Berteman dengan Kesepian

Kesepian itu tidak datang tiba-tiba, kawan. Ia memang tidak mengetuk pintu, tidak membawa kabar. Tapi, ia menyelinap, perlahan, tanpa suara, melalui celah hari-hari biasa. Ia datang saat suara orang-orang mulai meredup, saat percakapan hanya tinggal formalitas, saat malam tiba dan yang tersisa hanya kamu—dengan pikiranmu sendiri.

Dulu aku takut kesepian. Kukira itu tanda bahwa aku gagal membangun hubungan, gagal menjadi bagian dari dunia. Aku mencari cara untuk mengusirnya—dengan keramaian, dengan tawa yang dipaksakan, dengan layar-layar kecil yang selalu aktif. Tapi semua itu hanya menunda. Saat semuanya diam, kesepian kembali. Dan aku tetap sendirian, bahkan dalam kerumunan.

Lama-lama aku lelah melawan. Maka aku belajar duduk bersamanya. Bukan menyerah, tapi mencoba mengenalnya. Seperti kau mencoba memahami seseorang yang awalnya asing, lalu perlahan kau sadari: ia tidak jahat, hanya tak terbiasa dimengerti.

Rupanya kesepian tidak selalu menyakitkan. Kadang, ia hanya sunyi yang jujur. Tidak berpura-pura. Tidak menuntut. Dalam sepi, aku mendengar suaraku sendiri lebih jelas. Aku tahu napasku. Aku tahu pikiran-pikiran yang biasanya tenggelam dalam hiruk-pikuk luar. Aku tahu bahwa di balik segala pencarian akan “kebersamaan”, ada ruang di dalam diriku yang selama ini kulupakan: ruang untuk menjadi utuh meski sendiri.

Kesepian tidak selalu berarti kekurangan. Ia bisa menjadi tempat tinggal yang tenang, tempat kita pulang saat dunia terasa terlalu bising untuk dipahami. Aku mulai tidak lagi melihatnya sebagai musuh, tapi sebagai cermin—yang memantulkan siapa aku saat tak ada peran yang harus kuperankan.

Dari situlah, barangkali, aku mulai berteman dengannya. Bukan karena aku tidak ingin ditemani orang lain, tapi karena aku tidak ingin menggantungkan eksistensiku pada kehadiran mereka. Aku ingin bisa berdiri tanpa sandaran, bukan karena aku sombong, tapi karena aku ingin mengenal diriku sendiri terlebih dulu, tanpa campur tangan harapan orang lain.

Kini, jika kesepian datang, aku tidak lari. Aku sediakan kursi di sebelahku, menyiapkan secangkir kopi hitam, dan duduk bersamanya. Kami tidak selalu bicara. Tapi ada pengertian diam-diam di antara kami: bahwa aku tidak lagi membencinya, dan ia tidak lagi berusaha menakutiku.

Mungkin inilah yang disebut kedewasaan:
bukan mengalahkan kesepian, tapi bisa hidup bersamanya, tanpa kehilangan diri sendiri.

Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

Absurditas: Bunuh Diri Filosofis

Dian Sastro Yang Kutahu

Pulang, Karya Leila S. CHudori

HMI, Alasan Mengapa Aku Menjadi Bagian darinya