Sang Kawan Yang Memutuskan Hijrah
Tahun 2016, di penghujung waktu sebelum masuk
ke bulan April. Berawal dari persimpangan jalan Himpunan, di awal periode
ketika menjadi pengurus. Pada ruang depan yang biasanya ditempatkan sebagai
ruang tamu dan diskusi oleh para takmir yang tinggal di sekretariat itu, dia
diam, sendirian, berbaju biru dongker dengan terusan rok berwarna kehitaman.
Tak ada orang lain selain dia di ruang depan pada waktu itu. “Lagi menunggu seorang,” katanya menjawab kala salah satu takmir di sekretariat
bertanya.
Sembari asik memainkan handphone, aku perhatikan
dia dari ruang tengah. “Kriinnggg...,”
sebuah notifikasi penanda pesan dari handphonenya berbunyi.
Tak ingin menunggu jeda waktu, jari-jemarinya
mulai sibuk menenun kata demi kata sebagai pesan balasan. Dalam perhatianku,
dia seolah berpacu dengan waktu. Pesan yang dia kirim dan kemudian terbalas,
dengan cepat pula dia balas. Dan terkadang, dalam permainan saling mengirim
pesan itu, dia bertingkah senyam-senyum sendiri. Merasa kasihan karena sendirian
berada di ruang depan, aku hampiri dia dan mengambil posisi duduk yang berlawanan
arah. Dia senyum, dan kubalas sapaan senyumnya dengan senyum juga.
Waktu itu kita masih belum mengenal nama.
Jadi, aku tak langsung menegur dan apalagi sampai hati menanyakan mengapa dia
bertingkah demikian –senyam-senyum sendiri. Tapi, walaupun belum mengenal satu
sama lain, aku tahu dan bisa aku tebak, kalau ada orang bertingkah senyam-senyum
sendiri, itu berarti sedang kasmaran. Sebab itu tak perlu aku berbasa-basi
menanyakan alasan “mengapa” untuk memperoleh jawaban. Pesan tersirat dari
senyum itu sangat klise sekali untuk dibanyak-tafsirkan. Pun, selintas kesan
pertama yang aku peroleh darinya tidak jauh berbeda dengan remaja kekenian pada
umumnya yang haus asmara di masa muda.
Tak berselang berapa lama, seorang yang
ditungunya pun tiba, dari pengurus juga ternyata. Lantas aku tinggalkan mereka
berdua di ruang depan. Membahas atau membicarakan apa, aku tidak lagi tahu. Dan
kemudian aku kembali pada aktivitas sebelumnya di ruang tengah, baca novel.
Begitulah sepintas bila aku mengulas kembali ingatan tentang pertemuan kali
pertama mengenalnya, sebelum pada akhirnya aku tertarik mendengar cerita-cerita
yang dia sampaikan tentang pilihan hidup yang dia pilih.
Selang poros waktu terus memacu dan melaju,
di mana bulan-bulan pada hitungan kalender terus berubah mengikuti perputaran
bumi, sama seperti awal bertemu dan mengenal, kesan pertamaku hingga memasuki
pertengahan periode kepengurusan belumlah berubah. Dia masih tak ada bedanya
daripada sebelumnya, dan tak ada bedanya pula bila aku coba bandingkan dengan
kader-kader akhwat di organisasi Himpunan
yang kami tempuh.
Kala itu dia datang ke sekretariat, dan aku berada
di ruang depan membaca satu buku. Tanpa salam terlebih dahulu, dan melihatku
membaca buku tentang "emansipasi" Kartini, sembari kemudian mengambil posisi duduk yang
biasa dia tempati, dia sambar aku dan mengajak berdiskusi tentang emansipasi.
Kata-katanya tentang emansipasi membuatku
takjub, terlepas aku belum memahaminya secara penuh. Bobroknya nilai-nilai
moral yang dia sampaikan bahwa laki-laki selalu ditempatkan lebih unggul dari
perempuan, menggugahku. Adapun dalam pandangan umum yang selalu dipahami kalau perempuan
diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, dia katakan telah membentuk stigma dan
sekat bahwa perempuan diciptakan bukan dari satu proses penciptaan yang sempurna
seperti halnya laki-laki. Sebab itu, terangnya, “Perempuan harus mesti menerima kenyataan hidup di bawah naungan dan
perlin-dungan laki-laki bagai sang induk.”
“Lantas
kau inginnya bagaimana?” tanyaku begitu penasaran. Sembari dia masih diam,
kulihat air muka yang tergores di wajahnya seperti berpikir untuk mengolah
tenunan kalimat jawaban yang tepat.
“Aku
ingin ada satu perubahan dari bobroknya nilai-nilai moral itu. Aku ingin
kesetaraan gender, inginkan perempuan dipandang sama seperti halnya laki-laki.
