Antara Idealisme dan Politik: Ironi Perpecahan Duo HMI
Sebenarnya tulisan ini telah lama Penulis
tulis, sewaktu masih menjabat di struktur kepengurusan HMI Cabang Yogyakarta
periode 2016-2017. Yaitu, ketika Penulis menulis Laporan Pertanggungjawaban
bersama kawan-kawan seperjuangan di Biro Kesekretariatan, M. Haekal Ryanda dan
Faizal Hadi K. Tetapi dari tulisan tersebut sedikit ditambah beberapa muatan
dan pengeditan kembali.
Sebagaimana tulisan-tulisan sejarah
lainnya, apalagi tergolong masih muda dalam menuliskan sejarah, tentu tulisan
ini bukanlah tulisan murni dari pribadi Penulis. Penulis banyak sekali
mengambil data-data secara berpotongan dari buku sejarah-sejarah HMI lainnya.
Terutama dari Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Besar (PB) dan Cabang-Cabang.
Terkhusus lagi dari buku berkas putih “Dinamika Sejarah Perpecahan HMI” dan “Sejarah
HMI di Tengah Dinamika Nasional.”
Ada beberapa landasan secara pribadi kenapa
tulisan ini ditulis. Salah tiga dari beberapa hal itu, adalah:
Pertama, keterbatasan ingatan manusia sehingga
dengan kembali dituliskannya tulisan sejarah ini tidak akan hilang dari ingatan
manusia, terutama kader HMI. Kedua, sebagai bacaan ringan calon kader yang
mengikuti pelaksanakan Latihan Kader 1 di HMI. Terkhusus di HMI MPO dalam
materi LK 1 “Sejarah Gerakan dan Perkaderan HMI.” Yang mana dalam materi
sejarah Himpunan dalam pergerakan dan perkaderannya HMI terpecah menjadi 2
terhimpun “MPO dan Dipo” ini, selalu menjadi materi favorit dalam
pembahasaannya. Ketiga, kita bisa mengambil beberapa hikmah dari sejarah perpecahaan
HMI. Ketiga, kita bisa menarik hikmah dan pembelajaran dari sejarah ini.
Tanpa babibu dan bubiba, Yuk kita mulai.
Sebuah Pengantar Sejarah
Himpunan
Membicarakan kesejarahan HMI, selalu
mempunyai ruang kajian tersendiri di dalam pembahasannya. Khususnya bagi kader
HMI dan umumnya bagi umat Islam. Hal tersebut, selain untuk mengenang heroikme
masa lalunya, juga dikarenakan HMI telah banyak sekali mengecap berbagai
pengalaman panjang dari bagian sejarah Islam dan bangsa Indonesia yang bisa
kita ambil sebagai pembelajaran. Tentu sebagai pembelajaran di sini, itu untuk
meneropong masa depan umat Islam dan bangsa Indonesia selanjutnya. Lebih baik.
Adapun keberdirian HMI yang konon katanya
lahir manakala Lafran Pane mengambil waktu dari jam matakuliah Tafsir di STI,
kini menjadi UII, pada tahun 1947, yang mana kala itu matakuliah Tafsir diampu
oleh dosen bernama Husein Yahya dan hingga kini bangsa Indoensia sudah melewati
dua dekade pasca reformasi, HMI masih tetap eksis sebagai organisasi perkaderan
dan perjuangan. Serta pula,
keberadaan organisasi terhimpun ini selalu menarik banyak kalangan untuk
ditelaah sebagai salah satu organisasi Mahasiswa esktra universitas berbasis
Islam terbesar dan tertua di Indonesia.
Bagaimana tidak. Peran dan kontribusinya
HMI terhadap umat Islam dan bangsa Indonesia semakin tak terpisahkan dalam
sejarahnya. Dan bahkan HMI selalu, oleh kebanyakan masyarakat dan tokoh,
diseolahkan sebagai miniatur terdekat dari bangsa yang terentang panjang dari
Sabang hingga pulau Rote ini.
Tapi, seperti kata Awalil Rizki, sejarah
panjang HMI tidaklah ditempuh dengan mudah. Berbabagai dinamika selalu siap
menghadang dan menghilangkannya dalam berdialektika. Mulai dari keterlibatan
HMI dalam membangun kemerdekaan, mengangkat senjata untuk mengusir para
penjajah, dan menjadi korban politik pada rezim orde baru yang membuat
organisasi terhimpun ini terbelah menjadi dua bagian dalam berhimpunnya.
