Posts

Showing posts with the label Puisi

Puisi: Langit Jogja

  Di Kota Pahlawan, kau bersarang Sedangkan aku, di Kaliurang Berapa panjang jarak kita? Aku tak tahu Yang kutahu Kaulah yang paling dekat dengan do’aku   Puisi ini,  Boleh kau katakan sekedar celotehan intuisi Atau sekedar gerak kecil dari kepalaku yang mulai asik berimajinasi Tapi tanpamu, kau pun tahu Aku takkan mampu berpuisi   Maka, Lihatlah ke sini! Ke langitku! Langit Jogja yang sedang menggerutu “Tentangmu” ia terus saja berucap Tentang rindunya yang sudah lama pengap

Puisi: Tinggalkan di Plato Tibet

“Aku bintang apa binatang? Aku bulan apa bukan?”   Syair-syairku telah melupakanmu Bersama cacing-cacing itu yang mati kelaparan Bersama kuda-kuda itu yang mati kehausan Puisi-puisiku pun tak lagi menggilaimu   Sudah kubilang bukan Jika ingin meninggalkanku Tinggalkan saat kita berdua di Everest Kau memilih tidak sampai di Plato Tibet Atau, mati berdua saja

Puisi: Mutiaraku Pecah di Jogja

Bermula di Tuju Kubungkus harapku dengan do’a Pikirku akan nyata dibalik getirnya usaha Kesandung batu, rupanya berhasil pecahkan mutiara   Kemudian pindah ke Lereng Merapi Sejuk pilu makin menjadi Beralas harap setitik api Sekali berkobar, jiwa ini bak mati   Rimbun pepohonan di Kaliurang Bertahun-tahun aku menjadi bintang Berharap manusia tak mudah menafsirkan Rupanya, mutiaraku mereka pecahkan   Bertahun-tahun aku jaga Agar mutiaraku tak satupun pecah Sekali-dua mereka berulah Ampun, mutiaraku pecah belah   Jakal KM 13.5 menjadi saksi hilangnya mutiaraku Berapa lama lagi akan bertahan? Entah Atau menyerah saja pada keadaan? Mungkin tiada lagi setelah itu mereka pecahkan    

Puisi: Kukenang Kau Sembari Pergi

Ada yang lain ikut berguman tadi pagi Katanya, jangan bangun lama-lama Hari ini hujan bakal deras Tapi, aku bangun juga   Ada yang lain berbisik tadi siang Katanya, jangan main dengan banyak teman Hari ini panas, tak jadi hujan Tapi, aku main juga   Hari ini, Ada yang lain meski hujan dan panas silih berganti Aku bangun atau tidur kembali Disela terjaga pada tiap hembusan nafas dan denyut nadi Namamu, masih saja menyelinap di dinding hati   Sekali lagi, Kukenang kau sembari pergi

Lereng Senja: Hilang Ke Manakah Agaknya?

Teruntuk langkah kaki yang tiba-tiba hilang di Lereng Senja: “Hilang ke manakah agaknya?”   Yang ingin kukejar arahnya jauh Sudah jauh, aku tidak tau arah yang kutuju Yang ingin kuhampiri sangat tinggi Sudah tinggi, aku tidak tau pula cara mendaki   Tidak maukah kau kemari, Adinda? Sudah kusedikan taman sunyi Di situ ada bunga-bunga hijau yang kuncup, ingin mekar dan terus hidup   Tapi jika sudah inginmu adalah bulan yang kau tuju Maka yang tertinggal hanya bunga hijau itu, Yang berada di langit abu-abu  Yang kebingungan dengan pilihannya mau mekar atau tidak  Untuk menghantar kepergianmu. x

Sajak Bual: Hujan Yang Merindu

Tengoklah!! Coba kau tengok dulu hujan yang turun itu. Paling tidak, kau bisa intip dari balik jendela kamarmu jika kau benar-benar tidak menyukainya. Bagaimana? Romantis bukan. Walaupun sedikit basah. Sebagian orang mengutuk hujan karna tidak bisa berpergian. Sebagian lainnya merindu karna kebutuhan. Aishh.... Kenapa manusia selalu menimbang untung-rugi  terhadap segala sesuatu ini? Bukankah sudah ada sabdanya jika hujan adalah rahmat Tuhan? Maka berdo’alah jika hujan telah menyapa bumi. Aku selalu merindukan turunnya hujan. Apalagi hujan dipertengahan bulan Juni. Rinainya yang membias dan menyapu halus pada dindang hati, nuansa bau basahnya yang menentramkan jiwa-jiwa sepi, dan tetesannya yang tersorot pijaran lampu dan terseret oleh warna kemilauan rumah-rumah tua, seakan membuat ruang dan waktu bersekutu menjelmakan rindu. Ya, rindu pada seraut wajahmu, bermuka sendu. Pada kota ini, di tempat aku berpijak, hujan dan kota serasa saling melengkapi. Kota ini seakan bertambah isti...

