Satu Paragraf: Setelah Nonton Drakor
Dua
hari ini, karena tenggat paket data tersisa beberapa hari lagi dan sisa kouta
masih banyak, aku meghabiskan waktu dengan nonton beberapa film. Baik itu
Jepang, China dan Drakor. Sama seperti pengarang sastra lama yang punya
kebiasaan menjadi malaikat maut bagi tokoh utamanya; seperti dalam novel Siti
Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang hingga Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk;
aku juga menemukan hal yang sama pada film-film yang kutonton. Seperti ada sebuah
kesan kesengajaan dari penulis skenario untuk mencabut nyawa tokoh utama
mereka. Bisa diawali dengan penyakit kronis mematikan yang tidak bisa
disembuhkan atau tiba-tiba langsung mati aja gitu. Aku tidak tahu pasti apa yang
mendasari atau melatari unsur kesengajaan ini. Tapi, kalo aku diperbolehkan membuat sebuah kemungkinan, atau spekulusi, seperti kebiasaaan pengarang sastra lama yang punya hobi bener membunuh tokoh utama
mereka dan mengkontekstualkan pada film-film yang kutonton, sepertinya mereka
juga ingin membawa pesan “semangat baru” yang tidak ada bedanya dengan “semangat
romantik” yang timbul di Eropa pada penutup abad 18 dan terus berpengaruh dan
berkembang hingga abad 19. Satu ciri khas dari semangat ini adalah, sebagaimana
ungkapan Armijn Pane, hendak membesarkan pengaruh perasaan pada zaman
sebelumnya, yaitu zaman pikiran atau rasionalisme, untuk menghidupkan kesadaran
hati (pembaca novel atau penonton film) bahwa cinta di atas segalanya. Mungkin
memang seperti itu. Tapi, pada satu sisi, dalam akalku, bual aja nih Film.
hehehe
Comments
Post a Comment