Menurut tokoh sejarawan HMI, Kakanda Besar
Agus Salim Sitompul, sejarah HMI dalam fase sejarahnya dipilah dan dibagi
menjadi 9 fase, mulai dari: Fase Konsolidasi Spiritual (1946-1947), Fase
Pengokohan (05 Feb 1947-30 Nov 1947), Fase Perjuangan Fisik/Bersenjata
(1947-1949), Fase Pertumbuhan dan Perkembangan HMI (1950-1963), Fase Tantangan
(1964-1965), Fase Kebangkitan HMI (1966-1968), Fase Kebangsaan dan Kemodernan
(1969-1970), Fase Pemikiran dan Pembaharuan Pemikiran (1970-Sekarang), dan Fase
Reformasi (Mei 1998).
Akan tetapi, dalam fase-fase tersebut ada
satu fase yang tidak ditulis secara rinci dan tidak diakui sebagai fase sejarah
dalam dinamika panjang perjalanan HMI, yakni, kita bisa menyebutnya sebagai
fase Kekacauan Internal HMI (1983-1987). Pada rentan waktu 1983-1987, yang mana
dalam kekacauan Internal ini, organisasi Himpunan terbelah menjadi 2 bagian
akibat dari pemaksaan asas tunggal Pancasila oleh Pemerintah Orde Baru bagi
setiap organisasi di Indonesia.
Himpunan yang sepekat dengan asas pancasila
sebagai dasar organisasi HMI dikenal dengan sebutan HMI Dipo -yang merujuk pada
Sekretariat PB HMI di Jalan Diponogero Jakarta. Sedangkan Himpunan yang tetap
melandaskan Islam sebagai asas HMI disebut dengan HMI MPO (Majelis Penyelamat
Organisasi), yang harus bersembunyi dalam melakukan pergerakannya karena
tekanan pemerintah Orde Baru.
Antara Idealisme dan
Politik: Ironi Perpecahan HMI[[1]]
Tahun 1983 di Kongres ke XV HMI. Alex
Tofani yang kala itu menjabat di struktur HMI sebagai Ketua Badko HMI bagian
Sumatera Utara, juga merangkap sebagai ketua Presidium Sidang Kongres XV, maju
dan tampil ke depan. Ada 11 materi keputusan di tangannya, dan ketika ia
bacakan satu-persatu hingga dibacakannya hasil keputusan bagian Anggaran Dasar;
tentang dasar organisasi HMI bahwa Kongres ke 15 memutuskan dasar HMI tetap
berasaskan Islam, teriakan takbir “Allahu Akbar” disambut peserta sidang dalam
Kongres tersebut.
Gambaran proses Kongres XV ini kemudian
dikenang sebagai Kongres Perjuangan. Karena bagi kalangan kader 80-an, kongres
yang dilaksanakan di Medan itu berada dalam tekanan yang begitu kuat dari Pemerintah
untuk merubah dasar organisasi HMI ke asas tunggal Pancasila, tapi dengan
perkasanya HMI masih percaya dengan kekuatan ideologinya: Islam sebagai asas
organisasi.
Dalam Kongres ini pula, ke XV, terpilih
saudara Harry Azhar Aziz sebagai Ketua Umum PB HMI selanjutnya yang mengemban
amanah HMI harus tetap berasaskan Islam. Adapun kekagagalan Abdul Ghafur
(Mentri Pemuda dan Olahraga dan juga alumni HMI) yang membujuk adik-adiknya
untuk merubah asas HMI dari Islam menjadi Pancasila tidak membuat Pemerintah
berhenti melakukan usaha-usahanya, mulai dari secara persuasif, dan bahkan
sampai bentuk ancaman.
Banyak alasan mengapa Pemerintah Orde Baru
sangat mendesak HMI untuk merubah asasnya ke Pancasila. Salah-satunya, karena
HMI merupakan organisasi mahasiswa terbesar dan berpengaruh di Indonesia pada
saat itu. Oleh sebab itu, Pemerintah ingin menjadikan HMI sebagai percontohan
dan pelopor bagi organisasi-organisasi masyarakat lainnya untuk menerima asas
Pancasila.
