Cerita Seorang Ibu Kepada Anaknya Tentang Mendiang Suaminya
Sore
itu hujan turun deras sekali. Hari sudah makin gelap, namun tidak ada
tanda-tanda hujan akan berhenti. Sudah semenjak ashar tadi hujan turun. Mungkin
jalanan sekarang mulai becek karena air hujan, atau banyak buah mangga
berjatuhan di sekitar pohonnya karena goyangan angin yang tadi sempat bertiup
kencang.
Mungkin
pula, di rumah para penduduk desa mulai banyak yang menggerutu karena padinya
yang baru ditanam tenggelam akibat banjir yang melanda sawah mereka. Lalu,
siapa yang masih berbahagia di tengah hujan yang turun deras sekali ini?
Ada
beberapa orang yang mengatakkan bahwa di saat seperti ini –hujan, kodok adalah makhluk yang paling bahagia. Mereka menganggap bahwa suara kodok saat hujan adalah
nyanyian kebahagiaan. Tapi laki-laki yang baru tiba dari Jogja itu sangsi terhadap penganggapan tersebut.
Apa mereka mengerti bahasa kodok –binatang? Bukankah hanya Nabi Sulaiman dan
Paduka Angling Dharma yang bisa mengerti bahasa binatang?
“Mereka pasti hanya menebak saja,” pikirnya laki-laki itu. Mereka mengira bahwa suara yang
dikeluarkan kodok saat hujan adalah nyanyian kebahagiaan. Padahal siapa yang
tahu jika kodok itu sedang menangis? “Akhh...manusia
memang seringkali egois dalam menilai sesuatu, bahkan ketika ia menilai sesama
manusia,” gerutunya kesal.
---------------------
Hujan
turun semakin deras. Tetapi angin tidak lagi bertiup kencang dan juga petir tidak
lagi bergemuruh hebat. Hanya suara rintikan hujan dan bau basah tanah yang menjadikan
suasana sore itu menjadi hidup. Dalam suasana seperti ini apa yang lebih indah
selain mengungkit sebuah kenangan? Itulah mungkin yang ada di benak ibu tua
yang tinggal di sebuah rumah tua yang terletak di sebelah timur sungai Bengawan
Solo.
Dengan
album foto keluarga di tangannya, ibu tua itu menatap gambaran masa lalu dengan
tatapan kosong, dan duduk di atas ranjang tua yang tidak akan mungkin bisa
ditemui lagi di toko-toko tempat jualan perkakas rumah.
Rambutnya
yang sudah beruban ia biarkan terurai. Wajahnya pun sudah sangat keriput seakan
menandakan bahwa ia adalah nenek dengan banyak cucu. Padahal ibu tua itu hanya
mempunyai tiga cucu. Diantara sepuluh anaknya yang telah ia lahirkan, baru
empat yang menikah. Sekelejab, ibu tua itu tiba-tiba merasakan dirinya terlempar
ke ruang masa lalu dan langsung mengingat mendiang suaminya yang telah
meninggalkannya enam tahun lalu, bersama dengan anak lelakinya yang baru saja
tiba dari Yogyakarta.
Dari
bibirnya yang pucat, keluar sebuah cerita tentang mendiang suaminya.
“Bapakmu
adalah orang pemberani. Pantas kalau ia mendapatkan posisi terhormat di desa
ini. Keberanian bapakmu itu hanya didasari satu hal: Kebenaran. Kamu tentu
ingat, Nak, ketika bapakmu sedang di rumah dan tiba-tiba didatangi dua orang
yang ingin mengambil alih kepemilikan sekolah dan masjid, tidak hanya berdua,
mereka membawa ratusan orang di luar rumah yang disuruhnya melayakan aksi
demonstrasi, tetapi oleh bapakmu, mereka semua dihadapi dengan tetap tenang. Ia
hadapi sendiri orang-orang itu.
Tentu,
Nak, tentu bukan dengan berkelahi. Karena berkelahi adalah tindakan orang-orang
yang berakal pendek. Oleh bapakmu, Ia jelaskan tentang status sekolah dan
masjid bahwa itu semua adalah milik umat, sehingga tidak boleh dimiliki oleh
pribadi atau oleh satu kelompok tertentu.”
Anaknya
yang baru tiba dari Jogja itu hanya mengganguk kecil, sembari meraba kenangan di
mana bapaknya pernah didatangi segerombolan banyak orang di rumahnya.
“Keberanian
bapakmu sudah terlihat sejak dia belum menjadi siapa-siapa, Nak,” Ibu tua itu
melanjutkan ceritanya. “Bapakmu dulu pernah melerai orang yang sedang
bertengkar hebat di tengah jalan. Padahal mereka berbadan tinggi besar dan sedangkan
bapakmu kan kecil. Tetapi Ia tidak takut, Nak. Ya, karena alasan benar itulah
kenapa bapakmu berani.”
---------------------
Hujan
mulai mereda. Suara kemrecehnya terdengar beriringan dengan deru motor tua di
luar rumah. Ternyata orang-orang sudah mulai beraktivitas kembali di jalan.
