Pengader, Al-Qur’an dan Via Vallen
Salah
satu isu yang mencuat dalam majelis pengader beberapa waktu silam adalah
perihal bacaan al-Qur’an para pengader. Kita tidak bisa menyembunyikan bahwa di
balik tampilan kharismatik para pengader dengan segudang “bualan” teorinya di
atas panggung pelatihan ternyata ada satu sisi yang tersoroti oleh para
peserta. Bacaan al-Qur’an yang kerap dilantunkan setelah ritual shalat maghrib
dan shubuh paling tidak mendapatkan perhatian tersendiri dari para peserta
pelatihan. Memang tidak semua pengader mampu membaca al-Qur’an dengan lancar
dan baik. Keberagaman ini masuk pula pada impuls-impuls tafsir mereka hingga
melahirkan interpretasi yang berbagai macam rasanya.
Bukan
tidak pernah wacana ini mengemuka di atas gelas–gelas kopi benak para pengader
saat bersua. Perbincangan menuju pada arah bertema bagaimana meningkatkan self quality para pengader dalam membaca
al-Qur’an. Setiap kali masuk pada bahasan ini akan jatuh pada muara-muara
apologi dan desas-desus yang kian kencang. Ada yang berkalam biarkan mereka
para pengader yang belum lancar membaca al-Qur’an itu mencari sendiri di luar pembenahannya.
Ada pula yang bilang bahwa pembenahan bacaan al-Qur’an pada para pengader akan
memunculkan rasa sungkan yang dapat menghanyutkan eksistensinya ke pinggir
garis penarikan diri dari forum-forum kepengaderan. Setelah buntu pemikiran
itu, maka para mutakalim akan menyeruput kopinya dan bahkan beberapa dibarengi
hisapan tadkhin hingga akhirnya luput juga perkalaman ini seiring terseruputnya
kopi dan tertadkhinnya apa yang kerap mereka sebut asap revolusi.
Gagasan
berikutnya muncul untuk diimplementasikan ketika pendaftaran pelatihan-pelatihan
atau kursus, tapi pro-kontra kembali bertiup kencang. Fraksi pertama dengan
langkap cukup berani mengajukan bahwa mereka yang tidak bisa menghafal
ayat-ayat Tuhan yang selama ini disyaratkan lebih baik mundur dari arena pendaftaran.
Sedangkan fraksi yang kedua dengan nada yang terkesan moderat mengadu pikir
terhadap fraksi pertama, bahwa di antara sekian pendaftar yang belum bisa
membaca al-Quran itu barangkali ada kader-kader yang loyal dan bahkan loyalitasnya
melebihi yang bisa mem-baca al-Qur’an dengan fashih yang menyerupai Syaikh
Mishari Rasyid dan Allamah Yaser Arafat. Dan selama ini kita cenderung mengikuti
langkah yang terakhir ini.
Menyoalkan
perihal ini, tiba-tiba ingatan saya terlempar pada bincangan hangat beberapa
malam silam, ketika seorang pengader senior dari tanah Angling Dharma dan
bercuap-cuap tentang organisasi yang didirikan Lafran Pane ini. Ia berujar
bahwa salah seorang pengader yang menjadi pemandu di pelatihan LK I penulis tempo
hari lalu (ketika penulis masih di LK 1)mulai aktif berinteraksi dengan
al-Qur’an setelah selesai memandu pelatihan itu. Sang pemandu merasa bahwa
dirinya sebagai pemandu masih kurang apik tilawahnya di depan para peserta.
Pemandu yang notabene bukan berasal dari kaum santriyun ini mulai membuka diri
untuk belajar menetra kalimat-kalimat wahyu bersama para pengader madzhab Karangkajen.
Sampai terakhir penulis berinteraksi dengan sang termaksud, kalam hangatnya
masih terasa tidak berubah seperti dulu saya duduk di arena pelatihan di bawah
bimbingan pengetahuannya.
Entah
ini adalah suatu romantisme atau bukan, entah ini adalah suatu keterperangkapan
penulis dalam jaring-jaring reduksionitas yang terkesan partikular atau bukan,
tapi ini adalah masalah realitas yang harus sama-sama menjadi perhatian para
pengader yang tidak boleh luput. Bukankah tujuan paling sederhana dari seorang Lafran
Pane mendirikan HMI agar para mahasiswa tidak tenggelam dan lenyap dari segala
dimensi reigiusitasnya. Jika kita begitu bersemangat mengobarkan semangat
diktum-diktum keIslaman dan keIndone-siaan di setiap forum, maka membaca
al-Qur’an di sela-sela rutinitas merupakan bukti terkecil dari komitmen itu.
Jika kita berlindung pada suatu apologi bahwa di sini letak ketidak setujuan bahwa pengader bukanlah seorang nabi sehingga selalu saja ada kurangnya, maka ini bukan suatu alasan untuk jatuh lebih dalam pada jurang-jurang kaum fatalis. Memang kita harus merumuskan kembali, bagaimana formula yang tepat untuk samasama berikhtiar keluar dari kejumudan yang selama ini seolah menjadi laten dan mendapat legitimasi pembiaran ini. Meski ini bukanlah suatu hal yang mudah di tengah suasana HMI yang kerap direduksi menjadi simbol arena pergulatan kekuasaan layaknya partai-partai politik. Tahdzir, organisasi HMI ini bukan hanya ‘hitam’ tapi juga ada ‘hijau’ dan ‘putih’nya.
Apa dengan berkalam-kalam seperti ini saya menjadi seorang normatif-konservatif? Wa kafa billahi syahida. Kepada Allah saya mohon ampun atas segala suara refleksi yang tidak semerdu suara syaikhah Via Vallen atau sayyidah Nella Kharisma yang tidak jadi saya bahas lebih lanjut di tulisan kali ini. Wallahu a’lam bi al-Shawab.
Comments
Post a Comment