Posts

Showing posts from September, 2018

Satu Paragraf: The Star Maker

Di bawah bayang-bayang perang yang kelihatannya akan lebih buruk daripada perang Dunia Pertama, penulis fiksi Olaf Stapledon menerbitkan Star Maker (1937). Sang Narator dalam cerita ini dikisahkan dapat mengembarakan pikirannya dan memasuki ruang kosmis dengan kecepatan fantastis. Sang Narator bisa bolak-balik antara masa lalu dan masa depan. Memakai kekuatan telepati, pikiran Sang Narator terhubung dengan pikiran makhluk dari jagat lain. Bersama-sama, mereka bertualang melintasi ruang dan waktu dan menyaksikan kehidupan di jagat yang berbeda-beda. Tak ada jagat yang persis sama. Jenis penghuninya pun beraneka rupa. Ada yang kurang cerdas sehingga tak mampu mengatasi persoalan sehari-hari, ada yang cerdas tapi tidak punya kemauan sosial atau politik, dan ada juga yang terancam musnah oleh kemajuan teknologinya sendiri, atau punah karena faktor lingkungan semisal perubahan iklim. Tapi, terlepas dari perbedaan itu, semua ditandai dengan nasib yang sama. Semua sedang menuju kehancuran. “

Lereng Senja: Hilang Ke Manakah Agaknya?

Teruntuk langkah kaki yang tiba-tiba hilang di Lereng Senja: “Hilang ke manakah agaknya?”   Yang ingin kukejar arahnya jauh Sudah jauh, aku tidak tau arah yang kutuju Yang ingin kuhampiri sangat tinggi Sudah tinggi, aku tidak tau pula cara mendaki   Tidak maukah kau kemari, Adinda? Sudah kusedikan taman sunyi Di situ ada bunga-bunga hijau yang kuncup, ingin mekar dan terus hidup   Tapi jika sudah inginmu adalah bulan yang kau tuju Maka yang tertinggal hanya bunga hijau itu, Yang berada di langit abu-abu  Yang kebingungan dengan pilihannya mau mekar atau tidak  Untuk menghantar kepergianmu. x

Sajak Bual: Hujan Yang Merindu

Tengoklah!! Coba kau tengok dulu hujan yang turun itu. Paling tidak, kau bisa intip dari balik jendela kamarmu jika kau benar-benar tidak menyukainya. Bagaimana? Romantis bukan. Walaupun sedikit basah. Sebagian orang mengutuk hujan karna tidak bisa berpergian. Sebagian lainnya merindu karna kebutuhan. Aishh.... Kenapa manusia selalu menimbang untung-rugi  terhadap segala sesuatu ini? Bukankah sudah ada sabdanya jika hujan adalah rahmat Tuhan? Maka berdo’alah jika hujan telah menyapa bumi. Aku selalu merindukan turunnya hujan. Apalagi hujan dipertengahan bulan Juni. Rinainya yang membias dan menyapu halus pada dindang hati, nuansa bau basahnya yang menentramkan jiwa-jiwa sepi, dan tetesannya yang tersorot pijaran lampu dan terseret oleh warna kemilauan rumah-rumah tua, seakan membuat ruang dan waktu bersekutu menjelmakan rindu. Ya, rindu pada seraut wajahmu, bermuka sendu. Pada kota ini, di tempat aku berpijak, hujan dan kota serasa saling melengkapi. Kota ini seakan bertambah istimewa

