggil dengan sebutan "Berangkat gelap pulangnya terang. Dan mereka, wanita dalam panggilan itu, mengatasnamakan emansipasi, Kartini. Emansipas dan kebebasan.

Tak perlu engkau menangis ketika mendapati surat ini, Kartini. Tak usah. Ini bukan salahmu. Bukan. Mereka (wanita sekarang) saja yang salah memahami maksudmu. Cukup sekian dulu ceritaku Kartini. Sebenarnya masih banyak yang ingin aku ceritakan padamu. Cerita tentang wanita sekarang. Masih. Tapi untuk sementara ini cukup sekian dulu. Lain waktu aku ceritakan kembali tentang wanita sekarang mengatakan kebebasannya, emansipasi dan kesetaraan gender. Dan alangkah lebih bahagia tak terkiranya bagiku jika engkau sudi membalas surat ini. Karena aku ingin mendengar tentang wanita seperti apa yang sebenarnya engkau harapkan dalam emansipasimu itu.

Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

Contoh Membuat TOR yang Baik dan Benar

Satu Paragraf: Apa Aku Bahagia?

Sekilas Sejarah Penyusunan/Kelahiran Khittah Perjuangan HMI

Absurditas: Bunuh Diri Filosofis