Sebenarnya pada awal perjalanan
kepengurusan PB HMI yang dinahkodai oleh Harry Azhar Aziz melihat perbedaan
pandangan di tubuh HMI yang berkaitan dengan asas organiasi HMI Islam atau
Pancasila, sebagaimana contoh HMI Cabang Jambi dan Badko Jawa Timur yang menerima
asas Pancasila, oleh PB HMI secara tegas langsung dibekukan dengan alasan tidak
disiplin.
Sikap yang dimaklumatkan oleh PB HMI pada
waktu itu tentu menjadi angin segar pada tubuh-tubuh HMI Cabang yang dengan
idealisnya menolak asas Pancasila. Apalagi saudara Harry Azhar Aziz yang selaku
pemegang amanah Kongres ke XV ketika melakukan kunjungan ke Cabang-Cabang
seluruh Indonesia pernah berstetemen kalau;
“Setiap pengurus Cabang dan Badko yang
mengikuti jejak seperti Cabang Jambi dan Badko Jawa Timur akan dikenakan sanksi
yang sama” dan “ Bila dasar Islam di dalam tubuh HMI digeser kedudukan dengan
Pancasila, maka saya, kata harry Azhar Aziz, adalah orang pertama yang akan
mempertahankan sampai dengan titik darah penghabisan” (Lihat di buku Berkas
Putih)
Tapi, keteguhan upaya Harry Azhar Aziz tak
bertahan lama. Berselang dua tahun kemudian, usaha Pemerintah berhasil juga.
Keberhasilan ini ditandai dengan kericuhan yang terjadi secara nasional di
internal HMI; kala PB HMI menetapkan asas tunggal Pancasila sebagai dasar
organisasi HMI di luar kewenangan Kongres yang terkenal dengan sebutan Kasus
Ciloto. Kala itu PB HMI merubah asas HMI melalui Rapat Pleno III pada tanggal
01 s/d 07 April 1985 di Ciloto, Jawa Barat, di persidangan Majelis Pekerja
Kongres ke II.
Kericuhan tersebut dilanjutkan oleh PB HMI
dengan ledakan bom berupa Press Release
pada hari rabu, 15 April 1985, tentang: Penetapan HMI terhadap Pancasila
sebagai asas organisasi HMI. Press
Release tersebut dilakukan oleh Harry Azhar Aziz selaku Ketua Umum di rumah
pendiri HMI, Prof. Drs. Lafran Pane, di Yogyakarta, kota kelahiran organisasi HMI
pada tahun 1947 yang lalu.
Ledakan bom Press Realease tersebut lastas
menuai rekasi dari berbagai Cabang HMI di Indonesia, terkhusus HMI Cabang
Yogyakarta.
HMI
Cabang Yogyakarta yang kala itu baru saja melaksanakan Konfrensi Cabang dan
menetapkan saudara Mohammad Chaeron A.R sebagai Formatur Terpilih, langsung melakukan
protes keras terhadap kesewenangan PB HMI. Protes keras ini dikenal dengan
Sikap Jamaah HMI Cabang Yogyakarta, dan membuat PB HMI merah telinganya merasa
dipecundangi.
Dalam pernyataan sikapnya tersebut, dengan
tegas HMI Cabang Yogyakarta memproklamirkan penolakan keputusan PB HMI dan menganggapnya
Inkonstitusional. Perubahan asas dalam AD/ART HMI seharusnya melalui perwakilan
utusan-utusan Cabang dalam forum Kongres, bukan dari keputusan PB HMI sepihak.
Gayungpun bersambut. Setelah HMI Cabang
Yogyakarta, Cabang Jakarta, Purwokerto, Ujung Padang, Tanjungkarang, dll-pun
melancarkan protesnya terhadap kesewenangan PB HMI. Dan terjadilah yang baru
sekali terjadi dalam sejarah HMI, pemecatan seorang Ketua Umum PB HMI dari
keanggotaan HMI oleh Pengurus HMI Cabang. Harry Azhar Aziz dicabut keanggotan
HMI-nya oleh pengurus HMI Cabang Jakarta. Pada saat itu Ketua Umum HMI Cabang
Jakarta adalah M.S Ka’ban.
Tapi dengan kekuasaannya, Harry Azhar Aziz
membekukan kepengurusan HMI Cabang Jakarta dan mengangkat pengurus Cabang
Transitif -istilah baru dalam tubuh HMI pada waktu itu- dengan Ketua Umumnya
adalah Pounsterling. Menyusul berikutnya adalah pembekuan-pembekuan Cabang
lainnya dan menghadirkan pengurus Cabang Transitif di berbagai Cabang menjelang
Kongres XVI di Padang.
