Fenomena Bangkalan: Tentunan Kota Santri Terserang Narkoba
Di tengah luas dan bertebarannya
pulau-pulau Indonesia yang tidak dapat dihitung melalui jari-jemari tangan dan
kaki, di sebelah timur laut pulau Jawa, kira-kira berada pada titik
khalutulistiwa 112 dan 144 bujur timur, terletaklah sebuah pulau gersang dan
begitu asin dengan ukuran luas mencapai kurang lebih 5.168 KM2.
Memang tidaklah begitu besar pulau itu,
malah lebih kecil daripada pulau Bali. Tetapi teruntuk kompleksitas
probelmatika kebangsaan tidak dapat dipungkiri besarnya. Mulai dari ekonomi,
politik, dan sosial yang menyangkut perihal generasi muda.
Madura nama pulau itu. Memiliki jumlah
penduduk yang hampir menyentuh angka 4 juta dan terbagi menjadi 4 bagian
Kabupaten. Salah satu dari 4 Kabupaten itu adalah Bangkalan.
Mendapakan julukan Kota Sapi, Bangkalan
juga disebut sebagai Kota Santri. Tentu sebutan Kota Santri tidak terlepas dari
banyaknya pondok pesantren dan sosok Muhammad Kholil bin Abdul Lathif, atau
lebih dikenal dengan nama Syaikhona Kholil itu.
Menurut Mushafi Miftah dalam tulisannya
yang berjudul “Kota Santri, Simbol Peradaban Indonesia”, menyebutkan bahwa:
“Istilah Kota Santri tidak boleh hanya disematkan pada Kota yang memiliki
banyak pesantren. Akan tetapi harus lebih dari itu, yakni haruslah merujuk pada
karakteristik masyarakat yang sangat kental dengan kegiatan keagamaan dan
prilaku sosial yang kental dengan nilai-nilai moralitas.”
Tidak puas dengan sebutan Kota Santri
sebagai julukan, tertanggal pada 24 Agustus 2015 melalui kabar online yang penulis baca, kurang lebih
sekitar 10 ribu santri dan elemen masyarakat Bangkalan datang ke Kantor DPRD
Bangkalan dan mendesak para dewan untuk menjadikan Bangkalan sebagai Kota
Dzikir dan Sholawat.
Tentu alasan para jamaah aksi tersebut
terbilang rasional, dan tidaklah disebut serakah julukan untuk Bangkalan.
Bagaimana tidak, sebagai Kota Santri yang
seharusnya setiap elemen masyarakatnya mencerminkan nilai-nilai tingkah laku
sosial yang terkandung dalam ketentuaan aturan boleh tidaknya atau dosa
tidaknya dari agama ini, malah angka peredaran dan penggunaan narkoba di Bangkalan
begitu tinggi.
Di lain tempat dan waktu (1/4/2017), untuk
memerangi peredaran dan penggunaan narkoba yang terus berkembang biak di
Bangkalan, 5 ribu lebih santri lainnya mendeklarasikan diri menyatakan Anti
Narkoba.
Bagaimana tidak dapat dikatakan bahwa
narkoba telah menyerang dan mengoyak-ngoyak disetiap tenunan Kota Santri ini,
jika setiap waktu, narkoba selalu beredar ke tangan-tangan masyarakat?, yang
disamping hal lainnya masyarakat Bangkalan mengadakan rutinitas pengajian dan
tahlilan.
Terhitung sejak tahun 2015 yang begitu
ramainya berita nasional mengabarkan, bahwa polisi berhasil menggerebek salah
satu kampung di Bangkalan yang dikenal dengan sebutan kampung narkoba itu,
dalam 5 hari sudah berhasil meringkus 20 lebih pengedar. Selama tahun 2015 pula,
Polres Bangkalan, telah mengungkap sedikitnya 54 kasus Narkoba.
Hingga pada tahun selanjutnya, 2016 dan
2017, peredaran dan penggunaan narkoba
masih merajalela menyerang dan mengoyak-ngoyak setiap sendi lini sosial dan
juga membuat tenunan Kota Santri sebagai jati dirinya mulai kusut.
Fenomena ini tentu menjadi sebuah
kontradiksi kultur sosial yang seharusnya tidak masuk akal namun terjadi.
Yakni, Kota Santri yang seharusnya mencermin nilai-nilai moral agama tapi
masyarakatnya bertingkah laku di luar ketentuan.
