Dalam Sunyi, Ada Eksistensi

Terkadang ada hal yang ingin kita sampaikan bukan untuk dijawab, tapi sekadar supaya ada yang tahu bahwa kita masih ada. Malam ini aku menulis kepadamu, kawan, setelah sekian lama tak kukirimkan kabar, bukan karena aku tahu kau akan mengerti sepenuhnya, tapi karena aku merasa —dalam caramu melihat dunia ini— ada ruang kecil yang bisa kutitipi sunyi ini.

Aku tinggal di kota yang bahkan belum bisa kusebut “kota” dengan sebuah rasa. Di sini aku berjalan tanpa arah yang pasti selain ke tempat kerja dan kembali ke kosan yang seperti cangkang: melindungi, tapi juga membatasi. Tak ada kawan bermain atau berdebat, tak ada famili untuk sekadar bicara tentang cuaca atau tentang bagaimana hari ini begitu panjang meski jam tetap berdetak sama.

Kau tahu, kawan, rupanya, dalam sebulan ini, aku menemukan bahwa ada sejenis kesepian yang tak riuh. Ia tidak berteriak, tidak menangis, tidak mengganggu, tapi diam-diam menyerap semuanya. Menyusup ke sela detik, ke jeda napas, ke bayangan lampu jalanan yang kupandangi tiap malam dari jendela.

Aku semacam hantu di kota ini; berjalan, bekerja, pulang, lalu hilang begitu saja ke dalam keheningan yang tak seorang pun menyadari keberadaanku. Aku seperti tak memiliki eksistensi, apalagi esensi.

Kau pernah bilang, "Yang matang juga tak bisa diprediksi." Maka izinkan aku menambahkan: bahwa yang sepi pun, tak selalu terlihat. Rupanya kesepian bisa berpakaian rapi, bicara seperlunya, menyapa sopan, tapi di dalamnya retak. Kadang, aku merasa, yang retak itu bukan hati, tapi realita yang terlalu diam untuk diajak bicara.

Aku kira dulu, perantauan akan mengajarkan kemandirian, membentukku jadi seseorang yang kuat dan tak mudah gentar, seperti sebelum-sebelumnya. Tapi sekarang aku belajar dari pelajaran lain: bahwa kekuatan yang sejati bukan tentang berdiri gagah, melainkan tetap bangun ketika tidak ada satu pun yang memanggil namamu.

Aku rindu bukan pada tempat, tapi pada rasa terhubung. Rasa bahwa keberadaanku punya gema, punya cermin, punya tawa yang bisa dibagi tanpa perlu alasan. Di sini, bahkan kebisingan terasa seperti sunyi yang menyamar. Dalam diam seperti itu, aku mulai bicara pada hal-hal yang tak bersuara: bayangan di dinding, buku yang tak selesai kubaca, atau malam yang tak pernah bertanya kenapa aku belum juga tidur.

Mungkin aku sedang belajar menjadi teman bagi diriku sendiri. Seperti bunuh diri filosofis, dengan mencari makna secara eksistensial akibat kutukan kebebasan yang kupilih, yang pernah diungkapkan Sarte. Belajar menerima bahwa tak semua bab dalam hidup ditulis dengan tokoh pendamping. Kadang, ada bab yang hanya diisi satu tokoh: berjalan, jatuh, bangkit lagi—dengan narasi yang tak terdengar siapa-siapa kecuali langit yang selalu diam.

Jadi, kawan, jika suatu hari kau bertanya bagaimana keadaanku, jawabannya sederhana tapi tak mudah: aku baik, dalam artian yang sedang berusaha membentuk makna baru dari kata "baik". Aku masih di sini, masih bernafas, masih menulis, dan masih mencari cahaya kecil seperti dari kalimatmu tempo hari—yang tetap tergantung dalam otak kiriku sampai hari ini.

Jika aku boleh meminta, balasanmu, jangan beri nasihat. Cukup kirimkan satu kalimat lagi, seperti waktu itu. Kalimat yang tak menggurui, tapi membuka jendela ke arah yang belum pernah kulihat. Karena kadang, yang kita butuh bukan peta, tapi pengingat bahwa kita tak sendirian dalam kebingungan ini.

Jika suatu hari nanti aku bisa bicara dengan lebih ringan tentang kesepian, percayalah: itu bukan karena ia pergi, tapi karena aku sudah tak takut lagi padanya.


Comments

Postingan Populer

Belajar dari Cu Pat Kay: Siluman Babi Yang Dihukum 1000 Kali Penderitaan Cinta

Sekilas Sejarah Penyusunan/Kelahiran Khittah Perjuangan HMI

Laut Bercerita, Karya Leila S. Chudori

HMI, Alasan Mengapa Aku Menjadi Bagian darinya

Antara Idealisme dan Politik: Ironi Perpecahan Duo HMI