Posts

Showing posts from March, 2021

Pengader, Al-Qur’an dan Via Vallen

Salah satu isu yang mencuat dalam majelis pengader beberapa waktu silam adalah perihal bacaan al-Qur’an para pengader. Kita tidak bisa menyembunyikan bahwa di balik tampilan kharismatik para pengader dengan segudang “bualan” teorinya di atas panggung pelatihan ternyata ada satu sisi yang tersoroti oleh para peserta. Bacaan al-Qur’an yang kerap dilantunkan setelah ritual shalat maghrib dan shubuh paling tidak mendapatkan perhatian tersendiri dari para peserta pelatihan. Memang tidak semua pengader mampu membaca al-Qur’an dengan lancar dan baik. Keberagaman ini masuk pula pada impuls-impuls tafsir mereka hingga melahirkan interpretasi yang berbagai macam rasanya. Bukan tidak pernah wacana ini mengemuka di atas gelas–gelas kopi benak para pengader saat bersua. Perbincangan menuju pada arah bertema bagaimana meningkatkan self quality para pengader dalam membaca al-Qur’an. Setiap kali masuk pada bahasan ini akan jatuh pada muara-muara apologi dan desas-desus yang kian kencang. Ada yang b

Satu Paragraf: Don Quixote de la Mancha

Buku bukan saja dapat mengubah dunia. Ia juga dapat membuat pembacanya menjadi gila. Itulah novel Don Quixote. Kisah lelaki paruh baya yang mengimajinasikan dirinya menjadi ksatria demi keinginan absurdnya menumpas kejahatan, karena terobsesi oleh kumpulan hikayat kepahlawanan yang dibaca. Bagaimana kekuatan sebuah buku mampu menghipnotis pembaca: Aku teringat kisah teman saat kami sedang liburan pada suatu sore menepi di pantai dan memandangi dunia yang terdiri dari waktu itu, tiba-tiba punya keinginan gila memotong senja dan mengeratnya menjadi empat sisi demi pacarnya, setelah membaca Sepotong Senja Untuk Pacarku. Atau kisah seorang anak muda yang merupakan novelis pemula pindah ke Paris setelah membaca A Moveable Feast . Ia begitu tergila-gila dengan Paris dan kehidupan kesusastraannya, sebagaimana yang dibayangkannya setelah membaca karya Hemingway itu. Tapi, Don Quixote melampaui dua kisah yang kucontohkan. Don Quixote adalah karakter yang memaksa realitas harus sama dengan imaji

Satu Paragraf: Absurditas Sartre, Nietzsche dan Camus

Saat kulari ke hutan dan berteriakku seperti tarsan, hutan dan penghuninya hanya asik dengan dirinya sendiri. Saat kulari kepantai dan berteriak “Aku mencintaimu”, hanya deru ombak sebagai jawaban. Manusia menciptakan dirinya sendiri, dunialah yang absurd, bukan kita; dan Jean-Paul Sartre berkata: “Aku tahu ini adalah dunia, Jul. Dunia telanjang ini tiba-tiba saja memunculkan dirinya sendiri. Aku menjadi gusar dengan kehidupan kotor dan absurd ini.” Melalui modus kesadaran ini, Sartre mencoba memberikan pandangan bahwa manusia memiliki makna dalam dirinya sebagai makhluk berpredikat bebas yang menyatu dengan pilihan. Kebebasan adalah pilihan. Manusia sejati adalah ketika pilihan kebebasannya dapat ditentukan tekanan dan intimidasi, dan Friedrich Nietzsche sepakat: “God is dead.” Dari Nietzsche, dimulailah babak baru kehidupan manusia di dunia ini. Sebut saja babak alienasi, yaitu saat manusia mengalami keterasingan dari luar dirinya saat menentukan pilihan. Setiap pilihan, kata Nietzsc