Jika tidak, aku akan mengubah nilai-nilai moral itu, setidaknya dalam sistem nilai
moralku sendiri. Tak peduli orang akan memandang seperti apa.”
---oOo---
Oktober, 2016. Pada perbatasan waktu memasuki
berakhirnya periode kepengurusan, di suatu tempat yang belum pernah kami
jamah.
Waktu itu dia juga ikut serta dalam agenda
rutin Rapat Pimpinan Komisariat II, di Solo, Jawa Tengah. Pakaian yang dia
kenakan sangat syar'i, berjubah raksasa dengan terusan jilbab superbesar dan
longgar, sangat beda dari sebelumnya. “Hilang
ke mana pakaian modismu?” pikirku. Sapuan bedak dan lispitk yang biasa
terulas di wajahnya pun hilang entah ke mana. Dia lebih natural –dan tentu saja
menambahkan kecantikannya yang begitu alami. Pun dia tutupi pula telapak
tangannya dengan sapu tangan berwarna hitam. Padahal siang itu hari terbilang
panas. “Ini anak kenapa?” tanyaku
lagi dalam pikiran tambah penasaran dan sekaligus bingung.
Di sela-sela waktu istrirahat, di halaman
depan, bersama empat pengurus lainnya, aku sengaja mengambil satu tempat duduk
di sebelah kanannya. Sembari menunggu waktu, yang mana buku tenatang Kartini itu
juga telah kubaca habis, aku tawarkan diskusi perihal emansipasi.
Aku tahu dia adalah perempuan yang
menghendaki "perubahan sosial" yang mana sampai saat ini kaum laki-laki masih selalu
ditempatkan sebagai sosok sentral di tengah-tengah sosial masyarakat daripada
kaum perempuan. Sebab aku tahu itulah kenapa kudagangkan diskusi emansipasi
padanya. Tak dinyana, tawaran emansipasiku untuk menyetarakan hak yang sama, dia
beli dengan gagasan tak seperti dulu.
“Perempuan
dan laki-laki sudah ada porsinya masing-masing. Tak bakal sama,” terangnya.
“Antara perempuan dan laki-laki tidak
bisa setara dalam semua hal, karena semuanya sudah ada porsinya masing-masing.
Tapi itu bukan lantas persoalan ini menjadikan perempuan berada di bawah
laki-laki, tidak. Sama seperti laki-laki, Islam sangat memuliakan kaum perempuan.”
“Dan Allah,” lanjutnya menerangkan, “Telah menempatkan pembagian dalam persoalan
itu dengan sangat begitu adil. Jadi, penciptaan manusia oleh Allah, baik perem-puan
maupun laki-laki, telah diberi tugas masing-masing; misalnya laki-laki wajib
menafkahi perempuan tapi tidak perempuan, namun perempuan harus taat pada
laki-laki karena telah menafkahinya.”
Seraya terdiam tak tahu arah dan tak percaya
dengan lontaran gagasan barunya, kuperhatikan dia secara seksama, sembari
mencari-cari sosok yang pernah kukenal dan kuakrabi dahulu. Hilang kemana
gagasan ide kesataraan gender yang pernah dia sampaikan padaku? Hilang kemana
komitmennya yang ingin meruntuh bobroknya nilai-nilai moral itu? Ditambah
dengan pakaian jubah raksasa dengan terusan jilbab superbesar dan longgor, kemana
pakaian super modis biasa dia kenakan? Dia pun sekarang tampak lebih natural,
tak berbedak dan berlipstik. Dia tak lagi seperti yang kukenal sejak pertemuan
itu, seperti telah tertelan dalam kepingan salju.
---oOo---
Tahun 2017, bulan Maret, yang mana waktu
telah melepaskannya meninggalkan Yogyakarta. Kini dia tak hanya berjubah
raksasa, jilbab superbesar dan begitu longgar, tapi telah bercadar. Satu
terobosan perubahan diri yang membuatku, sebagai temannya, tercengang dan tidak menyangka
kalau dia akan mengambil jalan hidup seperti itu.
Tak hanya itu. Yang mana periode masa kepengurusan
telah berakhir, kala aku mencoba mengenang masa-masa periode kepengurusan
dengan memposting salah satu foto di media sosial, di mana waktu itu kami menjadi
utusan pengurus untuk mengikuti musyarawarah Himpunan tingkat Badan Koordinator
Cabang di Semarang, yang mana kala itu dikawani oleh Ketua Umum, Bendahara
Umum, Ketua Bidang Kajian dan Pelatihan, dan serta dua staff lainnya, selang
berapa jam setelah postingan itu terunggah, dia tiba-tiba mengirimkan sebuah
pesan singkat padaku.