Mungkin mereka adalah orang-orang desa seberang yang baru pulang bekerja.
Dalam
perjalanan pulang, mereka yang mengambil jalan melewati desa ini, karena jarak
tempuh menuju rumah lebih dekat, walaupun mereka harus menyeberangi sungai Bengawan
Solo yang pastinya saat musim hujan seperti ini debit airnya sedang naik-naiknya.
Mereka sebenarnya bisa mengambil jalan memutar, tetapi itu membutuhkan waktu
setidaknya satu jam lebih untuk sampai kembali dari tempat kerja mereka.
Sedangkan kalau melalui desa ini, hanya butuh waktu 20 menit.
---------------------
Sambil
melihat kembali foto-foto yang masih terawat dengan baik, ibu tua itu kemudian
kembali melanjutkan cerita tentang mendianga suaminya.
“Walaupun
dia menjadi orang yang terhormat dan terpandang, tidak hanya di desa ini dan
bahkan sampai Kabupaten, bapakmu tidak pernah menduduki jabatan yang penting. Baik
itu di partai maupun di desa atau di kabupaten ini. Bapakmu lebih memilih
menjadi ketua takmir masjid. Dahulu memang pernah Bapakmu diminta menjadi
pengurus partai hijau, tetapi ia menolak. Tawaran untuk menduduki jabatan itu
tidak datang sekali tetapi berkali-kali, namun ia selalu menolak.
Meskipun
bukan pejabat, Nak, rumah Bapakmu ini sering dikunjungi pejabat. Bahkan Bupati
pun pernah datang ke rumah ini. Dulu rumah ini tidak pernah sepi, karena bapakmu
dekat dengan banyak orang. Dari yang pejabat sampai masyarakat biasa.”
Ibu Tua
itu lantas mencoba membangunkan ingatan anaknya ketika di akhir tahun 1990-an,
ketika Bupati H. Atlan datang ke rumah itu untuk memberikan bantuan kepada
salah satu penduduk desa yang keluarganya menjadi korban dari bencana banjir:
“Bukan
di rumah Kepala Desa, Nak, tetapi di rumah inilah Bupati itu memberikan bantuan
pada penduduk desa,” kata ibu tua itu kepada anaknya.
---------------------
Hujan
benar-benar telah berhenti. Tetapi di luar, gelap mulai menghampiri dan
perlahan-lahan mulai masuk kedalam rumah. Lampu-lampu rumah pun mulai
dinyalakan untuk mengusir kegelapan. Suara Muammar melantunkan ayat suci Al
Qur’an mulai terdengar dari corong masjid yang berada tidak jauh dari rumah tua
itu. Dan ibu itu masih dengan cerita tentang mendiang suaminya:
“Nak,
kalau bapakmu terkenal, itu karena perjuangannya. Sebab itulah Bapakmu dikenal
sebagai seorang pejuang di desa atau kota ini. Kau ingat, Nak? Ketika
pengadilan memenangkan gugatan dari salah satu kelompok yang menginginkan sekolah
itu untuk dimiliki secara pribadi, oleh Bapakmu, tanah yang ia miliki, langsung
diwakafkan untuk dibangunkan sekolah.
Itulah
mengapa aku sering mengatakan padamu kalau Bapakmu berjuang itu tidak
tanggung-tanggung, Nak. Apa yang ia miliki akan ia keluarkan demi umat. Ia juga
pernah mewakafkan sebidang tanah untuk pembangunan sebuah masjid. Makanya
tugasmu sekarang adalah melanjutkan perjuangan bapakmu. Berjuang demi
kepentingan umat, bukan kelompok. Berjuang atas nama kebenaran.”
---------------------
Azan
magrib telah berkumandang. Ibu tua itu pun beranjak dari ranjang tuanya untuk
mengambil air wudhu dan mengakhiri cerita tentang suaminya. Sebelum kaki
menyentuh lantai, datanglah anak perempuannya yang terakhir untuk mengadu.
“Ibu,
besok saya mau balik ke Surabaya. Kuliah sudah mulai masuk.”
Ibu
tua itu pun kembali dengan tatapan kosong ketika mendengar aduan anak bungsunya,
dan kembali membayangkan rumahnya akan kembali sepi. Rumah yang dahulu selalu
ramai itu perlahan-lahan mulai ditinggalkan penghuninya.
Sembari
mengingat mendiang suaminya, Ibu tua itu juga membayangkan kalau anak lelakinya
yang sedari tadi mendengar ceritanya juga akan menyusul kembali keperantauan
seperti anak bungsunya yang tadi datang mengadu, balik ke Yogyakarta. Jika itu
terjadi, tinggallah nanti Ibu tua itu bersama dengan kesepiannya lagi, sembari
menungu kembali anak lelakinya datang kembali ke rumah untuk diceritakan
mediang suaminya.
---------------------
Tiba-tiba
hujan pun turun kembali menyapa jiwa-jiwa yang dilanda kesepian. Tapi tidak
lagi terdengar suara kodok yang sedang bernyanyi kebahagian.
Comments
Post a Comment