Kekacauan internal yang tejadi di dalam tubuh
HMI pada tahun 80-an ini, lantas menghadirkan berbagai Cabang yang notabenenya
adalah Cabang-Cabang besar kembali menghimpun arah geraknya melaui Surat
Keputusan bersama Pimpinan HMI Cabang-Cabang bernomer: 02/KPTS/DRT/07/1405/,
tentang: Penyelamatan Organisasi.
Surat Keputusan tersebut memutuskan untuk
tidak mengakui Kepemimpinan PB HMI di bawah saudara Harry Azhar Aziz. Yang
selanjutnya Pimpinan Cabang-Cabang HMI membentuk Majelis Penyelamat Organisasi
(MPO) sebagai badan sementara untuk mengisi kevakuman PB HMI secara nasional dengan
diketuai oleh Eggi Sudjana (Cabang Jakarta), serta mendesak kepada segenap
aparat MPO agar secepatnya menyelenggarakan Kongres XVI dengan menghadirkan
seluruh Cabang-Cabang HMI di Indonesia.
Pimpinan HMI Cabang yang pada saat itu
mendukung MPO adalah, Cabang Jakarta, Cabang Yogyakarta, Cabang Bandung, Cabang
Pekalongan, Cabang Ujung Pandang, Cabang Pekalongan, Cabang Metro, Cabang
Pinrang dan Cabang Purwokerto.
Di luar dugaan, menurut Edi Riyanto (Kader
HMI Cabang Yogykarta), dengan semenanya PB memutuskan untuk tidak menghadirkan
Cabang-Cabang ini di Kongres ke 16 di Padang. Kalaupun ada utusan-utusan dari Cabang
Yogyakarta, Cabang Bandung, Cabang Jakarta dan Cabang-Cabang lain yang
tergabung di MPO, itu tak lain bukan utusan resmi dan mewakili anggota secara
organisasi. Dengan kata lain, mereka adalah orang-orangnya Harry Azhar Azis
sendiri yang diambil langsung dari anggota HMI di masing-masing Cabang.
Tindakan ini tidak lazim dilakukan di HMI, karena setiap orang yang diutus ke
Kongres seharusnya dipilih dan disetujui oleh Rapat Pleno Pengurus Cabang.
Pada Kongres ke XVI di Padang akhirnya
berhasil memilih ketua umum PB HMI yang baru, yaitu Ir. Shaleh Khalid, dan
tentu saja meski dangan susah payah PB HMI akhirnya berhasil mengganti asas
Islam menjadi azas Pancasila.
Naiknya Shaleh Khalid sempat dipertanyakan
oleh beberapa Cabang berkaitan dengan status keanggotaannya. (Lihat surat
edaran yang dikeluarkan HMI Cabang Bogor mengenai status keanggotaan Shaleh
Khalid. Surat tersebut membuktikan bahwa masa keanggotaan Shaleh Khalid telah
habis beberapa bulan sebelum kongres.)
Dalam waktu hampir bersamaan, Pimpinan
Cabang-Cabang yang tergabung dalam MPO juga menyelenggarakan pertemuan sendiri
di Yogyakarta dan membentuk kepengurusan sendiri yang dikenal dengan sebutan PB
HMI al Haq yang dipimpin oleh Eggi Sudjana dan Moh. Nuski. Mulai tahun inilah
ada dua kepemimpinan di dalam tubuh HMI.
Kedua HMI ini-pun berjalan sendiri-sendiri
dengan masing-masing keyakinannya. HMI (MPO) tetap konsisten dengan ideologi
Islamnya, sedang HMI Dipo (HMI yang menerima asas Pancasila yang bersekretariat
di jl. Diponogero) terus berjalan dengan asas Pancasilanya -meski sekarang
telah berubah asas menjadi Islam.
HMI Dipo menganggap bahwa penggantian asas
hanyalah persoalan strategis (politik, red)
agar HMI tidak dibubarkan oleh Pemerintah. Sedangkan HMI MPO memandang asas
sebagai sesuatu yang fundamental karena seluruh aktivitas organisasi akan
mengacu dan diwarnai oleh asas organisasinya.
Pentingkah Kedua HMI ini
Islah?