Puisi: Langit Jogja

  Di Kota Pahlawan, kau bersarang Sedangkan aku, di Kaliurang Berapa panjang jarak kita? Aku tak tahu Yang kutahu Kaulah yang paling dekat dengan do’aku   Puisi ini,  Boleh kau katakan sekedar celotehan intuisi Atau sekedar gerak kecil dari kepalaku yang mulai asik berimajinasi Tapi tanpamu, kau pun tahu Aku takkan mampu berpuisi   Maka, Lihatlah ke sini! Ke langitku! Langit Jogja yang sedang menggerutu “Tentangmu” ia terus saja berucap Tentang rindunya yang sudah lama pengap

Satu Paragraf: Setelah Nonton Drakor

Dua hari ini, karena tenggat paket data tersisa beberapa hari lagi dan sisa kouta masih banyak, aku meghabiskan waktu dengan nonton beberapa film. Baik itu Jepang, China dan Drakor. Sama seperti pengarang sastra lama yang punya kebiasaan menjadi malaikat maut bagi tokoh utamanya; seperti dalam novel Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang hingga Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk; aku juga menemukan hal yang sama pada film-film yang kutonton. Seperti ada sebuah kesan kesengajaan dari penulis skenario untuk mencabut nyawa tokoh utama mereka. Bisa diawali dengan penyakit kronis mematikan yang tidak bisa disembuhkan atau tiba-tiba langsung mati aja gitu. Aku tidak tahu pasti apa yang mendasari atau melatari unsur kesengajaan ini. Tapi, kalo aku diperbolehkan membuat sebuah kemungkinan, atau spekulusi, seperti kebiasaaan pengarang sastra lama yang punya hobi bener membunuh tokoh utama mereka dan mengkontekstualkan pada film-film yang kutonton, sepertinya mereka juga ingin membawa pesan “

Puisi: Tinggalkan di Plato Tibet

“Aku bintang apa binatang? Aku bulan apa bukan?”   Syair-syairku telah melupakanmu Bersama cacing-cacing itu yang mati kelaparan Bersama kuda-kuda itu yang mati kehausan Puisi-puisiku pun tak lagi menggilaimu   Sudah kubilang bukan Jika ingin meninggalkanku Tinggalkan saat kita berdua di Everest Kau memilih tidak sampai di Plato Tibet Atau, mati berdua saja

Puisi: Mutiaraku Pecah di Jogja

Bermula di Tuju Kubungkus harapku dengan do’a Pikirku akan nyata dibalik getirnya usaha Kesandung batu, rupanya berhasil pecahkan mutiara   Kemudian pindah ke Lereng Merapi Sejuk pilu makin menjadi Beralas harap setitik api Sekali berkobar, jiwa ini bak mati   Rimbun pepohonan di Kaliurang Bertahun-tahun aku menjadi bintang Berharap manusia tak mudah menafsirkan Rupanya, mutiaraku mereka pecahkan   Bertahun-tahun aku jaga Agar mutiaraku tak satupun pecah Sekali-dua mereka berulah Ampun, mutiaraku pecah belah   Jakal KM 13.5 menjadi saksi hilangnya mutiaraku Berapa lama lagi akan bertahan? Entah Atau menyerah saja pada keadaan? Mungkin tiada lagi setelah itu mereka pecahkan    

Puisi: Kukenang Kau Sembari Pergi

Ada yang lain ikut berguman tadi pagi Katanya, jangan bangun lama-lama Hari ini hujan bakal deras Tapi, aku bangun juga   Ada yang lain berbisik tadi siang Katanya, jangan main dengan banyak teman Hari ini panas, tak jadi hujan Tapi, aku main juga   Hari ini, Ada yang lain meski hujan dan panas silih berganti Aku bangun atau tidur kembali Disela terjaga pada tiap hembusan nafas dan denyut nadi Namamu, masih saja menyelinap di dinding hati   Sekali lagi, Kukenang kau sembari pergi