Absurditas: Bunuh Diri Filosofis

“Saat kehidupan dilumbungi dengan rasa-resah, cemas, jenuh, dan derita, pengorbanan akhirnya bersahabat dengan “absurditas”. Lepaskanlah jiwamu dengan membunuh jasadmu. Namun, bila rasa takut untuk mati menggebu hingga tak kuasa menahan perinya yang teramat-dahsyat, Lepaskanlah jasadmu bunuhlah jiwamu, dengan cara membunuh akal, imaji atau pikiranmu. Sebab, dunia tak lagi dapat dipikirkan. Setelah itu, bunuh dirimu. Tetapi, Bunuhlah dirimu dengan bijak, “bunuh diri filosofis”bukan bunuh diri shofis”.

Pemikiran Plato dalam amatan penulis senantiasa terjalin-erat dengan konstruksi hubungan alam idea dengan alam materi. Yaitu, Platon berusaha membuktikan keberadaan ‘eksistensi’ objektif realitas diluar persepsi manusia lewat teori Arketipe, atau teori pengingatan kembali. Teori pengingatan kembali 'Plato', menjadi argumentasi fundamental untuk melawan pemikiran shofisme di zaman itu.

Kedua implikasi permasalahan besar dari teori tersebut menjamur ke dalam mental mental konsepsi manusia. Tentang, apa dan mengapa jiwa yang bersemayan di alam idea, kemudian turun ke alam materi,? penjelasan umum teori Plato seputar “Alam ide” yang memiliki karakteristik yang identik dengan kesempurnaan, sedangkan karakteristik “alam materi” lebih dekat atau lebih identik dengan kekurangan atau ketidaksempurnaan.

Pendekatan untuk menjawab permasalahan ini diperlukan analisis dan pengamatan terhadap gagasan-gagasan filosof barat, khususnya penganut aliran eksistensialisme. Alasan mendasar pendekatan ini digunakan, seperti yang tertuang dalam naskah-naskah atau literatur sejarah pemikiran barat yang bersumber dari para filosof yunani. 

Pada konteks ini, penulis tidak sedang menjelaskan bangunan konsepsi filosof barat, tapi hanya mengutip poin-poin doktrin pemikiran mereka. Kemudian dari permasalahan itu, penulis mengkreasikan gagasan-gagasan itu kedalam permasalahan hidup manusia hari ini. Seperti, pertanyaan-pertanyaan yang dirunut ini :

‘Apa dan mengapa jiwa harus turun dari alam idea menuju alam materi?

‘Mungkin jawabannya adalah Kebebasan’ entahlah, mari kita ikuti lanjutkan saja alur pertanyaan-pertanyaan ini,!’

Dalam diskursus Filsafat, Plato sering bergumam bahwa, alam idea identik dengan kesempurnaan, tapi tidak berarti jiwa yang eksis di alam idea memiliki kesempurnaan yang sama. Benar, dalam penjelasan lain, soal jiwa yang memiliki pengetahuan sempurna, tentang pengetahuan terhadap sesuatu dari luar diri, namun tidak dengan lantas dapat membuat jiwa berbuah sempurna. Dari situ, seperti adanya satu kekurangan yang tidak dapat di temukan dan dipahami oleh jiwa saat menempati singgasana “idea”, mengenai diri sebagai jiwa dan, yang tidak terikat atau jiwa yang bebas.

Dari biling itu, jiwa hanya terpahami jelas-terangnya, saat jiwa hendak meninggalkan alam idea. Lain perkataan, mungkin jiwa sedang ingin merdeka. Dalam hidup, kebebasan merupakan esensi dari jiwa yang turun lalu bersemayam dengan alam material. Dan menyeret konsekuensi-konsekuensi dari kebebasan itu, seperti atau ibarat penyakit amnesia (lupa-lupa). Lewat peristiwa itu, seluruh pengetahuan yang diketahui sejak di ‘alam idea’ jadi hilang, entah kemana? Absurd.

Objektifikasi-Subjektif & Eksistensialisme Barat

Di alam material yang kompleks, jiwa dan jasad (manusia) terhubung langsung dengan realitas dari luar diri atau realitas eksternal. Hubungan itu, sebut saja sebagai proses ‘ingat ulang’, di mana manusia mencapai kesadarannya tentang dunia dan seisinya. Sebagai manusia yang berbeda dengan makhluk lain. Pada selang-waktu yang lain diri dengan ngigauannya berkata, diri tidak berasal dari dunia ini, dan dunia tidak memiliki kesadaran, hanya saya yang berkesadaran. Dan Plato berkata:

“Saat kuberlari ke hutan dan berteriak seperti tarzan, hutan dan penghuninya hanya asik dengan dirinya sendiri. Saat kuberlari ke pantai dan berteriak aku mencintamu, hanya deru ombak sebagai jawaban”.

Manusia menciptakan dirinya sendiri, dunialah yang absurd. Sartre berkata;

“Saya tahu itu adalah dunia, dunia telanjang tiba-tiba memunculkan dirinya sendiri, dan saya telah menjadi gusar dengan kehidupan yang kotor dan absurd ini.”

Dari modus kesadaran ini, manusia menemukan, memahami, konsep dan makna dari dalam diri, sebagai makhluk serta atribut atau predikat bebas yang menyatu dengan pilihannya. Kebebasan adalah pilihan, manusia sejati adalah ketika pilihan kebebasan dapat ditentukan tanpa tekanan, intimidasi dan diskriminasi. Kemudian Nietzce berkata, “God is dead.”

Dan dimulailah babak baru, kehidupan manusia di alam, sebut saja babak ‘alienasi’, manusia mengalami keterasingan dari luar diri, saat menentukan pilihan, setiap pilihan menjadi sesuatu yang tak menentu, artinya manusia tidak bisa mengharapkan balasan apapun dari alam yang absurd terhadap pilihannya sendiri. karenanya manusia tidak memiliki tanggung jawab apapun terhadap luar dirinya. Dan kita hanya bisa berharap pada diri kita sendiri sebagai manusia yang bebas.

“Aku sedih, kamu sedih, kita semua sedih atas kenyataan ini. Ternyata dibalik kenyataan ini, bukan hanya alam yang absurd, kita sebagai manusia yang eksis di alam ini juga adalah absurd”.

Tujuan satu-satunya manusia eksis di alam ini adalah kematian. Albert Camus menyebutkan, hanya satu jalan yang bisa dilakukan untuk mengakhiri absurditas ini, yakni bunuh diri. Seperti:

Saat kehidupan dilumbungi dengan rasa-resah, cemas, jenuh, dan derita pengorbanan akhirnya berakhir dengan “absurditas”. Maka, lepaskanlah jiwamu dengan membunuh jasadmu. Namun, bila rasa takut untuk mati menggebu hingga tak kuasa menahan perinya yang teramat-dahsyat, Lepaskanlah jasadmu bunuhlah jiwamu, dengan cara membunuh akal, imaji atau pikiranmu. Sebab, dunia tak lagi dapat dipikirkan. Setelah itu, bunuh dirimu. Tetapi, Bunuhlah dirimu dengan bijak, “bunuh diri filosofis”bukan bunuh diri shofis.