Posts

Showing posts from 2019

Bukan Huruf, Tapi Buta Data

“Dulu kita mengatakan jika buta huruf adalah ukuran kemunduran. Tapi hari ini, atau berapa tahun kelak, ukuran kemunduran adalah mereka yang tidak mampu membaca data,” ungkap M. Nailul Amani, lulusan Teknik Industri UII 2016, saat mengantarkannya ke Stasiun Tugu Yogyakarta, pulang ke Jakarta. Saya tergugah. Pikiran saya kemudian terlempar pada rentang waktu Januari-Februari lalu. Mengenai anjloknya harga buah naga di kabupaten Jawa Timur yang diakibatkan panen raya. Petani tak bisa menjual buah naga karena harga di pasar terlalu murah. Sialnya, otoritas pemerintah dalam menyikapi kasus tersebut malah menghimbau agar petani buah naga untuk menahan diri menanam buah naga secara bersamaan dan dianjurkan berpindah bisnis ke bidang lain. Andai pemerintah mempunyai big data dan mampu menginterpretasikannya dalam transformasi bisnis, kenyataan mungkin akan bicara lain. Paling tidak, peng-interpretasian big data akan mampu menekan harga dengan memanfaatkan (data) di daerah mana yang siap

Satu Paragraf: Layla Majnun

Sebenarnya keinginan membaca karya klasik ini cukup lama. Tapi, tak perlu dikira-kira dengan menghitung jari untuk menerangkan kelamaan tersebut dalam angka tahun, selain karena mendapatkan buku ini memang cukup susah. Bahkan pergi ke toko buku bekaspun tak kunjung dapat. Adalah karena kemajuan zaman, bermodal paket data dan browsing sana-sini, akhirnya keinginan tersebut dapat tertunaikan, dengan ebook. Cukup basa-basinya. Ayok kita mulai! Alkisah, kita dihadapkan pada sebuah penderitaan yang sanggup ditimbulkan oleh cinta yang penuh halangan. Bukan saja pada orang yang mencinta, tapi juga pada orang yang dicinta. Lebih dari itu, penderitaan tersebut menjamur ke orang-orang yang ada di sekitar pencinta dan orang-orang lain yang peduli dan kagum pada sang pencinta dan cinta itu sendiri. Juga kepada mereka yang sama sekali tidak berhubungan dengan pencinta itu secara langsung. Edan, bukan? Dalam pada itu, kisah Laila Majnun merupakan sebuh metafora dari Majnun terhadap Tuhan. Artinya, k

Satu Paragraf: Apa Aku Bahagia?

Aku menghadap cermin dan memandang pantulannya. Aku melihat aku. Aku coba tersenyum, dan sejumput kenangan menjemput dan membawaku berkelana jauh sekali: pergi ke masa lalu dan melihat aku yang dulu. Aku jadi nostalgia bila kuingat masa kanak-kanakku yang begitu riang, masa pelajar atau remajaku yang penuh kegembiraan dan masa awal mahasiswaku yang penuh dengan optimisme. Aku juga teringat kembali masa pergaulanku dengan kawan-kawan lama dengan segala adegan dan mimpi-mimpi indah yang mungkin takkan pernah aku temui lagi. Kini, mereka telah maju kedepan dan meneruskan kemantapan garis hidupnya, dan tinggallah aku yang mungkin terus di belakang, tanpa berani berbuat apa-apa, terjebak dalam perenungan kesia-siaan: sebenarnya apa garis hidupku ini? Aku berpikir: “Apa aku terlihat menyedihkan?” Lalu berkata lagi kepada diri sendiri: “Apakah aku merasa sedih?” Sebenarnya, apa itu kebahagiaan? Apakah bahagia harus sama seperti mereka? Kenapa mereka tak bisa mengerti bahwa aku hidup dengan h