Posts

Showing posts from 2020

Bidadari itu Ada di Dunia, dan Aku Ingin Bucin dengannya

Aku bertemu gadis cantik kemarin. Saat aku sedang berada di belakang rumah, di sebuah gardu baru tempat aku biasa menghibur diri dari beratnya mencari pekerjaan. Tepat saat matahari tergelincir menjauh dari titik tengah dan nuansa sore mulai menjemput. “Apakah surga sedang direnovasi sampai bidadari ini harus turun ke bumi?” Selorohku sambil tetap menatap betapa cantiknya gadis ini. Kalau kuingat-ingat, bila pertemuan itu kutulis secara rinci, apalagi saat mata kami beradu dan dia menyapa “kak” dengan raut wajah cergas tapi tetap saja memberikan kelembutan saat menatap, ditambah sebuah ulasan senyuman dengan garis bibir yang ditarik kesamping begitu pas dan mampu mengusap sangat halus pada dinding hati, amboiiii...  gadis ini bukan hanya cantik tapi juga manis: seperti keelokan nuansa panorama saat kita dapat menikmati persekutuan ruang dan waktu menjelmakan senja dan mengantarkan kita pada euforia. Ohh... pikirku, “Tuhan mungkin telah ceroboh dengan lupa memberikan kekurangan pada ma

Korespondesi: Untuk Zi, Arti Sebuah Desa Bagi Perantau

Bagaimana mestinya aku mulai, Zi? Haruskah aku memperagakan seperti Engku Zainuddin ketika menyurati Rangkayo Hayati untuk pertama kalinya: “Gemetar, Encik!   tanganku ketika mula-mula menulis surat ini.” Hahahahaha Sebagai permulaan dalam korespondensi ini, aku tertarik dengan balasan teman korespondesiku yang lain dengan mengatakan supaya melihat Indonesia bukan lagi dari cerminan kaca besar yang tidak dapat kita selesaikan secara sendirian, melainkan dari sudut kecil dan tampak dan dekat dengan kita : desa. Kamu sepertinya akan setuju, saat kita melihat Indonesia dari kaca mata besar, betapa miris negara ini menjadi sebuah bangsa: Drama pertikaian beda pandangan yang dibalut kepentingan politik praktis dari kalangan elit telah memecah belah rakyat dan akhirnya intoleransi berhasil mengkusutkan tenunan bingkai kebhinekaan kita. Jadi aku tak mau berbicara mengenai Indonesia. Bukan karena sudah muak, tapi rasa simpatiku sudah mulai terkikis bersamaan dengan makin kuat dan subur

Untuk, Lis: Perihal Sebuah Permintaan

Seriusan Lis, aku bingung harus memulai surat ini lewat kalimat apa. Terlintas di benak ingin kumulai lewat permintaan maaf karena takut mengganggu dan dianggap lancang, tapi selain karena klise aku takut kalimat itu dikira hanyalah bumbuan basa-basi untuk mendapat sejumput pengertianmu agar menerima dan membaca surat ini. Jadi mohon dimaklumi. Toh, maaf bukan cari pembenaran, secara psikologis bukankah ini merupakan masalah laten sisi kemanusiaan bagi mereka yang sangat mengharapkan sesuatu tapi takut salah langkah saat memulai? Akhirnya bingung dan merasa serba salah. Agar tidak salah paham dan dianggap menuntut lebih, terlebih dulu kuletakkan petuah bijak “dunia ini dipenuhi dengan orang yang kita inginkan, tapi tak menginginkan kita, dan sebaliknya” ini sebagai realitas kehidupan yang harus diterima. Jadi kau tidak usah risau dengan perasaanmu. Kuterima realitas petuah bijak ini selayaknya apa yang biasa kita temui: seperti kenapa pada akhirnya daun menggugurkan diri dari rant

Korespondensi: Untuk Sahabat Bualku, RIke Fisabilillah

Boii!! Seberapa sibuk kau bergulat dengan waktu? Padahal sudah kunanti-nanti kau memulai korespondensi seperti permintaanmu tapi tidak kunjung juga hadir. Apa kau tidak bisa sedikit saja menyisihkan jeda waktu dan berfikir bahwa di dalamnya ada ruang kosong untuk paling tidak bernostalgia dengan kawan lama sepertiku? Kesibukan apa yang menggerogotimu di sana, boi, di tempatmu? Seolah keenggananmu memulai menandakan, selain budaya senioritas atau kanda-dinda, waktumu akan terbuang sia-sia, dan berkata:   “Maaf Boi, aku harus fokus menata hidupku karena waktu tak bisa lagi kukompromikan secara negatif sebagaimana dahulu. Itu hanya akan menambah penyesalan masa lalu yang terus saja hadir dan menerorku seperti mimpi buruk dan membangunkanku tengah malam sekaligus membuatku berkeringat dingin. Hari ini aku harus mensiasati dan berkawan dengan waktu. Tak ada lagi main-main. Tak ada lagi bual-membual.”   Oke, fix. Jika itu yang kau pikirkan, tidak apa. Tapi jangan salahkan aku bil

Korespondensi: Untuk Sahabat Bualku, Wikho Syadjuri

Hallo bung. Dalam keadaan hati senyap dan tidak bergairah, entah kenapa aku teringat padamu. Kau menjelma bak siluet dalam keremangan senja tanpa diundang: tawa konyolmu, seduhan kopimu, bualanmu dan segenap yang melekat pada dirimu muncul dalam satu entitas bernama kenangan lama. Sial!! Harusnya kenanganku tidak tertuju padamu, melainkan pada gadis impian yang kuharap bisa menemani hidupku dan menghiburku dalam masa-masa kelam di masa depan. Tapi sial, malah kau yang muncul.   Shitt!! Oya, berapa lama kita sudah tak bersua Bung? Sesekali, akankan kau di sana juga pernah mengingatku dan merindukan bualanku sebagaimana dahulu? (Tidak usah kau jawab jika pertanyaan ini membuatmu risih) Bagaimanapun Bung, sebagai sahabat yang coba untuk baik, kudoakan kau dari sini, dari tanah kelahiranku yang asin dan tidak mengenal semi ini agar kau dalam keadaan baik-baik saja di sana, meskipun aku tahu dan dengan gampang dapat kutembak, dalam keadaaan hatimu paling dalam, kau masih diliputi ra

Catatan SilaturaHMI: Khittah Perjuangan dan Wikho Syadjuri

Mungkin kaca spion kita terlalu besar saat melihat HMI, sehingga yang tampak darinya adalah bayangan masa lalu (sejarah). Atau mungkin, HMI saat ini mengalami kemandekan perkaderan dan perjuangan sehingga bayangan masa lalu di mana HMI saat berada dipuncak kejayaannya yang mampu menelorkan tokoh-tokoh, serta peranannya dalam membangun kemerdekaan, mengangkat senjata mengusir penjajah, dan menjadi korban politik pada rezim Orde Baru itu membuat kita sudah merasa begitu ‘wah’ tanpa ada greget semangat juang lagi mengarahkan HMI ke depan. Khittah Perjuangan pun, dokumen suci yang menggambarkan semangat ideologi HMI, berakhir lebih menjadi suci. Ia hanya dipegang dan dibaca kader saat mereka mengikuti LK II maupun SC. Setelah itu, suci kembali. Perasaan ironis sebenarnya menyelip saat melihat kenyataan ini. Khittah Perjuangan yang harusnya menjadi diskursus intens di kalangan kader, tidak sedikit pun muncul. Akhirnya Khittah Perjuangan seperti air yang menguap di menara langit dan d