Sajak Bual Kisah Pemuda dibalik Pintu

Dengarlah!! Coba kau dengarkan suara rintikan hujan turun itu, Dinda. Sebagaimana pujangga menyebutnya ‘nyanyian para perindu’, karena setiap tetes air yang jatuh itu laksana pertemuan Adam dan Hawa yang terpisah oleh jauhnya jarak dan waktu, seorang pemuda terus saja memanggil namamu. Tak ada malaikat menjaring laba-laba di sana. Hanya pemuda kesepian berselimut sunyi sedang menyulam benang-benang kasih yang sudah kusut. Bersama kenangan yang tersimpan rapi diingatan, pemuda itu terus saja menenuni berbagai kata yang berserakan, dan mencoba merambati waktu menuju masa lalu untuk mendefinisikan makna bahagia paling sederhanamu. Apabila pemuda itu telah terperanjat dari sadarnya, tersesatlah dia dari segala kerumitan kata. Kerumitan kata yang amat sukar dia bahasakan. Ayolah, dinda, mendekat!! Tak maukah kau berbelas hati kepadanya? Apabila kau tengok pemuda itu dari balik pintu. Ada bola mata terpancar mengeluarkan sayap malaikat dan mencoba terbang mencuri seonggok hati berbentuk cin

Sajak Bual: Dua Pilihan

Untukmu yang pernah berada dalam permainan logika, saat ditanya hanya menjawab “iya”. Aku tak tahu kenapa aku bertingkah seperti ini. Logikaku selalu lumpuh kalah  di dekatmu. Logika yang bermain pada kecocokan itu, tidak sedikitpun terlintas. Aku dan kamu, rasa-rasanya tidak ada cocok-cocoknya. Yaa... setidaknya itu yang selama ini kurasakan. Sulit aku terhubung dengan tutur bahasamu. Candaanku pun demikian, walau kau balas ‘hahaha..’ Anehnya, dari sekian banyak ketidak-cocokan itu, kenapa hati ini hanya mematri namamu? Luruh dan ringkukku pun hanya padamu. Beribu kali kumenjauh dan beribu kali pula aku menghindar, aku masih tetap berhasil kau sedot kembali didekapmu. Memang susah bila pandangku dilekatkan pada dirimu. Ruang imajiku pun hanya terisi senyummu: membawaku terbang ke nirwana bersama syair-syair melankolis, hingga aku tertenun oleh mozaik cinta begitu puitis. Atau membelah atmosfir berlapis-lapis bersama paus akrobatis dan membawaku ngebut menuju rasi bintang pal

Seperti Mimpi

Semua ini seperti sebuah mimpi saat kau mulai bangun dan membuka katup matamu pada pagi hari yang dingin sekaligus begitu menggigit, satu pertanyaan muncul untuk memastikan: “Apakah ini nyata?” Sebentuk siluet dengan bayangan hitam rambut terurai panjang membelah pandangmu, kau kaget. Buru-buru kau buka pintu kamarmu sebelum perempuan itu mengetuk. Saat pintu kamar itu terbuka, perempuan itu tersenyum: sebuah senyum yang mampu mengusap begitu halus pada dinding hati di masa lalu. Tapi tanya yang masih menggantung di benakmu, sebelum kau cubit pipi kananmu untuk memastikan semua itu bukanlah mimpi, tatapan heran dari perempuan itu lebih dulu mengusik tanyamu –apakah ini nyata?. Tiba-tiba...... “Kau tak percaya aku ini nyata?” tanya perempuan itu seolah hendak memastikan kesadaranmu. Kesadaran apa kau masih di ruang mimpi atau sudah beralih ke ruang lebih nyata, lebih pasti. Kau tentu saja masih tak percaya. Berbagai pertanyaan muncul dan berhamburan menyerang ben

Satu Paragraf: Waktu

Waktu. Andrea Hirata mengatakan bahwa waktu adalah hakekat. Waktu memang sesuatu yang rata dan seragam, namun bila dikonsumsi waktu mengubah diri menjadi sesuatu yang tidak menentu (teori Relativitas Khusus dari Dilatasi Waktu Albert Enstein). Karena pada rentang waktu yang sama, bisa terasa berat dan panjang, dan bisa juga sebaliknya, terasa ringan dan pendek. Kadang urutan kejadian waktu bisa terbalik, atau lebih parahnya lagi bisa lenyap sama sekali. Barangkali, karena perihal inilah manusia merekayasa eksistensi dirinya dengan manajemen waktu secara sewenang-wenang demi kepentingan pribadi, akibat imajinasi. Tapi, hakekat waktu tetaplah waktu, mengikat kita di tiap dimensi bila ruang tetap menyediakan gerak, perubahan. Inilah hukum dasar Fisika. Paten dan pakem. Bukankah begitu, YOURraisa? Yang masih “Terjebak Nostalgia”.