Sajak Bual Kisah Pemuda dibalik Pintu

Dengarlah!! Coba kau dengarkan suara rintikan hujan turun itu, Dinda. Sebagaimana pujangga menyebutnya ‘nyanyian para perindu’, karena setiap tetes air yang jatuh itu laksana pertemuan Adam dan Hawa yang terpisah oleh jauhnya jarak dan waktu, seorang pemuda terus saja memanggil namamu. Tak ada malaikat menjaring laba-laba di sana. Hanya pemuda kesepian berselimut sunyi sedang menyulam benang-benang kasih yang sudah kusut. Bersama kenangan yang tersimpan rapi diingatan, pemuda itu terus saja menenuni berbagai kata yang berserakan, dan mencoba merambati waktu menuju masa lalu untuk mendefinisikan makna bahagia paling sederhanamu. Apabila pemuda itu telah terperanjat dari sadarnya, tersesatlah dia dari segala kerumitan kata. Kerumitan kata yang amat sukar dia bahasakan. Ayolah, dinda, mendekat!! Tak maukah kau berbelas hati kepadanya? Apabila kau tengok pemuda itu dari balik pintu. Ada bola mata terpancar mengeluarkan sayap malaikat dan mencoba terbang mencuri seonggok hati berbentuk cin...

Sajak Bual: Dua Pilihan

Untukmu yang pernah berada dalam permainan logika, saat ditanya hanya menjawab “iya”. Aku tak tahu kenapa aku bertingkah seperti ini. Logikaku selalu lumpuh kalah  di dekatmu. Logika yang bermain pada kecocokan itu, tidak sedikitpun terlintas. Aku dan kamu, rasa-rasanya tidak ada cocok-cocoknya. Yaa... setidaknya itu yang selama ini kurasakan. Sulit aku terhubung dengan tutur bahasamu. Candaanku pun demikian, walau kau balas ‘hahaha..’ Anehnya, dari sekian banyak ketidak-cocokan itu, kenapa hati ini hanya mematri namamu? Luruh dan ringkukku pun hanya padamu. Beribu kali kumenjauh dan beribu kali pula aku menghindar, aku masih tetap berhasil kau sedot kembali didekapmu. Memang susah bila pandangku dilekatkan pada dirimu. Ruang imajiku pun hanya terisi senyummu: membawaku terbang ke nirwana bersama syair-syair melankolis, hingga aku tertenun oleh mozaik cinta begitu puitis. Atau membelah atmosfir berlapis-lapis bersama paus akrobatis dan membawaku ngebut menuju rasi bintang...

Sajak Bual: Persimpangan Jalan Himpunan

Pada pengujung waktu di persimpangan jalan Himpunan, kau tak pernah tahu jika bahasaku telah tertinggal. Tertinggal bersama rasa ingin tahuku tentangmu. Makin hari, makin subur rasanya bunga-bunga itu. Tumbuh bersama angan dalam semua kemungkinanku denganmu. Awalnya biasa saja. Tak merasakan apapun. Tak ada istimewa.  Tak ada spesial juga tentunya. Tapi siapa yang bisa melawan hati? Hati adalah hati. Bukan akal yang berlogika. “Hidup memang sederhana,” begitulah petulah pijak. Tapi bagaimana menyederhanakan hati manusia –cinta? Lambat laun semua berubah, seperti ada yang lain. Tentu kelainan ini bukan karena negara api telah menyerang. Lain, ini memang lain. Ini seperti sebuah fatamorgana. Saat kau mendekat, sesuatu itu langsung menghilang. Diam, adalah kata yang tepat untuk menggambarkannya. Karena secara diam, bayanganmu menyusup perlahan, menyelinap ke dinding hati yang dulu pernah sempat terjamah, dan tanpa beradab merajut serpihan kasih dari benang cinta yang telah l...

Kuhaturkan Lewat Puisi

Puisi ini Mungkin tak seindah puisi lainnya Tapi bagiku puisi ini punya arti Tiap kata yang terangkai dalam puisi ini Adalah pantulan dari senyummu Yang mendorong penaku Untuk menuliskannya   Puisi ini Kamu tahu aku penulisnya Karna aku yang tak berani mengucapkannya   Puisi ini Kamu tahu aku penulisnya Karna aku yang tak berani mengungkapkannya   Puisi ini Kamu pun tahu aku adalah penulisnya Karna aku yang tak tahu lagi harus bagaimana   Maka, Kutitipkan saja puisi ini diingatanmu Karna aku percaya, ‘mengingat’, adalah virus kecil dari cinta Jika dibiarkan olehmu, aku adalah segalanya  

Sajak Bual: Teman Selamanya

Berisik !! Semua melebur tanpa arah. Dunia makin gaduh. Makin ramai dan padat. Dunia makin sumuk. Makin sulit mencari ketenangan. Bahkan pada pojok cafe ini pun tidak setenang dulu. Aku takut. Aku mulai takut. Takut pada gelap. Takut pada kesendirian Aishh. sial betul. Dulu kesendirian memberiku ide-ide dan inspirasi. Saat ini? Begitu angker dan menyeramkan. Aku butuh teman. Benar-benar seorang teman. Bukan benda sebagai perwujudan teman Tapi benar-benar teman yang mau direpotkan. Tidak perlu banyak dan bergerombolan. Bergerombolan seperti mereka yang menggaduh. Aku butuh satu saja. Ya, cukup satu. Dinda, maukah kau menjadi temanku?  Maksudku, teman selamanya.