Bahkan menurut Badan Narkotika Nasional
Provinsi (BNNP) Jawa Timur, menerangkan bahwa data penyalahgunaan narkoba di
Bangkalan -yang juga mengambil data dari Sampang- begitu mengejutkan dan
memprihatinkan. Dari jumlah sampel yang dites oleh BNNP Jawa Timur, 90 persen
sampel positif menggunakan narkoba. Sampel tersebut diambil mulai dari pelajar,
PNS atau pejabat, pengendara, serta ibu rumah tangga.
Memang ada tindak lanjut dari pencegahan
terhadap narkoba, dimana pemerintah Kabupaten Bangkalan telah bekerjasama
dengan Gerakan Mencegah Daripada Mengobati (GMDM) Kepulauan Madura dan
sekaligus Pengasuh Ponpes Raudlatul Mutaallimin Al Aziziyah. Tetapi, pencegahan
itu tidak bisa dikatakan efektif dan efesien, karena akal permasalahannya bukan
pada penyadaran saja, melainkan kemiskinan pula.
Perihal alasan ekonomi yang biasa
disampaikan para pengedar ketika ditangkap, bagi penulis, bukanlah menjadi
alasan klasik, melainkan sebagai konsekuensi logis dari ketidak-mampuan pemerintahan
Bangkalan memberi dan membuka peluang kerja yang memadai. Iya, ketidak-mampuan
pemerintahan menekan angka kemiskinan yang ada di Bangkalan sangat rasional.
Tentu agar kita tidak saling menyalah-benarkan siapa yang salah dan benar.
Pada tahun 2012, angka kemiskinan mencapai
24,62 persen atau sebanyak 229.009 jiwa. Pada tahun 2013 yang mencapai 217.400
jiwa atau 23,14 persen. Kemudian 22,38 pada tahun 2014 menjadi sebesar 22,57 %
pada tahun 2015 atau naik sebesar 0,19%. Ditambah, (04/042017), Ketua DPRD
Bangkalan Imron Rosyadi, menyampaikan bahwa angka kemiskinan di Bangklan sangat
memprihatin, dan mencapai 22, 43 % dari jumlah populasi yang mencapai sekitar 1
juta jiwa.
Meskipun kurang begitu efektif dan efesien
mencegah peredaran dan penggunaan narkoba karena permasalahan perekonomian yang
tidak dapat ditanggulangi, memang dengan hadirnya GMDM bisa menjadi angin segar
untuk sementara waktu. Karena dengan adanya gerakan ini, mampu sedikit demi
sedkit memberikan pengertiaan betapa bahayanya narkoba bagi kesehatan kita.
Penulis yang ikut serta menyaksikan
fenomena sosial yang terjadi di Bangkalan saat ini, sangat terbilang prihatin
di tengah dirinya dijuluki sebagai Kota Santri. Bertambah lagi, beberapa bulan
lalu (14/2/2017), Kapolres Bangkalan menjaring bocah berusia 12 tahun dalam
Operasi Tumpas Narkoba Semeru saat melayani para pemakai sabu-sabu. Bocah itu
ditangkap bersama bandarnya yang masih berusia 22 tahun.
Selain secara khusus fenomena ini harus
menjadi PR yang begitu serius bagi pemerintahan Bangkalan dan segenap elemen
masyarakatnya, kita pun secara besama harus ikut serta dalam menuntas-habiskan
narkoba dari belenggu bangsa ini. Sebab, penyalahgunaan peredaran dan
penggunaan narkoba masih tinggi di tahun ini. Data Kementerian Sosial
menyebutkan, dari 248 juta penduduk dunia yang terlibat narkoba, 5 juta berasal
dari penduduk Indonesia.
Teruntuk Bangkalan, tentu dengan maraknya
peredaran dan penggunaan narkoba ini tidak hanya merusak tenunan julukan Kota
Santri saja, melainkan integritas dan masa depan Kabupaten ini bisa dikata akan
mempunyai masa depan yang suram. Karena serangan narkoba juga menyerang
genarasi muda.
Semoga penuntasan dan pemberantasan yang
dilakukan oleh pemerintahan Bangkalan tidak hanya dari kulitnya, yang hanya
menangkap pengedar dan pengguna narkoba saja. Melainkan sampai keakar
persoalannya, yakni tingginya angka kemiskinan.
Comments
Post a Comment