Posts

Showing posts from April, 2017

Kecabulan Senja: Islam Tanpa Bercinta

Image
Petang belum tiba ketika Laila mengadu hamil ke Andrian. Sedang Andrian masih asik memandangi senja yang menggantung di langit sore, sembari membayangkan senja b erwarna keemas-emas dan jingga  dengan pikirannya yang cabul:  Betapa nikmat dan romantisnya bercinta di bawah senja, dimana tubuh yang menyatu dalam gairah, menjadi siluet yang remang sebelum dijemput oleh gelap yang menyedihkan, ucapnya lirih.  Laila yang mendengar tampak tak percaya dan kaget.  "Andrian, kau sudah cabul sejak dalam pikiran", kata Laila menjawab kekagetannya dengan kalimat ketus. Tapi, Andrian masih saja diam, tak hiraukan Laila yang datang mengadu hamil. Pikirannya masih melayang pada kala itu, dalam kecabulan senja. Kala jemari-jemari menyapu setiap inci dari bagian tubuh Laila, kemudian mendesah dalam kenikmatan bercinta. Bercinta di bawah senja. Selain Laila dan Andrian, satu lagi teman mereka, namanya Ridho. ~~~**~~~ Ridho anak dari kepala desa. Anak yang begitu sederha

Suratku Untuk Kartini

Image
"Saya ingin sekali berkenalan dengan gadis modern, yang berani, yang dapat berdiri sendiri,... dengan langkah cepat, tegap, riang dan gembira. Penuh semangat dan keasyikan. Gadis yang selalu bekerja tidak hanya untuk kepentingan dan kebahagian dirinya sendiri, tapi berjuang untuk masyarakat luas dan kebahagiaan bersama... Berceritalah banyak kepadaku tentang cara kaum wanita di .... bekerja, berjuang, berfikir, dan merasai. Kami menaruh perhatian besar pada segala sesuatu mengenai Pergerakan Wanita" Sepenggal kalimat engkau tulis kepada sahabat penamu di Belanda, Stella. (Jepara, 25 Mei 1899) Dengan berat hati aku tuliskan surat ini kepadamu, Raden Ajeng Kartini. Atau aku panggil dengan Kartini saja? Sebagaimana engkau pernah meminta ke sahabat penamu, Stella, memanggilmu. Tentang Raden Ajeng, dua kata di depan namamu hanya sebatas gelar saja, kan? Sebagaimana juga engkau jelaskan ke Stella. Engkau pun tak pernah mau dipanggil dengan sebutan Nona Kartini, karena e

Doa Sederhanaku Untuk DU2

Image
Kalau ada bertanya padaku dulu sekolah SMA di mana? Aku selalu menjawab di Madura, di SMA 2 Bangkalan. Kebohongan ini terus aku pelihara dan teristiqomahi sampai akhirnya benar-benar yakin kalau aku pernah bersekolah di SMA bla bla bla (sebut saja DU2), setelah mendapatkan namaku terpampang jelas di salah satu situs web. Bukan bermaksud untuk apa aku selalu beristiqomah menyembunyikan DU2 sebagai SMA yang pernah kutempuh kurang lebih dari 37 purnama itu. Tapi karena enggak pernah bisa percaya diri saja dengan kebodohanku ini mengaku sebagai alumni dari sekolah yang dulu sempat memakai embel-embel RSBI di belakang namanya, sebelum kemudian dihapus oleh Mahkamah Konstitusi lewat sidang putusan pembatalan Pasal 50 ayat 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di Gedung MK, Jakarta, Selasa (8/1/2013). Selain enggak pernah bisa percaya diri, baru-baru ini aku berpikir kalau para tim penyeleksi penerimaan siswa baru Du2 tahun

Aku, Kalian Dalam Bingkai HMI

Image
HMI, organisasi Himpunan yang telah aku pilih, dan Komiariat FTI UII yang menjadi tempat awalku berproses kini telah berselang sepekan lebih melaksanakan Rapat Anggota (RA). Ada perasaan senang dan bangga ketika mendengar kabar bahwa Komisariat FTI UII kembali melaksakan RA. Tentu senang dan bangga karena Pengurus Komisariat telah mampu melaksanakan pengabdiannya selama satu periode, dan juga akan diganti dengan generasi generasi muda berikutnya. Sebagai paska struktural pada periode sebelum-belumnya, yang telah berkecimpung di Komisariat selama dua tahun sebagai pengurus, selain ada kesenangan dan kebanggaan, ternyata ada hal lain yang membuatku sedikit kecewa dalam dinamika R.A. Ohh, tidak. Tidak. Aku tidak boleh kecewa. Aku harus memahami. Tidak boleh kecewa. Dulu ketika menjadi pengurus di Komisariat, seorang kanda yang lebih sangat senior dariku, Emil Ansori, sempat pernah bilang bahwa “Orang besar itu tidak dilahirkan dari kekecawaan, tapi sebagaimana bisa menyia

Hijrah: Surga Allah (Tidak) Mudah

Image
Sebagai perempuan yang tak jauh berbeda dari perempuan lainnya, bisa dikata, aku melihat dunia ini juga tak jauh berbeda dengan perempuan-perempuan lainnya. Yakni, apa adanya dan mengalir saja serupa irama air yang mengalir. Meski, pada sisi lain, aku punya satu impian yang bisa dikata agak cenderung berbeda dengan perempuan-perempuan lainnya. Terutama dengan perempuan di kampung halaman sendiri. Sejenis emansipasi atau feminisme . Impian punya karir cemerlang dimasa tua, dan menuntut pada diri harus punya pendidikan tinggi. Hingga ke luar negeri. Aku lahir di sebuah pulau terpencil, di kabupaten Bengkalis, Riau. Pulau tersebut memang teramat asing bagi kalain yang mendengar. Wilayah Bengkalis sendiri mencakup pulau Sumatera dan wilayah kepulauan lainnya. Nah, wilayah kepulauan lainnya itulah tempat kelahiranku. Pulau Rupat namanya. Berbatasan dengan selat Melaka di sebelah timur dan dengan kota Dumai pada bagian selatan dan barat, di utara berbatasan dengan Rupat Utara. Kalau

Sang Kawan Yang Memutuskan Hijrah

Image
Tahun 2016, di penghujung waktu sebelum masuk ke bulan April. Berawal dari persimpangan jalan Himpunan, di awal periode ketika menjadi pengurus. Pada ruang depan yang biasanya ditempatkan sebagai ruang tamu dan diskusi oleh para takmir yang tinggal di sekretariat itu, dia diam, sendirian, berbaju biru dongker dengan terusan rok berwarna kehitaman. Tak ada orang lain selain dia di ruang depan pada waktu itu. “ Lagi menunggu seorang ,” katanya menjawab kala salah satu takmir di sekretariat bertanya. Sembari asik memainkan handphone , aku perhatikan dia dari ruang tengah. “ Kriinnggg..., ” sebuah notifikasi penanda pesan dari handphonenya berbunyi. Tak ingin menunggu jeda waktu, jari-jemarinya mulai sibuk menenun kata demi kata sebagai pesan balasan. Dalam perhatianku, dia seolah berpacu dengan waktu. Pesan yang dia kirim dan kemudian terbalas, dengan cepat pula dia balas. Dan terkadang, dalam permainan saling mengirim pesan itu, dia bertingkah senyam-senyum sendiri. Merasa kasihan