Sekadar Opini: "Ada Yang Hilang, Begitu Dekat, Tepat di Depan Jari-Jemari Kita" (Part II)
Ada
yang hilang di tengah masifnya arus informasi, tepat di depan jari-jemari kita,
begitu dekat, dan kita masih saja berseolah tidak tahu dan tidak mau tahu.
Padahal problematika kebangsaan dan kebernegaran kita berada diambang batas
kebhenikaan, yang dimana kerukunan antar umat, suku, ras maupun etnis semakin
memanas dan terpecah.
Sedang
orang kepercayaan dari kita yang duduk di pemerintahan masih saja sibuk dengan
kepentingan politik. Mungkin untuk partai politiknya, mungkin. Atau mungkin
lagi, di balik kekacauan integritas ini, selayaknya sebuah drama yang telah diskenariokan
oleh sang sutradara, mereka yang melihat permainan drama kita sedang tertawa
terbahak-bahak. Sesuai dengan rencana dan naskah cerita, kanyaknya berkata.
Jujur
ada yang hilang di tengah masifnya arus informasi ini, begitu dekat, tepat di
depan jari-jemari kita. Sedang mahasiswa yang notabene diberkati gelar
adihulung sebagai agen of change, of
control dan sebagai macamnya itu, masih saja sibuk mencari hastag populer ketika memposting status
di "Instragram". Untuk
menambah followers, katanya.
Mungkin
benar juga apa yang pernah ditulis oleh Muhammad Al-Fayadl pada tanggal 09
Maret 2017 lalu, di facebook-nya;
“andaikan saja mahasiswa tidak dilenakan oleh seminar-seminar motivasi, tidak
dilarang membaca buku-buku kritis, dan tidak sibuk dengan kegalauan-kegalauan
kejombloan asmara yang bermentalitet borjuis kecil, mungkin akan berbeda
ceritanya.” Iya, mungkin.
Ada
yang benar-benar telah hilang di tengah masif arus informasi teknologi ini,
rasa kebhenikaan. Iya, kehilangan rasa kebhenikaan di tengah masalah politik
indentitas saat ini. Semua berkomentar tanpa mengerti batas. Tanpa lagi
menengok dan memperdulikan keberagaman, dan tanpa lagi be-cover pada toleransi
dan bhenika tunggal ika. Atas nama kebebasan hak, katanya.
Padahal
kita sama-sama tahu bahwa, menerima takdir berbangsa dan bernegara di
Indonesia, berarti harus siap pula menerima kenyataan keberagaman dari berbagai
segi perbedaan. Menerima NKRI, berarti harus siap pula menerima bentuk negara
ini terdiri atas wilayah yang luas dan tersebar dengan bermacam adat, suku,
etnis, keyakinan serta budaya yang berbeda. Dan menerima sejarah berbangsa dan
bernegara di Indonesia, berarti kita harus siap pula bersikap toleran dan
terbuka. Bukan malah saling menghujat, mengintimidasi, dan bahkan sampai
mendeskriminasi.
Mari
kita bersama-sama merfleksikan diri, siapakah diri kita yang telah berani menghujat,
mengintimidasi dan mendekriminasi ini? Padahal kita benar-benar tidak pernah
merasa meminta untuk dilahirkan, tetapi tahu tidak menahu kita langsung ada.
Tidak kah dari perihal ini kita menyadari bahwa, kita hanyalah momen pendek
dalam sebuah kontemplasi yang mencoba sangat rasional di tengah ruang yang
begitu dingin dan sekaligus panas. Makhluk yang tidak mempunyai kekuatan, serta
tidak punya daya dan upaya untuk melegitimasi kebenaran sejati dengan
mengatas-namakan Tuhan. Kita hanya mendapat cipratan dari-Nya dan menafsirkan
saja.
Tidak
kah pula kita sama-sama berfikir bahwa, keberagaman yang ada di negeri ini
merupakan keniscayaan Tuhan? Sudah menjadi ketetapan-Nya. Karena benar-benar
tidak ada makhluk dan ciptaan di muka bumi ini diciptakan Tuhan dengan kesamaan
yang benar-benar sama. Bahkan anak kembar-pun walaupun dibilang mirip, pastinya
memiliki sisi perbedaan. Tidak sama. Jadi menerima eksistensi Tuhan dan keberTuhanan
kita, berarti menerima keberagaman pula.
Untuk
kita semua sebagai rakyat Indoneisa, apakah kita sudah kehilangan kesadaran dan
pikiran tehadap kecintaan kita pada negeri ini? Sehingga dari kita telah
kehilangan rasa bersikap selayaknya hidup berdampingan dalam nuansa keberagaman
berbangsa dan bernegara seperti pendahulu kita sebelumnya: Berbangsa dan
bernegara lewat cover toleransi dan kebhenikaan.
Marilah
segenap rakyat di negeri Indonesia, mencoba menerukan pesan yang disampaikan Emha
Ainun Najib (Cak Nun) pada 23 Mei 2017 di I.L.C: “Kalau kita naik bus, rasa
kita itu rasa bus, bukan rasa colt, atau lainnya. Jadi cara berpikirnya dan
cara berhitungnya, ya bus. Mau belok di perempatan dan mau nyalib, kita harus
tahu besarnya bus. Jadi cara berpikir orang naik bus adalah cara berpikir bus.
Kalau kita orang NKRI, sikap kita harus sikap NKRI. Dan cara berpikir kita pun
harus cara berpikir NKRI, bukan cara berpikir golongan, PDIP, Golkar, Nasdem,
Hizbut Tahrir, dan lainnya..”
Sebagai
penutup, dengan meminjam kalimat dari sepenggal puisi Ahmad Wahib; tulisan opini
ini hanyalah sekadar opini tanpa isi. Jikapun opini ini disebut prosa, ini
hanyalah sekadar cetusan tanpa rasa. Tetapi, benar-benar ada yang hilang di
tengah masifnya arus informasi di negeri ini, dimana perpecahan dan kekerasan
atas nama SARA sedang merusak tenun kebangsaan dan kebernegaraan, begitu dekat,
tepat di depan jari-jemari, dan kita masih saja berseolah tidak tahu dan tidak mau tahu. Sedang mahasiswa masih sibuk
mencari hastag populer, .
Comments
Post a Comment