Upaya-upaya untuk mengembalikan dua saudara
kandung dalam aliran Himpunan “Dipo dan MPO”, yang sama-sama mengakui satu
bapak Lafran Pane dan kurang tahu siapa ibunya ini, oleh banyak kalangan,
terutama yang pernah berproses di HMI (alumni, red), diminta untuk kembali berjuang bersama-sama lagi, atau islah.
Apalagi setelah tumbangnya orde baru di mana peraturan Asas Tunggal Pancasila
telah dicabut dan HMI Dipo kembali lagi ke asas Islam. Tapi, sampai sekarang
belum berhasil.
Upaya islah memang seringkali diwacanakan
dan dilakukan berbagai pihak untuk kembali menyatukan 2 Himpunan ini, tapi hal
itu tidaklah mudah seperti membalik telapak tangan dan cendurung sulit,
meskipun tidaklah mustahil. Pada tahun 2008, sewaktu Syahrul Efendi Dasopang,
Ketua Umum PB HMI MPO, diundang menghadiri pembukaan Kongres PB HMI Dipo di
Palembang. Isu islah mencuat ke permukaan, tapi isu tersebut dibantah oleh
Ketua Umum PB HMI yang katanya; Hanya islah moral sebatas syiar Islam, bukan
islah secara Organisasi.
Jadi
Pentingkah Kedua HMI ini Islah? Dalam pandangan Penulis yang
sedikit banyak sepakat dengan apa yang pernah dikatakan oleh Ketua Umum HMI
Cabang Yogyakarta periode 2014-2015, M. Muhtar Natsir, islah bagi HMI tidaklah
begitu penting. Kedua organisasi ini, Dipo dan MPO, telah semakin berkembang
dengan idealisme, haluan politik, dan sejarahnya masing-masing.
Lahirnya Khittah Perjuangan sebagai manhaj
perjuangan MPO menggantikan Nilai Dasar Perjuangan (NDP) juga semakin
mempertegas perbedaan dua HMI ini, dan sekaligus menjadi tembok pembatas yang
kokoh. Adanya Khittah Perjuangan pada MPO dan NDP pada Dipo telah membuat cara
pandang kedua Himpunan tentang keIslaman, keIndonesiaan, kemodernan, dan kultur
atau laku organisasi juga berbeda. Jadi islah terbilang sangat susah. Biarkan
kedua HMI ini terus berjuang sesuai Khittahnya. Berjuang dengan ideologi yang
mereka yakini.
Pelajaran dari Ironi
Sejarah Perpecahan HMI
Menurut Edi Riyanto, sejarah bagi umat
manusia memiliki kedudukan yang penting dan sentral. Keberadaan sejarah adalah
sebagai media bagi umat manusia untuk mempelajari pesan moral dan kebenaran.
Melihat dan membaca sejarah perpecahan ini, serti kata Edi Riyanto dalam
bukunya yang berjudul "Sejarah HMI di Tengah Dinamika Politik
Nasional", setidaknya ada dua hal yang bisa kita ambil sebagai pelajaran
dari perpecahan HMI ini:
Pertama, sikap akomodatif PB HMI tidak
selalu mencerminkan pendapat HMI secara keseluruhan dan ini selalu terjadi di setiap
HMI berhadapan dengan isu yang menyangkut kepentingan Islam dan umat Islam.
Kedua, tindakan-tindakan yang dilakukan
berdasarkan pendekatan kekuasaan tidak tepat bagi HMI yang memilki budaya
dialogis, terbuka, dan demokratis. Tindakan-tindakan seperti itu hanya akan
melemahkan kekuatan HMI sendiri. Khusus mengenai kasus asas tunggal ini, campur
tangan pihak luar baik pemerintah maupun alumni semakin memperkeruh keadaan dan
pada akhirnya menyebabkan perpecahan.
Ketiga, dalam pandangan Penulis, kita harus
membedakan dan memisahkan di mana ruang politik dan ruang Perkaderan di dalam
HMI. Ruang Perkaderan yang disusupi dengan nuansa politis hanya akan
memperkeruh keadaan, ketidak-harmonisan, dan ketidak-percayaan sesama anggota di
dalam tubuh HMI. Sehingga menjadi penting kiranya, jikalau ingin menciptakan
integritas HMI tetap menjadi satu, kita harus menghindari halauan politik dalam
dinamika internal Perkaderan HMI.
Comments
Post a Comment