Satu Paragraf: Jangan Takut Pada Gelap

Malam itu akhirnya datang juga. Tanpa gerutu dan tanpa siasat. Seperti jala hitam yang mengepung kota. Seperti segalon tinta yang ditumpahkan seekor cumi raksasa ke seluruh permukaan Yogyakarta. Atau juga, seperti warna masa depan yang tak bisa kuraba. Dalam kamar gelap ini, aku tak mengenal matahari, bulan, atau arloji. Tapi kegelapan yang mengepung ruangan ini penuh dengan aroma bahan kimia dan rasa cemas. Hening. Begitu sunyi. Begitu sepi. Aku tak relevan lagi. Namun Sekelebat, di ujung kejauhan masa, aku teringat apa yang dikatakan Sang Penyair dalam novel Laut Bercerita. Katanya, jangan takut pada gelap. Gelap adalah bagian kehidupan. Tak ada bayangan tanpa cahaya dan tak ada cahaya tanpa bayang. Pada gelap ada terang meski hanya secercah, di ujung lorong. Kita, terusnya Sang Penyair, hanya jangan sampai tenggelam pada titik kelam, karena kelam adalah tanda kita sudah menyerah. Kelam adalah lambang kepahitan. Satu titik di mana kita merasa hidup tak bisa dipertahankan lagi. Terde

Quo Vadis Perkaderan HMI ditengah Krisis Identitas Pengader

Tahun 1947, HMI berdiri. Ya, usia 71 tahun bukan lagi usia remaja penuh romantika dan drama bagi HMI, tapi merupakan usia seorang sesepuh, atau umpama empu bila HMI diibaratkan seorang mantri keris, atau juga ibarat begawan kalau HMI adalah seorang pertapa kuno yang selalu dinantikan kearifan dan kata bijaknya demi kemaslahatan umat. Harusnya, pada usia yang tidak lagi muda ini, HMI sudah mulai saatnya mensayapkan frasa perjuangannya untuk membumikan masyarakat yang diridhoi Allah SWT. Bukan lagi, atau melulu, masih terbelunggu dalam problematika internal. Terlebih, masih menyoalkan kedirian pengader. Klise dan stagnan. Tidak ada keraguan sedikit pun dalam keyakinan kita bahwa Pengader adalah nabi-nabinya HMI yang membariskan dirinya begitu gagah-berani di garis terakhir pertahanan HMI. Sebab eksistensi Pengader dalam tubuh HMI hadir sebagai punggawa yang menahkodai arus dinamika perkaderan dan   perjuangan HMI untuk terus maju menuju barisan terdepan. Hancurkan benteng pertahanan te

Laut Bercerita, Karya Leila S. Chudori

“Baiklah! jika begitu, singkirkan saja manusia, batasi tindakan mereka, suruh mereka untuk diam. Kenapa? Karena kekuasaan lebih penting daripada manusia.”     Cerita yang kelam, pergulatan emosi yang dalam... dan sebuah intimidasi penguasa otoriter yang kejam. Harusnya, sikap seorang manusia adalah menjadi manusia, memahami manusia dan memanusiakan manusia, bukan malah sebaliknya, menindas, mengintimdasi, dan mengaburkan akal budi. Itulah kesan yang saya peroleh ketika membaca ‘Laut Bercerita’. Lagi-lagi, sama seperti novel sebelumnya –Pulang, Leila S. Chudori kembali menyulutkan rasa kemanusiaan dan nasionalisme yang hilang serta kenapa kita harus melawan. Setidaknya, melawan lupa. Mengambil latar waktu sebelum meletupnya era Reformasi, konfilk cerita dimulai ketika Biru Laut (tokoh utama dalam novel ini) disergap oleh empat lelaki tidak dikenal pada suatu senja, di sebuah rumah susun di Jakarta. Bersama kawan-kawannya yang berada dalam satu organisasi (Daniel, Alex dan Sunu) ia diba