Dalam pesannya itu, dia katakan kalau bisa
postingan itu dihapus. Atau paling tidak, kata dia, usahakan jangan lagi memposting
foto di mana dia memperlihat bagian wajah dan telapak tangan. Aku tak habis pikir
kenapa wajah dan telapak tangan tidak lagi diperbolehkan. “Kenapa?” tanyaku membalas. Tapi, tanyaku dia balas singkat, “Tidak apa.”
Dulu, seusai dari penghelatan agenda di Solo,
memang ada yang bilang padaku bahwa dia berusaha menghijrahkan diri. Yakni,
sebuah proses yang mana dia ingin meninggalkan dan menjauhkan diri dari sifat
duniawi yang menghambatnya memperoleh Ridho Allah. Tapi aku tak menyangka dia akan
seserius itu.
Pun, pernah pula aku sempat mendengar dari salah
satu pengurus yang juga menjadi takmir, bahwa perubahan awal di mana dia
memutuskan hijrah diawali saat mulai dekat dengan laki-laki. Alasan apanya saat
aku tanya, tidak tahu. Adapun salah satu teman akrabnya di kepengurusan, ketika
kami mulai sibuk membuat laporan pertanggungjawaban pengurus di salah satu kafe
di Yogyakarta, katanya padaku, demi kemantapan niatnya berhijrah, dia sampai
memutus-lepaskan mimpinya melanjutkan kuliah (S2) di luar negeri, dan memilih
memantapkan hati mengikuti jalan Allah di sebuah pondok pesantren di Kota Kembang:
Program Tahfidz al-qur-'an, tapi, aku tak tahu bahwa keputusan berhijrah yang
dia pilih telah sangat mantap.
Jauh hari sebelum aku mengetahui kemantapan
niatnya lewat cerita yang kelak kemudian dia sampaikan, bersama pengurus
lainnya, aku jadi teringat bagaimana seringnya aku mengolok-ngoloknya dengan
kalimat: “Kita gagalkan Indonesia menutup aurat. Kita gagalkan Indonesia berhijab.
Kita gagalkan hijrahnya Y........”
Kini, setelah respon pesan itu dia kirim, dan
bagaimana dia tetap konsisten berjubah raksasa, berhijab superbesar dan
longgor, ditambah bercadar dan serta mengubur mimpi-mimpi kuliah S2 di luar
negeri dengan menggantikannya sebagai santri di pondok pesantren, aku mulai tertarik
mencari kebenarannya cerita mengapa dia sampai memutuskan berhijrah dan
bagaimana perjalanannya ketika berhijrah. “Pasti
tidak mudah,” pikirku.
Kali ini aku tidak ingin mendengar ceritanya
dari orang lain lagi, tapi langsung darinya, meskipun aku tak begitu yakin dia
bersedia menceritakannnya atau tidak. Karena, aku tahu dia terbilang orang yang
pendiam. Tapi, apa salahnya dicoba. Memang agak sulit untuk menyakinkan kalau
aku memang tertarik bagaimana kebenaran hijrah yang dia pilih. “Untuk apa?” dia bertanya. Tapi, setelah
sedikit dipaksa, dan bahwa aku bilang kalau aku ingin menulis satu cerita yang
sampai saat ini belum menemukan tema kisah menarik, alhamdulillah, akhirnya dia bersedia juga.
“Surga
Allah tidak mudah dan murah,..........,” sepenggal kalimat yang dia
utarakan sebagai pengawal cerita yang dia sampaikan padaku.
Namun, dia kembali bercerita, “Hidayah Allah tidak akan datang dengan
sendiri. Kita harus berusaha. Kita harus menjem-put hidayah itu. Jalan menuju
pada Allah memang terbilang berat, tapi aku harus tabah dan berlapang
dada. Justru, semakin berat cobaan yang
diterima berarti Allah semakin mencintaiku. Bagaimana aku harus meyakinkan
kepada Ayah dan Ibu tentang jalan hidup yang ingin aku ambil. Untuk hasilnya,
biarkan Allah sendiri yang memutuskan jalan hidup yang ingin aku ambil menuju
pada-Nya. Hanya hamba-Nya yang tabah dan istiqo-mahlah akan sampai ke
surga-Nya.”
---oOo---
Tahun 2018, yang mana aku tak tahu lagi dia
berada di mana dan dia juga tak tahu aku di mana: “Bagaimana kabarmu sekarang, Kawan? Masih ingatkah kau tentang diskusi
emansipasi yang kita debatkan dahulu? Masihkan kau akan memperjuangan bobroknya nilai-nilai struktur sosial masyarakat yang sampai saat ini, ternyata masih saja menempatkan kaum lak-laki sebagai sosok sentral? Tapi, teruslah berjalan dengan keyakinan
yang kau pilih –hijrah, karena seperti katamu, tiap orang punya jalanya sendiri, dan ‘Surga Allah tidaklah mudah dan
murah.’”
Comments
Post a Comment